Banyak orang menggunakan kata “ego” dalam pemahaman yang salah. Ketika ada yang bilang, “Kamu ego sekali”, dia mengartikan ego sama seperti egois. Padahal kata ego tidaklah demikian. Konsep ego cukup berkaitan erat dengan teori Sigmund Freud, seorang psikoanalis yang menjabarkan pengertian ego sebagai pengendali kepribadian kita. Teori ini berasal dari pengamatannya pada para pasien yang sering berteriak secara histeris. Mulailah dia menyusun teori bahwa setiap orang punya kepribadian yang berbeda-beda namun memiliki struktur. Sama seperti membangun sebuah gedung yang harus ada pilar dan tembok untuk melengkapi, kondisi mental yang dipersonifikasi menjadi kepribadian juga memiliki tiga struktur yang disebut id, ego, dan superego.
Sama seperti membangun sebuah gedung yang harus ada pilar dan tembok untuk melengkapi, kondisi mental yang dipersonifikasi menjadi kepribadian juga memiliki tiga struktur yang disebut id, ego, dan superego.
Struktur paling bawah adalah id yaitu sebuah dorongan yang mirip seperti dorongan agresif yang dimiliki hewani. Dorongan yang membuat manusia bisa berpikir pendek untuk memenuhi hasratnya. Biasanya dorongan agresif ini cenderung ke arah yang lebih buruk. Sebaliknya struktur teratas disebut superego yang adalah dorongan untuk bisa diterima lingkungan. Superego yang ada di diri kita biasanya mengarahkan diri kepada norma-norma sosial. Dorongan superego membuat makhluk hidup beradab. Akan tetapi baik id dan superego tidak bisa ada yang lebih dominan. Apabila id cenderung mendominasi pikiran, kepribadian seseorang akan condong untuk berbuat hal yang impulsif, dan bahkan bisa mencelakai orang lain karena ketidakpedulian pada tatanan dan norma. Pun tidak akan berakhir baik kalau Superego terlalu dominan. Freud percaya seseorang yang didominasi oleh superego akan menjadi seseorang yang dia sebut neurotik. Kepribadiannya akan mengarah kepada kemunafikan.
Oleh sebab itu menurut Freud orang yang sehat adalah orang yang mampu mengendalikan keduanya. Di sinilah ego yang berada di tengah berperan. Ego mengendalikan agar id dan superego tidak lebih menguasai dari yang lainnya. Dalam pemahaman ini ego tentu saja berbeda dengan egois. Ego adalah pengendali utama atas cara kerjanya kepribadian yang menjadi pembeda antar manusia. Manusia bisa memiliki kepribadian yang berbeda sebab terdapat dinamika di antara id dan superego. Sehingga ego harus bekerja berdasarkan prinsip keseimbangan. Mengatur kapan harus marah (mengeluarkan karakter id) dan kapan harus patuh pada peraturan (mengeluarkan superego). Untuk dapat mengasah ego itu sendiri sebenarnya kita manusia telah diberikan akal budi untuk menalar dan mengatur keduanya. Sehingga kita hanya perlu mengasahnya lebih sering.
Menurut Freud orang yang sehat adalah orang yang mampu mengendalikan id dan superego.
Akan tetapi sebenarnya teori Freud ini sudah ada terlalu lama sehingga di beberapa kasus kurang dapat digunakan. Seperti halnya dunia berevolusi, teori ego ini pun demikian. Contohnya teori humanistik yang melengkapi teori ego tersebut. Kalau kita mau hidup baik teori ini memahami manusia secara keseluruhan. Manusia tidak hanya butuh kebutuhan fisik saja tapi juga kebutuhan aktualisasi diri. Di situlah letaknya menjadi pribadi yang baik. Seseorang tidak lagi berorientasi pada kebutuhan tingkat bawah yaitu makan, minum, dan hubungan sosial termasuk pengakuan sosial. Aktualisasi diri pada teori humanistik adalah tahap seseorang sudah bisa berorientasi pada eksternal, tidak pada dirinya sendiri. Dia ingin dirinya berdaya, bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Sehingga dia akan mengerahkan seluruh potensi diri untuk pihak di luar dirinya tanpa perlu diketahui siapapun. Tidak lagi butuh pengakuan. Orang tersebut akan melakukan kebaikan tanpa alasan. Sekalipun alasan kewajiban sebagai manusia beragama. Dia ingin melakukannya karena memang ingin melakukan saja. Dulu orang Indonesia menerjemahkan aktualisasi diri sebagai manusia yang mewujudkan asas Pancasila. Sayangnya proyek itu gagal. Akhirnya sekarang masyarakat malah mengutamakan eksistensi diri. Meningkatkan sosial narsisme. Orang jadi tidak malu-malu lagi mengungkap jati dirinya bahkan tentang keburukannya.
Aktualisasi diri pada teori humanistik adalah tahap seseorang sudah bisa berorientasi pada eksternal, tidak pada dirinya sendiri. Dia ingin dirinya berdaya, bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan.
Tidak hanya berhenti di sana, terdapat teori psikologi lain yang dapat membuat kita bisa lebih memahami ego dalam diri. Disebut teori psikologi positif, manusia tidak lagi fokus pada keburukan yang harus diperbaiki melainkan pada kebaikan dan kelebihannya. Seseorang dapat menjadi pribadi yang baik ketika dia memahami kekuatan dirinya dan dapat mengarahkan hidup demi memeroleh kebahagiaan. Untuk sampai di sana sebenarnya teori dasar Freud masih terkait. Misalnya seseorang suka makan. Kalau ada makanan enak dia bisa jadi lupa diri tapi di situlah letak kebahagiaannya. Dalam tahap ini manusia sedang mengembangkan kepribadiannya di struktur Id yang berhubungan dengan hasrat diri. Namun dalam psikologi positif perilaku ini tidak dianggap buruk. Perilaku ini dianggap kelebihan seseorang yang dapat digali manfaatnya untuk ditingkatkan kualitasnya. Apakah dari sekadar makan enak ini ternyata bisa bermanfaat bagi orang lain misalnya kesukaannya pada makanan bisa dibagikan bersama anak yatim piatu. Kemudian dari sana nalar kita manusia yang mengenali teori psikologi positif ini akan kembali mempertanyakan apakah sudah cukup seperti itu? Apakah hasrat makan kita bisa membawa diri lebih jauh dan berarti. Dari segala penalaran tersebut kita akan belajar untuk terus mengenali kebaikan diri dan memaksimalkannya tidak hanya untuk misi pribadi tapi juga orang lain.