“Tak kenal maka tak sayang.” Sepertinya ini istilah yang tepat untuk kebanyakan orang di Indonesia yang kurang mau belajar tentang sejarah Indonesia. Ada orang yang bilang cinta Indonesia tapi mereka tidak mengenal bangsanya sendiri, tidak tahu siapa pahlawan Indonesia, atau bagaimana cerita sejarah Indonesia. Kalau mereka bilang cinta tapi tidak kenal, ya cintanya omong kosong dan tidak berdasar. Sama saja seperti kita cinta sama pasangan. Saat kita kenal dia lebih banyak, tahu hobinya, kenal orang tuanya, perjuangannya dalam hidup, beserta segenap pengalamannya, pasti kita semakin sayang padanya. Tapi kalau suatu saat kita amnesia, ya rasa sayang itu akan hilang sendirinya karena kita tidak kenal lagi dengan dia.
Kalau ada orang yang bilang cinta Indonesia tapi mereka tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri, cintanya omong kosong.
Begitu juga yang terjadi pada anak-anak muda yang tidak mempelajari sejarah perjuangan bangsa ini. Seperti hilang ingatan, tidak ada penghargaan pada negara, lalu bisa jadi porak poranda dan akan dimanfaatkan oleh negara lain. Sesimpel itu sebenarnya. Dalam kondisi sekarang, jujur saja bangsa ini sedang dihancurkan oleh bangsa lain. Melalui budaya, ekonomi politik.
Kebanyakan orang berpikir sejarah itu tidak ada nilainya dan tidak ada manfaatnya. Mereka yang mengenyam pendidikan kesejarahan masa depannya diprediksi akan suram. Bahkan dia seperti bunuh diri jika mengambil jurusan sejarah. Orang-orang tersebut tidak mengerti seberapa penting sejarah dan sebenarnya menjadi sejarawan bisa mendapatkan keuntungan tersendiri hanya saja mereka tidak mengerti bagaimana mengemas penyampaian sejarah. Tidak bisa menguliknya. Saya merasa beruntung bisa jadi historia entrepreneur, bisa jadi seorang sejarawan, dan juga aktivis. Sehingga saya bisa mengembangkan ilmu yang saya miliki dan mendorong massa mempelajari sejarah lewat situs media yang sedang dikembangkan bertajuk Komunitas Historia Indonesia.
Mungkin kelihatannya program Komunitas Historia Indonesia (KHI) terlihat hanya sebatas jalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah, padahal sebenarnya propagandanya lebih besar dari itu. Coba sekarang kalau kita latihan balet tiap hari maknanya apa? Atau main game tiap hari maknanya apa? Membunuh waktu? Foya-foya? Segala sesuatu yang tidak ada makna lebih sebenarnya buat apa? Hanya akan jadi mubazir saja. Sekarang kalau ada banjir bandang di Jakarta lalu mereka latihan balet tiap minggu apakah bisa bertahan hidup dengan latihan balet? Tidak mungkin. Makanya anak muda harus diberikan kerangka berpikir untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat jangka panjang misalnya latihan bela diri atau latihan pramuka. Itu adalah latihan bertahan hidup. Orang Indonesia lebih mudah untuk termakan kegiatan-kegiatan yang berbau konsumerisme saja dan semakin hari akan semakin membahayakan kemajuan bangsa. Anak-anak mudanya tidak mau berubah, pendidikan juga tidak.
Dibutuhkan kesadaran kolektif dari berbagai kalangan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air lewat sejarah. Contoh dalam lingkup terdekat, keluarga. Orang tua mesti aktif untuk memberikan pengajaran sejarah pada anak-anak. Kalau mereka saja tidak bisa menemani anak belajar lalu anaknya sering ditinggal dengan asisten rumah tangga (ART) ya mentalnya akan setara asisten rumah tangga. Saya tidak bilang bahwa mental ART itu jelek, bukan. Tapi masalah edukasi. Tingkat pendidikan memengaruhi seseorang. Semakin rendah pendidikan semakin rendah perilaku. Sehingga jika seorang anak lebih banyak berinteraksi dengan mereka yang berpendidikan rendah, ya mentalnya dan perilakunya pun akan demikian. Begitu juga media harus ikut menggaungkan. Apalagi pemerintahan dari segi pembuatan sistem pendidikan dan pemberian teladan.
