Terlepas dari segala ketidaknyamanan yang dihadirkan bersama pandemi, masa ini sebenarnya dapat menyadarkan kita tentang hidup sederhana. Adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membantu kita mengetahui seberapa besar biaya hidup yang harus kita keluarkan tanpa adanya biaya jalan-jalan, ngopi, dan biaya “pamer” lainnya. Kalau dalam masa ini kita mau benar-benar merefleksikan ini, kita bisa memahami bahwa sebenarnya biaya hidup itu murah. Biaya “pamer” yang mahal.
Sebenarnya biaya hidup itu murah. Biaya “pamer” yang mahal.
Perlu diakui, belakangan kita mengalami kesulitan ekonomi. Terdapat berbagai riset yang menunjukan hampir semua rumah tangga mengalami ini. Sampai-sampai terjadi pergeseran pola perilaku ekonomi rumah tangga Indonesia. Kurang lebih 83% dari masyarakat kita akhirnya menyadari pentingnya mengelola keuangan. Mereka yang berprinsip YOLO (you only live once) mempertimbangkan kembali keyakinan untuk terlena dengan waktu. Banyak yang sebelumnya sering bilang, “Umur masih panjang, pengalaman harus didapatkan sekarang dan uang bisa dicari”, juga seakan merevisi pernyataan tersebut. Sekarang kita tahu dan merasakan kondisi di mana uang tidak segampang itu dicari. Kita jadi harus mengurangi pengeluaran, mengubah gaya hidup dan bahkan mengalami pengurangan pemasukan. Bisa dibilang di setiap rumah tangga kita terjadi resesi ekonomi kecil-kecilan sehingga menggerakkan kita untuk putar otak mencari cara mengatasinya.
Kini kita harus mengakui bahwa uang tidak semudah itu dicari. Apalagi dengan adanya berbagai penyesuaian yang akan memengaruhi daftar pengeluaran yaitu biaya tambahan untuk mematuhi protokol kesehatan. Membeli persediaan masker atau mask shield, dan hand sanitizer menjadi sebuah keharusan. Kemudian dengan keadaan yang masih mewajibkan kita untuk menjaga jarak, sudah pasti kita tidak bisa leluasa mengakses transportasi umum yang selama ini digunakan. Dalam waktu-waktu tertentu bisa saja kita jadi harus mencari transportasi yang lebih mahal. Bahkan mungkin jadi harus menggunakan kendaraan pribadi. Mengetahui ini sekarang kita harus mulai pintar-pintar mengatur uang yang kita punya saat ini. Sebelum mengatur segala pengeluaran tentu saja kita harus memastikan dulu adanya pemasukan hingga paling tidak 6 bulan ke depan. Kalau sudah berada dalam kondisi yang cukup aman, mendapatkan pemasukan yang pasti dalam 6 bulan ke depan barulah kita bisa mengatur segala pengeluaran.
Dalam pengaturan finansial di masa-masa seperti ini triknya adalah keep it simple. Kita harus bersedia untuk menerima keadaan baru yang terjadi. Istilah kenormalan baru di finansial adalah penerimaan bahwa ekonomi mengalami perubahan. Kita harus bisa menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa kembali ke masa harga Dollar masih di bawah 10 ribu. Dengan menerima keadaan ekonomi yang berubah, kita juga harus bisa menerima bahwa budgeting kita pasti harus diubah. Sehingga untuk keep it simple kita dapat membagi pengeluaran menjadi tiga kategori: living, saving, playing. Biaya hidup (living) dan biaya playing (rekreasi) sering sekali tertukar. Contohnya saat kemarin bulan puasa. Buka puasa mungkin sebenarnya cukup air putih dengan kurma. Tapi kita sering merasa kalau berbuka dengan es campur pasti lebih enak. Jadi sebenarnya biaya hidup kita hanya air putih dan kurma saja. Namun karena kesukaan pada es campur akhirnya menambahkannya dalam menu buka puasa.
Dengan menerima keadaan ekonomi yang berubah, kita juga harus bisa menerima bahwa budgeting kita pasti harus diubah. Sehingga untuk keep it simple kita dapat membagi pengeluaran menjadi tiga kategori: living, saving, playing.
Setelah menentukan bujet dengan tiga kategori tersebut, kita bisa masuk ke tahapan selanjutnya yang amat penting. Pertama adalah mempersiapkan dana darurat. Masa pandemi ini harus menjadi wake up call kita. Ini semua mengagetkan tapi kalau kita kaget dengan kondisi tidak punya uang bisa berbahaya nantinya. Sehingga di saat seperti ini dana darurat bisa menjadi safety net nantinya. Saya selalu menyarankan untuk menganggarkan dana darurat sebesar 12 kali biaya hidup. Jadi misalnya dari penghasilan kita sebesar 3 juta, kita menyisihkan 1 juta untuk biaya hidup sehari-hari misal untuk makan, bayar listrik, dan lain-lain. Dana darurat harus tersedia di tabungan kita sejumlah 12 juta agar kita bisa tenang sewaktu-waktu keadaan darurat terjadi seperti mendapat pemutusan hubungan kerja atau lainnya kita masih punya uang untuk bertahan hidup dua belas bulan berikutnya.
