Pria dan wanita adalah sumber dari segala sumber. Ketika ada pria pasti ada wanita. Sehingga seharusnya ketika tubuh maskulin pria memandang tubuh feminin wanita dan sebaliknya, mereka bisa saling merefleksikan bahwa mereka adalah bagian dari satu sama lain.
Pada dasarnya kita semua berasal dari dua elemen yang berbeda, yang kemudian melebur jadi satu. Sayangnya, tradisi atau kebiasaan sosial seringkali membuat kita langsung diberikan label-label tertentu saat kita baru saja lahir ke dunia. Padahal seorang bayi yang baru lahir belum punya kesadaran dan pikiran untuk memahami label laki-laki atau perempuan. Kala itu, belum saatnya ia menentukan sendiri pilihannya hingga akhirnya ditentukan oleh tradisi yang merupakan kebiasaan orang tua dan sosial kita. Inilah yang membuat pilihannya sudah dibatasi dari kecil. Menurut saya, masalah yang ada di dunia ini tidak akan selesai selama kita selalu dikotak-kotakan, diberi label atau status tertentu. Salah satunya permasalahan perbedaan perlakuan antara pria dan wanita di masyarakat.
Pada dasarnya kita semua berasal dari dua elemen yang berbeda, yang kemudian melebur jadi satu.
Di Indonesia dan di berbagai belahan dunia, masih banyak orang yang belum memahami cara pandang ketubuhan yaitu tidak hanya menonjolkan satu sifat saja antara maskulin dan feminin. Jika kita mau mencintai dan memaknai tubuh kita sendiri, kita bisa lebih menghargai satu sama lain sebab kita tahu di samping sisi maskulin yang dimiliki kita punya sisi feminim juga. Begitu pula sebaliknya. Ketika seorang pria bisa meleburkan pikiran dan perasaannya dengan pikiran dan perasaan wanita, ia bisa menghargai ketika berbicara dan bertindak pada wanita. Ia bisa menurunkan ego yang kerapkali menjadi pembatas baginya untuk berpikir secara terbuka. Sehingga ia akan bisa menyadari bahwa wanita setara dengannya. Tidak berada di bawahnya. Sebab sebenarnya peran pria bukan hanya untuk melindungi wanita tapi bagaimana memahami wanita sebagai bagian dari tubuhnya.
Jika kita mau mencintai dan memaknai tubuh kita sendiri, kita bisa lebih menghargai satu sama lain sebab kita tahu di samping sisi maskulin yang dimiliki kita punya sisi feminim juga.
Biasanya pikiran pria yang masih menganggap posisinya di atas wanita berasal dari gengsi yang masih tumbuh dalam dirinya. Ia masih sering melakukan diskriminasi pada dirinya sendiri sehingga berusaha untuk mengunggulkan maskulinitasnya. Artinya, ia belum berdamai dengan dirinya sendiri untuk mengakui di dalam dirinya ada sisi feminim juga karena ia pun berasal dari tubuh wanita. Saya menemukan di Korea, Jepang, Singapura dan Thailand, banyak pria yang sudah melepaskan maskulinitasnya dan belajar merasakan sisi feminimnya (terlepas dari konteks orientasi seksual). Contohnya dengan menggunakan perawatan tubuh yang dipakai wanita, menggunakan pakaian atau aksesori yang dikenakan wanita, dan sebagainya. Ini sebenarnya adalah salah satu upaya untuk meleburkan tingkat kehidupan menjadi tatanan hidup yang baru untuk tubuh mereka. Selama kita masih memberikan stereotip pada jenis kelamin tertentu: wanita harus lembut, posisinya selalu di bawah pria, dan diskriminasi lainnya, dunia ini tidak akan terhindar dari keributan dan peperangan sosial.
Selama kita masih memberikan stereotip pada jenis kelamin tertentu: perempuan harus lembut, posisinya selalu di bawah pria, dan diskriminasi lainnya, dunia ini tidak akan terhindar dari keributan dan peperangan sosial.
Pemahaman ini saya dapatkan dari berbagai penelitian tentang tari Lengger, sebuah tarian yang saya pelajari dan kuasai dari kecil hingga. Dari observasi tersebut, saya mengambil kesimpulan untuk menyatakan bahwa tubuh saya tidak hanya memiliki unsur maskulin melainkan juga feminim. Lebih jauh lagi, saya memaknai tubuh adalah sebagai bagian dari alam sehingga saya tidak mendefinisikan tubuh ini dengan satu gender saja tapi lebih universal sebab alam tidak berjenis kelamin. Alam mengenal semua jenis karakter dan tubuh saya adalah tubuh alam. Bahwa pria dan wanita itu sama. Ketika wanita hidup sendiri, mereka juga harus berjuang membetulkan atap bocor. Seperti ibu dan adik perempuan saya yang tinggal berdua saja di rumah. Apapun yang terjadi, mereka harus bisa melakukan pekerjaan pria juga.
Jadi ketika berkreasi, mengungkapkan ekspresi dalam tarian, saya selalu memandang tubuh wanita yang dihadapi di depan saya adalah tubuh saya. Sama juga ketika menghadapi tubuh pria. Saya juga menghadapi tubuh saya, Tidak membedakan.