Society Art & Culture

Memahami Wibu: Obsesi terhadap J-Culture

“Lari! Ada wibu!”

Adalah sebuah ungkapan atau sindiran yang menunjukkan bahwa wibu, atau orang-orang yang menyukai geek-culture secara berlebihan, patut dihindari. Tapi sebenarnya apakah hal ini tepat?

Bagaimana asal-usul kultur wibu, perkembangannya dari masa ke masa, dan adakah pengaruhnya bagi peradaban, baik maupun buruk? 

Wibu atau weeb adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang non-Japanese yang terobsesi atau sangat menggemari kultur Jepang, khususnya yang terkait dengan game, manga, atau anime.

Meskipun istilah weeb itu sendiri baru muncul di 4chan, sebuah situs berbagi gambar populer sekitar 1 dekade lalu, kultur wibu (atau Japanophilia) sebenarnya sudah lahir sejak era 80-90an ketika pop culture Jepang mulai bersanding, bersaing, dan perlahan-lahan menggantikan pop culture Amerika. Anak-anak yang lahir dan tumbuh di tahun 80-90an dengan komik Doraemon, Dragon Ball, atau Kungfu Boy yang bisa dibilang merupakan para pembuka jalan bagi munculnya sub-kultur wibu di tanah air.

Wibu atau weeb adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang non-Japanese yang terobsesi atau sangat menggemari kultur Jepang, khususnya yang terkait dengan game, manga, atau anime.

Hingga 30 tahun kemudian, kultur wibu ini tidak nampak memudar melainkan beradaptasi mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Saking kuatnya pengaruh kultur wibu ini, banyak anak-anak yang saat ini telah tumbuh dewasa, tetap menggenggam erat kesukaannya terhadap konten-konten terkait.

Orang-orang dewasa yang tadinya hanya menjadi konsumen, sekarang turut andil menjadi penggerak, atau bahkan produsen dari kultur wibu ini, sehingga secara ekonomi, vox.com melaporkan bahwa industri J-culture terutama industri anime sudah menghasilkan lebih dari 19 miliar USD setiap tahunnya dari global market dan menjadi salah satu penyokong ekonomi terbesar bagi Jepang.

Tumbuh pesatnya suatu industri, tentu saja mengangkat industri-industri pendukungnya. Berkat wibu, industri makanan, pariwisata, mode, dan lain-lainnya pun ikut mendapatkan imbas perluasan pasar. Dan uniknya, belum banyak negara lain yang mampu menyamai kesuksesan Jepang dalam mengangkat kultur pop-nya menjadi subkultur yang diterima secara global. Jika terlihat secara makro, kultur wibu ini nampaknya membawa manfaat yang sangat positif bukan?

Namun tentunya semua hal memiliki sisi negatif jika dilakukan secara berlebihan.

Beberapa hal negatif yang ditimbulkan jika kesukaan terhadap J-culture ini sudah berubah menjadi obsesi, contohnya bisa menjadi tidak terhubung dengan dunia nyata dan menganggap bahwa hidupnya seperti anime yang ditontonnya. Menelan mentah-mentah kultur baru tanpa memilah yang negatifnya sehingga menimbulkan benturan budaya dan norma, hingga ke level keseharian. Menjadi konsumtif, karena hasrat membeli item atau pernak-pernik yang diinginkan

Hingga saat ini sudah banyak hasil riset yang menunjukkan efek baik maupun buruk dari kegemaran berlebih atas sesuatu. Terlepas dari hal tersebut, jika kamu termasuk ke dalam kategori wibu, it’s okay, ada hal-hal positif yang kamu miliki karena hal itu. Contohnya, kamu mempunyai passion dalam suatu hal, sementara ada banyak orang lain yang sama sekali belum menemukan passion dalam hidupnya! Kamu berani. Kamu memiliki wawasan budaya yang lebih luas dan menghargai budaya lain. Kamu bisa menambah skill baru, biasanya sedikit demi sedikit menguasai atau mengerti bahasa Jepang walau seadanya.

Jika kamu termasuk ke dalam kategori wibu, it’s okay, ada hal-hal positif yang kamu miliki karena hal itu.

Tapi ingat, jangan sampai berlebihan ya karena semua yang berlebihan itu tidak baik. Dan jika kamu bukan wibu, tapi memiliki teman atau kenalan seorang wibu, tidak perlu menjauhi atau menganggap mereka sebagai ‘freak’. Tidak perlu juga stereotyping seperti memanggil atau terus menerus bercanda “wibu, wibu…” atau membedakan mereka sehingga mereka tidak semakin lari/larut ke dunianya dan memisahkan diri.

Semua yang berlebihan itu tidak baik.

Pada dasarnya semua orang memiliki hobi atau passion terhadap kegemaran yang berbeda-beda. Mungkin kamu bisa mengenalkan hal seru di luar kultur wibu padanya, sambil mencoba belajar tentang apa yang menarik dari perspektif temanmu sebagai seorang wibu. Pertukaran ide dan informasi biasanya sangat bermanfaat dalam menumbuhkan empati dan nalar, lho.

jika kamu bukan wibu, tapi memiliki teman atau kenalan seorang wibu, tidak perlu menjauhi atau menganggap mereka sebagai ‘freak’. Tidak perlu juga stereotyping seperti memanggil atau terus menerus bercanda “wibu, wibu…” atau membedakan mereka sehingga mereka tidak semakin lari/larut ke dunianya dan memisahkan diri.

Itu dulu yang dapat Pirrou ceritakan terkait wibu culture. Berikutnya, Pirrou akan berbagi mengenai macam-macam obsesi berlebihan pada hal-hal lainnya. Terima kasih dan sampai jumpa!

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023