Sangatlah disayangkan bahwa Indonesia termasuk negara yang masih memiliki banyak kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Sulit sekali untuk menerjemahkan kepada masyarakat dan penegak hukum tentang pentingnya melakukan kriminalisasi seks di bawah umur. Banyak yang masih memandangnya wajar atau berdalih dengan menyatakan bahwa selama orang tua setuju berarti tidak masalah. Masyarakat kita merasa ini bukan sebuah masalah dan persepsi tersebut sangatlah sulit diubah.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak bisa dikatakan cukup kompleks. Masih ada orang yang memakai agama dan budaya sebagai pembenaran. Misalnya dengan kepercayaan tentang suami sebagai pemimpin keluarga sehingga keluarga harus tunduk kepadanya. Sedangkan dari sisi budaya, perempuan masih sering ditempatkan sebagai lapisan kedua di masyarakat. Di Indonesia sendiri, hal seperti ini masih dianggap tabu dan sulit didiskusikan. Faktor ekonomi juga bisa dibilang salah satu akarnya. Sudah sejak lama pria yang dianggap sebagai penanggung jawab atau tulang punggung sehingga perempuan dianggap sebagai obyek tanggungan pria. Ini bisa berkonotasi negatif yang membuat seolah perempuan harus menerima segala perlakuan dari pria.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak bisa dikatakan cukup kompleks. Masih ada orang yang memakai agama dan budaya sebagai pembenaran.
Meskipun masih terlihat panjang proses perubahannya, saya yakin kita akan mengarah ke sana apalagi dengan adanya globalisasi dan kesadaran generasi terkini. Indonesia bisa jadi negara teraman dan berkembang. Masyarakat global banyak yang optimis melihat Indonesia masuk dalam urutan ke-4 besar di 2030 dalam bidang ekonomi. Jika ekonomi kita stabil karena adanya kesejahteraan, masyarakat kita pun dapat mengembangkan toleransi sehubungan dengan hak asasi manusia itu tadi. Apalagi jika perempuan bisa berdaya secara finansial.
Keterlibatan saya dalam permasalahan perempuan dan anak bukanlah sebuah kesengajaan. Awalnya, saya hanya ikut program magang di mana tugas saya adalah melakukan sosialisasi tentang perlindungan anak kepada para relawan yang berasal dari Australia. Ternyata dalam proses itu, banyak studi banding yang membuat saya belajar tentang perlindungan perempuan dan anak di Australia. Akhirnya saya menyadari bahwa apabila kita ingin melihat negara kita maju, kita bisa melihatnya dari bagaimana seorang anak diasuh. Sesederhana jaminan pendidikan dari negara, atau adanya rumah singgah untuk anak yatim piatu, serta pengelolaan pencegahan anak masuk ke dalam prostitusi dan perdagangan manusia. Saya pernah menghabiskan waktu selama 4 minggu dengan anak-anak korban perdagangan manusia. Pengalaman-pengalaman tersebutlah yang membuka mata saya untuk membuat sebuah perubahan.
Apabila kita ingin melihat negara kita maju, kita bisa melihatnya dari bagaimana seorang anak diasuh.
Saya mengetahui banyak anak-anak dikirim oleh keluarganya ke pihak lain untuk bekerja. Padahal mereka tahu anaknya akan kerja seperti apa. Sudah banyak sekali anak yang akhirnya masuk ke dalam jerat prostitusi, bahkan sampai hamil, terjangkit HIV, dan lain-lain. Ini adalah masalah yang amat kompleks. Menurut saya, salah satu solusinya adalah pemerintah harus bisa menciptakan aturan dan regulasi yang semestinya sehingga bisa melindungi perempuan atau anak-anak yang tidak ingin menjadi pekerja seks atas kemauannya sendiri.
Membuat aturan dan undang-undang di negara kita juga bisa dibilang cukup kompleks. Setiap kabinet tentu punya agendanya masing-masing sehingga harus dikaji ulang apakah sebuah isu masuk ke dalam agenda atau tidak. Kalaupun sudah masuk ke dalam agenda, belum tentu akan tembus sampai presiden. Hal yang cukup menantang lainnya adalah bagaimana para pembuat undang-undang bisa meyakinkan legislator dan menjelaskan dampaknya seperti apa, implementasinya seperti apa. Jadi sebenarnya, butuh kesadaran secara kolektif untuk menaikan isu ini hingga akhirnya bisa mencapai cita-cita yang ideal. Membuka diskusi kepada lebih banyak orang bisa jadi permulaan. Dengan semakin banyak orang yang tahu dan peduli, semakin banyak yang terbuka matanya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.