Manusia kerap kali takut dengan perbedaan. Bagaikan membuang garam di laut, ketika kita selalu membuat sesuatu yang sama, seberapapun hebatnya itu, tidak akan ada nilainya. Sebaliknya, sesuatu yang berbeda, yang memiliki karakter dapat memberikan nilai lebih. Seperti wayang yang menjadi karakter budaya kita. Seluruh dunia mengetahui wayang. Bahkan UNESCO sendiri mengakuinya sebagai warisan dunia karena ia memiliki keunikan dan berbeda dari budaya negara lainnya.
Dulu, Presiden Soekarno sendiri sebenarnya mengusung misi untuk membangun karakter manusia Indonesia agar kita bisa jadi berbeda dengan manusia di negara lainnya. Salah satu caranya adalah dengan mengenal sejarah dan budaya bangsa kita sendiri. Langkah ini bertujuan supaya ketika melakukan diplomasi kebudayaan secara internasional, kita dapat menampilkan sesuatu yang menjadi ciri khas. Tapi memang kita sering terjebak dalam eksotisme. Kalau membicarakan tentang Indonesia, kita berusaha menempelkan batik atau wayang di dalam karya. Padahal memperlihatkan karakter Indonesia tidak melulu harus memamerkan unsur tersebut. Membawa jati diri kita sebagai manusia Indonesia yang memahami sejarah dan kebudayaannya saja sudah bisa menegaskan identitas diri sebagai bagian dari nusantara. Semisal, karya saya banyak menorehkan unsur spirit tradisi tanpa membuatnya menjadi karya seni tradisional. Saya menggabungkan konsep animisme yang ada pada wayang dengan konsep animasi yang berupa makhluk-makhluk khayal.
Kedua konsep ini sangatlah menarik karena memiliki kesamaan yaitu membuat sesuatu yang tidak hidup menjadi hidup. Dalam animasi, semua benda bisa hidup. Setetes air saja bisa hidup, bisa bicara. Begitu juga animisme di mana orang-orang memercayai bahwa benda-benda di sekitar kita memiliki roh atau jiwa, seperti wayang yang dahulu dipercaya memiliki jiwa. Menurut saya, seniman adalah seorang animis. Kami menghidupkan sesuatu yang tidak terlihat atau tidak terdengar menjadi bisa dilihat dan didengar. Sehingga konsep animisme dan animasi sangat erat kaitannya dengan sifat para seniman dan ini yang menjadi karakter atau identitas saya dalam berkarya.
Identitas diri merupakan hal yang amat penting dimiliki oleh seniman agar ia bisa memiliki kepercayaan atas apa yang dipikirkan dan diyakini. Sehingga tidak mudah percaya pada apa yang diyakini oleh orang lain. Dengan memiliki identitas, seorang seniman dapat memosisikan diri sebagai apa dan siapa. Salah satu cara untuk menonjolkan identitas dalam berkarya adalah memiliki unsur filsafat di dalam karya seni. Sebab seni tanpa filsafat adalah dekorasi. Pada dasarnya, filsafat adalah salah satu elemen yang harus ada dalam penciptaan karya. Seni, hakekatnya, adalah sesuatu yang lahir dari buah pemikiran dan pertanyaan sang penciptanya. Menghadirkan filsafat di dalam berkesenian membuat karya menjadi sesuatu yang memiliki arti. Tidak hanya berarti untuk karya seni itu sendiri melainkan juga dalam berkehidupan karena seni dekat sekali dengan peradaban manusia. Seni merupakan media untuk meningkatkan kualitas manusia agar bisa masuk ke tingkat pemikiran yang lebih tinggi.
Identitas diri merupakan hal yang amat penting dimiliki oleh seniman agar ia bisa memiliki kepercayaan atas apa yang dipikirkan dan diyakini. Sehingga tidak mudah percaya pada apa yang diyakini oleh orang lain.
Karya Picasso, misalnya. Lukisannya dibuat bukan untuk memberikan harmoni pada salah satu dinding atau sudut rumah. Lukisannya ditaruh di sembarang tempat pun akan dilihat sebagai sebuah diskusi sebab karyanya memacu kita untuk memikirkan apa yang Picasso pikirkan saat itu. Mencoba untuk menerjemahkan pesan yang ingin disampaikan Picasso dalam merespon sebuah fenomena. Jadi sebuah karya seni murni adalah karya yang membuat seorang dapat berpikir kritis, mempertanyakan isi dari karya tersebut. Bukan sekadar tampilannya yang enak dipandang.
Karya seni murni adalah karya yang membuat seorang dapat berpikir kritis, mempertanyakan isi dari karya tersebut. Bukan sekadar tampilannya yang enak dipandang.
Seperti juga yang saya tuangkan dalam karya “Brotherhood in Peace” pada OPPO Art Jakarta Virtual 2020. Karya ini dilahirkan setelah mengulik lirik lagu “Brother in Arms” yang kalau diteliti ternyata isinya menyampaikan bahwa kita semua sebenarnya bersaudara tapi mengapa masih tetap terjadi perang saudara. Mirip juga dengan cerita Mahabarata di mana semua orang mati karena ingin mencari kebenaran. Menurut saya ini adalah sebuah ironi dalam peradaban manusia yang sebenarnya sekarang sudah sangat tinggi. Mengapa masih bisa terjadi perang saudara, terjadi rasisme hingga sekarang? Kemudian saya juga disadarkan oleh salah satu lagu John Lennon, “Imagine”. Liriknya seakan berkata bahwa semestinya perdamaian kita dapatkan bukan setelah kita meninggal namun kala kita masih berada dalam kehidupan itu sendiri.
Begitulah karya saya dinamakan “Brotherhood in Peace”. Menurut saya, perdamaian adalah sesuatu yang penting dalam berkehidupan. Kita tidak melakukan rasisme terhadap siapapun karena Tuhan menciptakan manusia untuk saling menghormati. Dalam karya tersebut saya juga menampilkan jabatan tangan sebagai tanda yang ingin menyatakan, “Saya datang dengan tangan kosong untuk membawa perdamaian sebab kita adalah saudara dalam perdamaian.”
Menurut saya, perdamaian adalah sesuatu yang penting dalam berkehidupan. Kita tidak melakukan rasisme terhadap siapapun karena Tuhan menciptakan manusia untuk saling menghormati.