Rumah bagi saya adalah apapun yang membuat saya nyaman ‘pulang’ ke dekapannya. Bisa normal seperti kebanyakan orang, dengan atap dan pintu depan, halaman kecil serta ruang makan, bisa juga bentuknya orang-orang yang singgah di hidupmu.
Rumah bagi saya adalah apapun yang membuat saya nyaman ‘pulang’ ke dekapannya.
Seringkali rumah-rumah ini datang ke hidupmu dengan caranya yang aneh-aneh. Ada yang dijual murah oleh pemilik lamanya yang BU (Butuh Uang), ada yang ketemu tidak sengaja di sebuah bar ibukota, ada yang dikenalkan via teman-teman lain. Yang memilih rumahnya bukan hanya kamu, melainkan dia juga memilihmu. Jika sudah dapat satu, kurang-kurangnya semua hanya bisa dinikmati. Itulah bagian dari keindahannya. Jika terlalu sempurna dengan ubin marmer dan kolam renang atau rupawan pintar serta kaya raya jadi tidak ada bedanya dengan rumah di The Sims atau cerita fiksi fantasi bikinan fans yang muluk-muluk. Hanya dengan kekurangannya kamu jadi bisa menghargai kelebihannya.
Seumur hidup, saya hanya tinggal di Jakarta. Tak pernah singgah secara serius di tempat lain. Di ibu kota ini saya tinggal dan tumbuh besar. Di sini pula saya mencari makan, patah hati, hingga melahirkan berbagai khayalan-khayalan. Ia adalah sebuah kota yang ‘serba ada’ dan “serba bisa”. Tapi di saat bersamaan, ia juga bisa jadi tempat yang serba sulit mendapatkan hal-hal yang sepantasnya bisa diakses dengan mudah oleh banyak orang. Dengan kata lain, untuk mendeskripsikan Jakarta secara sederhana, Jakarta adalah sebuah kota yang sebenarnya bisa memberikan apa saja. Asal kita tahu bagaimana caranya untuk mendapat akses ke hal-hal tersebut.
Jakarta adalah sebuah kota yang sebenarnya bisa memberikan apa saja. Asal kita tahu bagaimana caranya untuk mendapat akses ke hal-hal tersebut.
Sebagai orang Jakarta, sudah pasti banyak pengalaman dan cerita-cerita yang terukir di sini. Cerita-cerita aneh tentang kota ini sudah banyak saya dengar bahkan alami sendiri. Banyak momen-momen tragis dan serius terjadi di sini ditanggapi dengan respon yang terbilang cukup unik. Salah satu contohnya adalah ketika terjadi kebakaran besar di daerah Menteng hingga Pasar Rumput pada tahun 2013. Di tengah kebakaran besar itu, orang-orang di sekitar terlihat biasa saja menyaksikan kobaran api sambil bermain game di smartphone atau bahkan mencari jajanan di seberang jalan. Rasanya kejadian ini jadi salah satu peristiwa yang tidak pernah saya lupakan selama tinggal di Jakarta.
Ya, keunikan Jakarta suka tidak suka pasti berasal dari masyarakatnya juga. Jika diminta untuk menggambarkan orang Jakarta, saya akan berpendapat bahwa orang-orang Jakarta adalah mereka yang senang sekali bicara. Mereka senang sekali bilang, “menurut gue”. Juga senang sekali bilang, “dulu juga gue pernah". Saking senangnya, mereka seringkali lupa memberikan waktu untuk mendengarkan orang lain. Tidak terkecuali saya. Mungkin saya sebagai salah satu warga Jabodetabek juga begitu.
Selain itu, mungkin juga karena masyarakat yang banyak bicara tapi sedikit mendengarkan itu jadi alasan mengapa kota Jakarta menjadi kota yang “bising”. Salah satu hal yang seringkali mengganggu saya. Entah bagaimana, tapi saya merasa semua hal yang ada di Kota Jakarta seolah memiliki “bunyi”. Susah sekali untuk mendapat sedikit ruang tenang di tengah-tengah kegiatan perkotaan. Jadi, usahakan cari waktu untuk bisa mendengarkan diri kamu sendiri. Di tempat yang kamu pilih sendiri, di waktu yang kamu pilih sendiri. Jika istirahat sudah kamu anggap sebagai reward, berarti skala kerja-istirahat kamu udah tidak benar. Sama kasusnya dengan cari waktu tenang.
Untuk membuat perubahan di kota ini tentu saja tidak mudah. Dari segala permasalahan yang mengganggu, menurut saya transportasi seharusnya bisa menjadi fokus utama pengembangan kota. Seandainya itu transportasi umum bisa diperbaiki, kita bisa mengurai kemacetan yang selalu terjadi dan mungkin bisa memperbaiki masalah-masalah kehidupan di Jakarta lainnya. Saya yakin prioritasnya saat ini juga sudah mulai ke arah sana. Namun, saya terkadang hanya heran mengapa untuk kota yang menjadi salah satu penyumbang tingkat kemacetan paling tinggi di dunia belum terdesa untuk mengembangkan transportasi umum. Setidaknya saya sebagai anggota masyarakat biasa dari kacamata awam pribadi melihat rasanya belum ada urgensi sebesar itu untuk membuat perubahan.
Saya rasa hidup di Jakarta itu belajar terus. Belajar ekspektasi, belajar patah hati, belajar ditipu orang, belajar cari waktu... tidak ada satu yang lebih mencolok dari yang lain. Intinya adalah banyak-banyak bersiap diri untuk dikagetkan melulu di Ibukota.
Saya rasa hidup di Jakarta itu belajar terus. Belajar ekspektasi, belajar patah hati, belajar ditipu orang, belajar cari waktu... tidak ada satu yang lebih mencolok dari yang lain.