Belakangan vaksin menjadi topik yang begitu menarik perhatian banyak orang sebab kebutuhannya yang mendesak untuk menghambat penyebaran virus COVID-19. Meskipun begitu sebagian orang masih belum paham benar tentang kegunaan dan proses pembuatan vaksin sehingga memunculkan salah kaprah. Ada yang berpendapat bahwa vaksin mengandung bahan kimia yang hendak memberikan efek samping berdampak buruk di masa depan. Padahal tidak begitu. Faktanya manfaat vaksin lebih banyak dari pada risikonya. Pertama-tama tentu saja kita harus kenal dulu apa itu vaksin. Secara sederhana, vaksin adalah suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh entah disuntikkan atau diteteskan akan merangsang sistem kekebalan tubuh secara spesifik terhadap satu penyakit.
Secara sederhana, vaksin adalah suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh entah disuntikkan atau diteteskan akan merangsang sistem kekebalan tubuh secara spesifik terhadap satu penyakit.
Pada umumnya, kita harus sakit dulu baru akan kebal akan penyakit tertentu. Misalnya penyakit cacar air atau campak. Kita harus sakit dulu baru kemudian tidak bisa terjangkit lagi. Sedangkan vaksin justru memberikan kekebalan pada tubuh tanpa harus kita terserang penyakitnya dulu. Sayangnya masih ada mereka yang enggan untuk mendapatkan vaksinasi karena merasa zat kimia dalam vaksin tidaklah baik. Padahal sebenarnya semua hal yang kita konsumsi pasti ada kandungan kimia. Nasi, air, bahkan oksigen adalah unsur kimia. Dan semua unsur ini juga pasti ada efek sampingnya. Nasi, misalnya, kalau dikonsumsi berlebihan bisa meningkatkan gula darah. Begitu juga air mineral yang bisa menyebabkan fungsi ginjal kalau terlalu banyak. Vaksin sendiri efek sampingnya memang ada tapi tergolong ringan dan tidak mengkhawatirkan. Biasanya efek samping dari vaksinasi sifatnya lokal seperti nyeri pada bekas suntikan dan mungkin demam —meski jarang sekali terjadi. Jadi pemahaman efek samping dan bahan kimia juga harus kritis. Tidak asal menyerap yang hanya pada permukaan saja. Nyatanya, ilmu kedokteran selalu berdasar pada prinsip pertimbangan manfaat.
Sayangnya masih ada mereka yang enggan untuk mendapatkan vaksinasi karena merasa zat kimia dalam vaksin tidaklah baik. Padahal sebenarnya semua hal yang kita konsumsi pasti ada kandungan kimia.
Sekarang ini kita memang sedang berlomba-lomba menciptakan vaksin untuk virus corona karena kebutuhannya yang mendesak. Namun proses vaksin sendiri sebenarnya memakan waktu 8-15 tahun dari proses pembuatan hingga dipasarkan. Pembuatannya sangat sulit karena pertimbangan keamanan dan efektivitas yang harus akurat. Vaksin diberikan pada orang yang sehat untuk mendapatkan kekebalan tubuh pada penyakit tertentu. Kalau tidak akurat bisa jadi berbahaya. Jadi ketika vaksin dibuat, sudah dapat izin edar dan sudah dinyatakan aman lewat penelitian yang panjang barulah dapat digunakan manusia. Pembuatan vaksin akan semakin rumit ketika sifat atau karakteristik virus atau bakteri memiliki sifat mutasi yang tinggi. Perlu kita tahu bahwa semua makhluk hidup pasti bermutasi. Termasuk virus. Setiap kali sel-sel membelah diri ada kemungkinan gagal membentuk sel yang sama. Jadi ketika ada sel yang tidak sempurna itulah kemudian muncul penyakit. Upaya untuk memperbaiki kegagalan tersebut adalah dengan bermutasi. Saat virus bermutasi sering, menjadi tidak stabil, maka akan sulit menemukan target yang cocok untuk dibunuh oleh vaksin. Seperti contohnya influenza yang tingkat mutasinya tinggi sekali. Setiap tahun jenisnya bisa berbeda-beda karena sirkulasi virusnya berbeda-beda.
Sebenarnya virus COVID-19 mutasinya tidak cepat. Namun daya tular dan kecepatan penyebarannya sangatlah cepat. Menemukan obat dan vaksin untuk penyakit ini menjadi sulit karena virus ini tergolong baru, sesuatu yang belum pernah ada sehingga perlu diteliti dengan seksama dan menyeluruh. Kalau ada yang memberitakan bahwa beberapa negara sudah menemukan vaksin, itu pemahaman yang salah. Yang sudah ditemukan adalah kandidat vaksin bukan vaksin yang sudah bisa diedarkan. Saat berbicara tentang vaksin yang masih akan diuji coba itu berarti termasuk kandidat vaksin. Lebih dari 70% kandidat itu akan gagal. Dari 10 kandidat bisa hanya 1 yang jadi atau bahkan tidak ada. Sampai saat ini vaksin yang sudah jadi belum ada karena semua masih dalam tahap pengembangan.
Perlu diketahui juga bahwa satu jenis vaksin hanya bisa berfungsi untuk melindungi tubuh dari satu jenis penyakit saja. Jadi vaksin Hepatitis B hanya untuk melindungi diri dari penyakit Hepatitis B. Tidak bisa dibenturkan. Lalu untuk anak-anak, vaksin melengkapi asi dan imunisasi. Jadi tidak bisa mengandalkan asi saja karena asi tidak memberikan kekebalan secara spesifik terhadap penyakit. Inilah mengapa vaksinasi tidak bisa ditandingi oleh upaya pencegahan lain. Kita bisa pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, tapi kalau ada vaksin ada kekebalan yang lebih spesifik. Selain melindungi diri sendiri, vaksin juga bisa membantu mencegah penyebaran lebih luas. Dalam konteks herd immunity atau kekebalan komunitas, satu area dengan penghuni yang divaksinasi lebih banyak dapat menjadi tembok bagi satu orang yang sakit sehingga ia tidak menulari ke lebih banyak orang. Sedangkan satu daerah misalnya hanya 30% yang divaksinasi, kemungkinan penyebaran virus masih tinggi. Jadi manfaat vaksinasi tidak cuma melindungi diri sendiri tapi melindungi orang banyak. Vaksinasi merupakan investasi jangka panjang karena sifatnya pencegahan.
Jadi manfaat vaksinasi tidak cuma melindungi diri sendiri tapi melindungi orang banyak. Vaksinasi merupakan investasi jangka panjang karena sifatnya pencegahan.