Society Planet & People

Kita dan Semesta

Jangan bosan dahulu akan isu kerusakan lingkungan yang belakangan ini tengah menjadi sorotan besar. Saya yakin kita semua juga sudah pasti pernah mendengar bahwa bumi yang kita tempati sejak berabad-abad yang lalu ini, tengah mengalami kerusakan dan terus memburuk kondisinya sebagai akibat dari aktivitas harian manusia yang kurang bertanggung jawab. Wajar saja, setiap harinya pasti kita ‘mengambil’ sesuatu dari alam untuk memenuhi kebutuhan kita. Sementara itu, bumi hanya ada satu untuk mencukupi semua yang manusia perlukan dari dahulu, sekarang,dan hingga masa depan. Kita harus segera melakukan tindakan untuk memperbaikinya.

Saya yang banyak beraktivitas di Jakarta, telah merasakan sendiri dampak dari perubahan iklim dalam keseharian. Mulai dari merasakan panasnya suhu di luar ruangan, hingga bencana banjir yang beberapa waktu lalu menimpa wilayah ibukota dan melumpuhkan sebagian aktivitas warga.  Dari sekian banyak faktor yang merusak alam, masalah sampah adalah salah satu hal serius yang harus dihadapi dan diselesaikan. Manusia menghasilkan sampah itu sudah pasti. Namun, bagaimana kita bisa mengurangi dan mengolah sampah itu hingga dapat kembali digunakan lah yang dapat memberi hasil berbeda pada lingkungan. Oleh karenanya, bila diperhatikan, saya selalu membawa botol minum kemana-mana serta di kantor saya menggunakan rantang saat ingin membeli makanan untuk dibawa ke tempat lain. Tujuannya sederhana, saya ingin mengurangi jumlah sampah plastik atau kemasan sekali pakai, terlepas dari apapun itu bahannya. Bisa jadi hal ini terdengar merepotkan bila dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai di baliknya yang terlihat kecil atau sepele. Namun, hal kecil bila dikumpulkan lama-lama akan menjadi besar. Dan bila saja hal ini dilakukan oleh banyak orang, tentu hasilnya akan terasa sangat signifikan.

Bila kita diminta untuk melakukan hal untuk kepentingan diri, kita bisa cepat melakukannya. Namun, saat hal tersebut ditujukan untuk lingkungan, kadangkala kita sering menunda-nunda memulainya.

Bila kita diminta untuk melakukan hal untuk kepentingan diri, kita bisa cepat melakukannya. Namun, saat hal tersebut ditujukan untuk lingkungan, kadangkala kita sering menunda-nunda memulainya. ‘Ah sekali ini saja pakai gelas plastik’ atau ‘nggak apa-apa deh buang sampah di sini dulu’, ada saja reaksi kita yang terlontar. Saya rasa akan selalu ada alasan untuk menunda. Tapi masalahnya, isu kerusakan lingkungan sudah ada di depan mata. ‘Penebusan dosa’  yang perlu kita lakukan juga sudah terlalu banyak. Menunda melakukan hal baik untuk lingkungan, hanya akan mempercepat dan memperparah kerusakan itu sendiri. Terkesan berat, namun, jangan langsung bayangkan kita harus serta merta melakukan hal besar untuk memperbaiki lingkungan. Lakukan saja dari hal kecil dahulu, yang paling relevan bagi kita untuk memulainya.

Saya ingin bercerita, sewaktu saya melakukan shooting film Semesta di Bali. Saat itu, Nyepi tengah berlangsung. Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan keheningan alam dengan udara yang benar-benar bersih, dan ini terjadi di kota. Bahkan saking tenangnya, suara apapun menjadi terdengar sangat jernih. Benar-benar magis, hingga sejernih itu. Saya tidak dapat melupakan pengalaman spiritual saya saat itu dimana saya merasa dapat mengapresiasi alam hingga sedetail itu. Berbagai studi telah menjelaskan bagaimana Nyepi telah berhasil mengurangi emisi harian di pulau Bali hingga sepertiga, dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Saya membayangkan, upaya yang baru dilakukan satu pulau saja sudah sangat ‘menolong’ bumi, bagaimana bila lebih banyak orang lagi yang melakukannya? Oh iya, Anda harus merasakannya sendiri bagaimana alam semenggugah itu saat tengah Nyepi. Sekali merasakannya, mungkin Anda ingin terus kembali mengalaminya.

Berbagai studi telah menjelaskan bagaimana Nyepi telah berhasil mengurangi emisi harian di pulau Bali hingga sepertiga, dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

Secara singkat, film Semesta ini sendiri menceritakan tentang tujuh sosok di sejumlah wilayah di Indonesia yang secara nyata telah berperan aktif dalam merawat bumi dengan cara masing-masing. Sosok yang ditampilkan dalam film ini sengaja dibuat mewakili keragaman agama, suku, dan budaya yang ada di negara ini. Tujuannya,  saya dan segenap yang terlibat di balik layar ingin agar isu kerusakan lingkungan dapat disadari oleh masyarakat lebih luas, serta upaya yang masing-masing sosok dalam film lakukan untuk mitigasi, dapat menjadi inspirasi atau contoh karena paling tidak, ada yang relevan dilakukan salah satu di antaranya.

Apapun latar agamanya, kita semua diajarkan untuk berbuat baik pada sesama, termasuk pada bumi serta semua makhluk hidup yang menempatinya.

Selama ini, narasi tentang lingkungan lebih banyak disinggung dari aspek data dan fakta. Belum ada atau masih jarang yang menyinggungnya dari sudut pandang agama. Oke, menyodorkan data kepada masyarakat bagus untuk menunjukkan kondisi lingkungan terkini. Namun, bagi sebagian masyarakat, data seolah tidak cukup kuat untuk membuat tergerak atau menyentil sisi batin mereka untuk berbuat. Ada pula yang masih tidak percaya karena mungkin lingkungan tempat tinggalnya belum merasakan dampak signifikan dari perubahan iklim itu sendiri, sehingga rasanya terasa jauh. Mengingat masyarakat Indonesia cukup taat pada ajaran agama masing-masing, saya ingin film ini dapat menjadi medium untuk menyampaikan bahwa apapun latar agamanya, kita semua diajarkan untuk berbuat baik pada sesama, termasuk pada bumi serta semua makhluk hidup yang menempatinya.

Dari kepedulian kepada bumi lah seharusnya bentuk ‘ibadah’ kita pada sang Pencipta dimulai.

Seringkali, kita melihat bahwa bentuk ibadah dengan pencipta terbatas hubungan vertikal ke atas. Kita lebih fokus pada tujuan di atas, hingga melupakan bahwa bentuk hubungan vertikal sebenarnya bermula dari bawah, baru ke atas. Apa yang dimaksud bawah? Yaitu tanah yang kita pijak. Dari kepedulian kepada bumi lah seharusnya bentuk ‘ibadah’ kita pada sang Pencipta dimulai. Jika kita merusak bumi, bagaimana bisa Tuhan dan alam mengembalikan kebaikan pada kita? Kadangkala, bencana merupakan cara semesta mengingatkan kita. Mungkin karena sudah terlalu banyak sampah di laut, banyaknya pohon ditebang, atau emisi karbon yang kita hasilkan. Bila sudah demikian, saya jadi kembali teringat kurang lebih ucapan Pak Iskandar, sosok di balik Bumi Langit, dan juga salah satu figur yang kami angkat dalam film Semesta, “apa yang dimulai dengan baik, tentu akan berbuah pada yang baik pula.”

Kadangkala, bencana merupakan cara semesta mengingatkan kita.

 

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023