Sudah bukan sebuah informasi baru bahwa industri fashion adalah penyumbang sampah terbanyak kedua di dunia. Segala proses produksi dan distribusi yang meninggalkan jejak karbon berlimpah, menjadi sebuah ironi karena pakaian sebenarnya menjadi kebutuhan utama manusia. Khususnya praktik fast fashion yang melalui proses produksi massal dengan banyaknya penggunaan kimia untuk serat kainnya. Tentu saja, kimia yang digunakan dapat berdampak buruk untuk lingkungan dan kesehatan manusia. Namun di sisi lain, keberadaan fast fashion yang biasanya dilakukan oleh lini pakaian ternama, berkontribusi besar dalam perkembangan ekonomi.
Sejatinya, pelaku industri fashion memiliki tanggung jawab lebih untuk memberikan edukasi pada konsumen sehingga mereka tidak semata-mata berjualan saja. Merupakan sesuatu yang signfikan untuk para pelaku bisa transparan dalam penyampaian tanggung jawab atas produksi dan distribusinya dalam rangka menciptakan dampak yang lebih baik. Dengan demikian, barulah sebuah bisnis memiliki nilai yang lebih di mana produk-produk yang dihasilkan juga memiliki keterikatan emosional dan jadi unik. Setiap merek memiliki identitas yang berbeda, sejalan dengan visi dan misinya sendiri. Material dan komposisi yang dipilih dalam proses produksi bisa menentukan identitas merek tersebut.
Akan tetapi, saya mengamati kian hari kian banyak pelaku bisnis fashion yang mulai menyadari pentingnya memberikan dampak positif pada lingkungan. Sejumlah pelaku telah kembali ke cara-cara tradisional dalam menghasilkan pakaian dan menerapkan praktik slow fashion. Bahkan tidak sedikit merek lokal dan internasional yang sudah mengarah ke sana, beralih ke slow fashion karena sadar sudah terlalu banyak sampai di bumi. Jika setiap musim koleksi pakaian harus diganti dengan rancangan baru, akan dibawa ke mana koleksi sebelumnya? Kalau sudah menahun disimpan, akhirnya lama kelamaan tidak akan ada ruang lagi untuk menyimpan.
Sementara itu, kita juga harus realistis bahwa praktik fast fashion sendiri tidak bisa dihentikan begitu saja. Dilema yang sudah berkepanjangan ini pun sesungguhnya kembali lagi kepada pemahaman setiap individu akan makna fashion berkelanjutan atau sustainable fashion. Mungkin sebelumnya, kita bisa memikirkan kembali apa artinya hidup berkelanjutan untuk diri sendiri. Hingga harapannya nanti, setiap individu dapat lebih bijak dalam mengonsumsi. Kuncinya ada di diri kita masing-masing untuk secara sadar mempertanyakan: Perlu tidak membeli baju baru? Apakah bulan depan masih akan suka? Apakah masih akan dipakai dalam waktu panjang? Pertanyaan-pertanyaan yang memercik pikiran kritis kita tersebut bisa membantu untuk mengubah pola gaya hidup dan kebiasaan dalam konsumsi pakaian.
Faktanya, membeli pakaian tidaklah harus baru. Berbagai cara alternatif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kita. Mulai dari menukar baju dengan komunitas yang ada, membeli baju bekas atau vintage, hingga melakukan upcycling atau membuat kreasi baru dengan baju yang sudah lama. Di Jakarta, praktik ini sudah cukup sering dilakukan. Bahkan sejumlah orang menilai cara-cara alternatif tersebut bisa memberikan identitas baru yang unik pada setiap pakaian. Inilah yang diupayakan oleh Setali untuk menciptakan circular fashion yang artinya sebuah proses pemanfaatan kembali barang-barang fashion yang sudah dibeli saat sudah tidak lagi ingin digunakan. Visinya jelas, yaitu agar segala produk fashion tidak berujung ke tempat pembuangan sampah yang akhirnya akan menumpuk dan mencemari lingkungan.
Faktanya, membeli pakaian tidaklah harus baru. Berbagai cara alternatif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kita.
Setali fokus pada praktik upcycling dengan mengumpulkan segala bahan pakaian yang tidak lagi memiliki nilai seperti kain yang rusak, usang, atau kain yang ditolak masuk proses produksi. Kain-kain tersebut pun diolah kembali menjadi sesuatu yang baru. Pakaian yang sudah usang, dirombak lagi untuk jadi pakaian baru. Jika masih ada sisa-sisa bahan dari proses pemanfaatan kembali, bahan-bahan tersebut kembali dimanfaatkan untuk menjadi isi bantal atau boneka. Sekecil apapun bahan pakaian disimpan dan digunakan untuk menjadi produk lain. Intinya adalah agar tidak ada sisa kain yang masuk ke dalam tempat sampah.
Upcycling sendiri pada dasarnya merupakan praktik yang memberikan nilai lebih pada sebuah produk fashion. Ia melalui proses buatan tangan yang dirancang secara custom, sesuai selera. Bukan produk yang diproduksi secara massal dengan desain dan model yang sama. Oleh sebab itu, produk-produk upcyling dapat menjadi produk yang unik, dan satu-satunya. Akhirnya, produk ini pun memberikan identitas dan nilai lebih bagi yang mengenakan.