Seperti yang kita tahu keluarga adalah tempat pertama yang membantu membentuk kepribadian diri serta pola berpikir. Ingat tidak ketika orangtua memberikan wejangan sedari kecil kita sering kali berkata bahwa mereka bawel dan kadang malas mendengarkannya? Ketika dewasa kita akhirnya menyadari wejangan-wejangan itulah yang justru akan sangat memengaruhi kehidupan sosial kita. Setidaknya itulah yang saya alami.
Pribadi yang sangat memengaruhi perspektif dan tindakan saya saat dewasa adalah ayah. Kami memiliki kebiasaan untuk selalu berbagi kisah. Semakin bertumbuh pun saya melihat beliau sebagai sosok yang luar biasa dengan filosofi hidup yang jadi panutan saya sampai saat ini. Hidup sederhana, tidak neko-neko dan selalu menjadi manusia yang baik adalah pesan berharga darinya. Tidak hanya dari dalam, penampilan luar beliau juga merepresentasikan bagaimana reputasi dan impresi sangatlah penting. “Di depan orang lain kita harus dapat mempresentasikan diri dengan baik,” begitu katanya.
Tidak berhenti di situ. Beliau juga selalu mendasari segala pemikiran dari observasi yang mendalam. Satu hal yang selalu dia ingatkan adalah tentang reputasi di mana reputasi adalah sesuatu yang sulit sekali dibangun dan sangat mahal harganya. Kita tak akan pernah bisa membeli reputasi. Itulah mengapa kita harus dapat menjadi individu yang baik – luar dan dalam.
Menurut saya setiap orang mendapatkan pengaruh paling besar dari faktor internal, dari orang-orang terdekat yang sering berinteraksi. Ketika memutuskan membuat sebuah media online, secara tidak langsung saya terinspirasi dari lingkungan terdekat. Waktu berumur 15 tahun, saya banyak melayani di gereja dan selalu didorong untuk berbuat baik, membuat perubahan yang berdampak positif di masyarakat. Pernah suatu kali ada pembahasan bahwa media bisa menjadi salah satu jembatan untuk menyebarkan hal baik. Mulai dari momen itu secara tidak sadar sudah ada keinginan di benak untuk berada di industri media.
Setiap orang mendapatkan pengaruh paling besar dari orang-orang terdekat yang sering berinteraksi
Memang, pengaruh eksternal yang mendorong saya membeli sesuatu atau menyukai satu sosok berasal dari berbagai media baik media cetak, televisi, hingga akun-akun media sosial yang marak di zaman milenial. Berbagai observasi tren terkini, beragam teori dan praktek apa yang berhasil atau tidak juga banyak saya cari dari media-media tersebut.
Berdasarkan pengamatan saat tengah membentuk media online, saya pun menemukan tiga nilai yang dicari seseorang sehingga dapat memengaruhinya untuk menyukai hingga membeli sebuah produk. Pertama adalah nilai praktis: apakah memudahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua nilai emosional: apakah membuatnya bahagia atau puas. Dan ketiga nilai sosial: apakah dia akan terlihat lebih baik dari orang lain. Nilai paling utama dan terpenting pada tiga faktor ini adalah nilai sosial. Seseorang akan membeli sebuah barang atau mengikuti akun Instagram seorang figur jika nilai sosialnya tinggi. Terdapat pertimbangan seperti: apakah jika menggunakan merek ini akan membuat dia terlihat lebih cantik dari orang lain atau jika follow selebriti ini dia akan terlihat keren.
Di Indonesia nilai sosial inilah yang sebenarnya disebut tren “ikut-ikutan”. Sebagian orang terpengaruh untuk membeli, mengonsumsi atau melakukan sesuatu karena banyak orang yang sudah melakukannya terlebih dahulu sehingga menyebarkan stigma bahwa hal tersebutlah yang harus dipercaya. Untuk hal yang positif tentu saja akan berbuah positif pula namun untuk sesuatu yang manipulatif, itulah yang harus dicegah.
Sebagian orang terpengaruh untuk membeli, mengonsumsi atau melakukan sesuatu karena banyak orang yang sudah melakukannya sehingga menyebarkan stigma bahwa hal tersebut yang harus dipercaya.
Generasi masa kini memiliki kecenderungan untuk melakukan analisa secara instan sehingga saat menentukan mana yang baik atau tidak, mereka kurang cakap mendasari pemikiran yang dalam. Hasilnya? Mereka terjebak dalam permainan pihak-pihak yang hanya mengutamakan keuntungan bagi mereka sendiri. Isu ini juga terjadi akibat gap antara tingginya jumlah populasi masyarakat kita dengan kondisi ekonomi dan pendidikan. Para kaum intelektual mungkin sudah lebih peka jika ada figur atau media yang hanya memanfaatkan “pengaruh” mereka di masyarakat sehingga mereka tidak akan mudah terpengaruh. Namun mayoritas orang Indonesia mudah terbuai dengan tren dan pengaruh yang diberikan figur atau merk tertentu.
Efek tren ikut-ikutan juga dapat dilihat dari banyaknya generasi muda yang ingin menjadi influencer atau membangun media untuk memengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat. Sah-sah saja, sih. Hanya kembali pada kurangnya informasi yang mendalam akan apa yang ingin mereka lakukan sehingga membuat banyak anak muda terlalu berani menciptakan sesuatu tanpa adanya pengalaman atau pembelajaran yang berakar. Semua serba mau instan.
Harus diakui negara kita memiliki banyak kesempatan dan potensi untuk berkembang. Hanya saja banyak juga orang-orang yang memanfaatkan keadaan dan tidak memiliki tujuan spesifik yang dapat membawa perubahan. Ini yang menjadi hambatan negara kita untuk maju dan berkompetisi dengan negara lain. Semua harus berawal dari motif yang tulus dan terarah. Semisal Manual Jakarta. Kami bertujuan untuk mengubah dogma media online yang dulu dikenal “abal-abal” atau tidak memiliki validasi pada penyebaran informasinya. Bermuara dari tujuan ini kemudian kami menghindari mengikut tren yang sudah ada atau bahkan yang menyimpang. Lalu mulai membentuk standarisasi dan tren baru di masyarakat.
Semua harus berawal dari motif yang tulus dan terarah.
Saya percaya tren ikut-ikutan dapat berkurang ketika kita mulai dari diri sendiri. Mendasari pemikiran dan tindakan dari observasi yang menyeluruh dapat mempengaruhi segala keputusan yang dibuat demi membuat perubahan. Nantinya keinginan diri nan kuat untuk membuat perubahan yang lebih baik dapat mempengaruhi orang lain untuk berpikir dan bertindak yang sama.