Selain itu kita harus memastikan agar tidak ada hutang-hutang selain untuk kepentingan tempat tinggal. Kita baru bisa mencapai financial freedom hanya kalau tidak berhutang. Upayakan agar tidak membeli barang-barang yang dapat mudah usang dengan berhutang seperti gadget. Sedangkan rumah, ia akan menjadi barang yang tidak ada kata usang. Selain itu hindari untuk berhutang. Lalu kalau dana darurat sudah dipersiapkan sebenarnya menyisihkan uang untuk investasi bisa berjalan paralel. Dengan catatan paling tidak dana darurat sudah terkumpul untuk masa hidup tiga bulan ke depan. Kalau dana darurat sudah terpenuhi barulah bisa memikirkan tabungan jangka panjang. Sebenarnya kalau ada uang lebih, sekarang adalah waktu yang tepat sekali untuk berinvestasi misalnya di saham karena sedang turun. Tapi memang harus pintar mengatur uang dan mau belajar. Apalagi kalau sebelumnya tidak pernah punya anggaran dana darurat akhirnya sekarang hidupnya masih berjuang mengumpulkan dana darurat terus.
Dalam hidup, kita harus tahu gol apa yang ingin dicapai, mau mengerjakan apa saja, punya apa saja. Setiap orang pasti berbeda-beda. Akan tetapi suatu hari nanti produktivitas kita akan menurun sehingga kita perlu dana yang cukup di saat nantinya tidak lagi berada dalam umur produktif untuk menghasilkan pemasukan. Di tengah-tengah perjalanan pasti ada sebagian dari kita ingin punya anak, ingin traveling, atau menikah besar-besaran. Artinya dengan tahu punya gol apa saja dalam hidup kita bisa sambil berjalan mengatur keuangan agar bisa mencapai gol tersebut. Memang tidak ada yang bisa prediksi akan terjadi tantangan apa dalam hidup. Seperti yang sedang kita hadapi saat ini. Hanya dari sini kita bisa belajar untuk mulai apresiasi hal-hal kecil.
Dalam hidup, kita harus tahu gol apa yang ingin dicapai, mau mengerjakan apa saja, punya apa saja. Setiap orang pasti berbeda-beda. Akan tetapi suatu hari nanti produktivitas kita akan menurun sehingga kita perlu dana yang cukup di saat nantinya tidak lagi berada dalam umur produktif untuk menghasilkan pemasukan
Menurut saya di situasi seperti ini yang bisa membuat kita bertahan adalah kalau punya ketahanan diri yang tinggi. Di dalam ilmu psikologi resilience adalah sebuah sifat yang menggambarkan seseorang memiliki kemampuan bertahan dalam keadaan sulit. Setiap orang pasti punya karakter itu. Lihat saja sedari kecil kita pasti memiliki pengalaman untuk melakukan sesuatu yang kurang disukai demi bisa melewatinya. Seperti ketika ujian sekolah. Ada yang tidak suka sekali dengan ujian tapi harus menjalaninya agar bisa lulus. Akhirnya bisa-bisa saja naik kelas. Jadi sebenarnya kita bisa melakukan refleksi masa kecil untuk mengetahui seberapa tangguh ketahanan kita terhadap masalah. Jelas sifat ketahanan itu akan dihadapkan dengan berbagai tantangan selama perjalanan hidup. Di tantangan itulah kita baru tahu seberapa besar dapat bertahan. Contoh sekarang banyak dari kita bertanya, ‘Apakah bisa aku punya penghasilan 3-6 bulan lagi? Perusahaan masih bisa bertahan ga ya?”. Orang yang punya financial resilience akan bisa memilih untuk fight or flight. Kalau fight berarti kita memutuskan untuk menghadapi. Dengan menurunkan gaya hidup, misalnya. Sedangkan flight kita menyerah dan bahkan kabur dari masalah. Orang yang punya financial resilience tinggi tahu itu susah dan berat tapi dia tahu kalau bisa melewatinya dia akan naik kelas.
Orang yang punya financial resilience akan bisa memilih untuk fight or flight. Kalau fight berarti kita memutuskan untuk menghadapi. Dengan menurunkan gaya hidup, misalnya. Sedangkan flight kita menyerah dan bahkan kabur dari masalah.