Dibutuhkan kesadaran kolektif dari berbagai kalangan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air lewat sejarah.
Alangkah baiknya jika pemerintah bisa membangun sumber daya manusia (SDM) lewat pendidikan sejarah. Inilah yang menumbuhkan kecintaan masyarakat pada bangsanya sendiri. Istilahnya seperti ini, kita berani tidak bunuh orangtua? Tidak mungkin, kan? Mengapa? Karena kita ingat bagaimana mereka menyayangi, mengupayakan segala usaha untuk mendidik dan membesarkan kita. Coba kalau kita hilang ingatan dan tidak kenal orangtua, ya bisa saja kita membunuh mereka. Begitu juga kalau kita tidak paham dengan sejarah bangsa, kita akan mudah sekali diprovokasi dan menciptakan separatisme yang dapat memecah belah persatuan.
Kalau kita tidak paham dengan sejarah bangsa, kita akan mudah sekali diprovokasi.
Kemudian mengapa tidak memasukkan sejarah menjadi salah satu subyek dalam ujian nasional. Kalau kita contoh negara lain seperti Amerika Serikat, mereka kalau mau jadi dewan itu harus mengikuti tes kesejarahan untuk menguji seberapa kenal dengan negaranya sendiri. Bagaimana mau melanjutkan kepemimpinan bangsa kalau tidak tahu sejarah sendiri? Yang ada malah korupsi untuk dirinya karena tidak ada rasa cinta tanah air. Juga bisa dengan peneladanan. Tokoh-tokoh politik termasuk presiden bisa menebarkan keminatan pada sejarah bangsa dengan pergi ke museum sehingga pengikutnya pun tertarik untuk ikut ke museum.
Saya cukup kecewa dengan adanya pembodohan massa yang terjadi setiap perayaan kemerdekaan di mana lomba makan kerupuk, balap karung itu seakan-akan menjadi budaya kita untuk mengenang masa perjuangan. Padahal lomba-lomba tersebut adalah cara untuk tidak mengungkap sejarah di masa orde lama. Supaya pemerintah di era tersebut tidak tumbang. Sampai-sampai mereka melestarikan itu sampai sekarang. Padahal kalau kita teliti, berbagai lomba tersebut sangatlah ironis dan tidak bermakna. Contohnya lomba balap karung menggunakan karung goni. Karung goni adalah lambang perbudakan masyarakat di zaman Belanda yang digunakan sebagai pakaian. Lain lagi dengan lomba makan kerupuk yang mana kerupuk adalah simbol kemelaratan. Kalau dipikirkan kembali kenapa itu mesti dilestarikan? Kenapa kita tidak merayakannya dengan yang lebih bermakna seperti lomba menyanyikan lagu lagu nasional, lomba mencari harta karun sejarah, lomba yang berhubungan dengan kesejarahan. Akan menarik kok. Tapi kenapa sampai harus membuat perlombaan bapak-bapak main bola sambil mengenakan daster? Tidak nyambung. Itu perlombaan yang hanya membodohi.
Bangsa ini memang mudah sekali mendapatkan pembodohan massal. Melakukan hal-hal yang tidak bermartabat justru dijadikan kebiasaan. Keibaan, pornografi, kekerasan, kebodohan yang orang bilang lucu yang padahal menurut saya bentuk eksploitasi dan tidak pantas ditiru, malah laku. Terlihat sekali di saluran televisi nasional bahwa tayangan-tayangan tersebut mendapat rating yang tinggi sedangkan tayangan edukasi tidak ada yang mau melirik, menonton. Ini adalah bentuk bagaimana bangsa ini sudah dibudaki oleh figur-figur yang hanya meningkatkan rating saja. Giliran ada pihak baik, berprestasi, menawarkan sesuatu yang positif dan edukatif justru tidak dilirik sama sekali.
Jadi sebenarnya masa depan itu kita yang menentukan. Seperti saat kita menanam jagung, ya kita akan memanen jagung juga di masa depan. Kalau di hari ini kita miliki kemerdekaan tixak mungkin dulu tidak ada pahlawan yang sudah berjuang. Masa depan tidak akan hadir untuk anak cucu kalau kita hari ini tidak melakukan apa-apa.
Masa depan tidak akan hadir untuk anak cucu kalau kita hari ini tidak melakukan apa-apa.