Membicarakan isu lingkungan akan selalu menuntun kita pada sebuah paradoks di mana sebenarnya isu lingkungan tidaklah sesederhana mengganti sedotan plastik dengan aluminium atau melarang penggunaan plastik sekali pakai. Seperti ketika masa pandemi. Kita tahu rantai pasok pemesanan online di negara ini belum siap untuk menggunakan kemasan berbahan biodegradable. Sehingga sekarang seakan semua orang sedang mengesampingkan kampanye pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. Belum lagi dengan sampah medis yang menghasilkan banyak sekali limbah plastik. Terlihat seakan seperti kurang bijak dalam penggunaan plastik yang sudah dianjurkan untuk dikurangi. Namun demi keamanan kesehatan publik rasanya kurang tepat untuk sekarang fokus pada kampanye anti plastik. Sekarang ini kita harus fokus terlebih dahulu pada mitigasi pandemi. Menyelamatkan keberlangsungan hidup manusia terlebih dahulu baik secara kesehatan maupun ekonomi.
Sekarang ini kita harus fokus terlebih dahulu pada mitigasi pandemi. Menyelamatkan keberlangsungan hidup manusia terlebih dahulu.
Kami di World Resources Institute mengilhami apa yang menjadi misi untuk melindungi lingkungan di mana di dalamnya terdapat komponen manusia juga. Tidak hanya menitikberatkan pada perlindungan lingkungan. Kami berupaya untuk bergerak di persimpangan antara perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Jika salah satunya diabaikan maka aspek lainnya akan terpengaruh dan tidak akan ada keseimbangan. Contohnya kalau kita bersikeras bilang jangan pakai plastik sekali pakai untuk perlindungan lingkungan tapi ternyata membahayakan kesehatan masyarakat, tetap saja sebenarnya kita tidak menciptakan keseimbangan lingkungan. Begitu juga ketika dulu ada sebuah kampanye yang menyerang penggunaan plastik sekali pakai seperti kemasan produk berbentuk sachet atau plastik kiloan untuk gula, garam, dan lain-lain. Melarang ini sepertinya menjadi kurang sensitif seperti demografi masyarakat kita sebab penggunaan plastik jenis ini lebih banyak digunakan oleh masyarakat yang berada dalam strata ekonomi bawah atau di daerah kumuh. Bukan karena mereka tidak peduli tapi memang tidak punya cukup uang membeli jenis lainnya. Sehingga daya beli masyarakat tidak terpotret dalam kampanye pelarangan tersebut.
Kami berupaya untuk bergerak di persimpangan antara perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia.
Sama dengan isu kelapa sawit yang kerap kali dikaitkan dengan deforestasi. Memang benar industri sawit amat berkaitan dengan pembabatan hutan. Namun kalau kita melarang produksi kelapa sawit, banyak petani yang bergantung pada industri tersebut. Sehingga solusinya bukan untuk menutup besar-besaran tapi mendorong industri sawit ke arah yang lebih sustainable. Pendekatan paling seimbang selalu diarahkan ke sana. Lain lagi dengan anekdot yang tersempil di tengah masyarakat di masa pandemi ini. Sebagian orang menyatakan betapa langit Jakarta begitu indah karena kurangnya polusi udara. Mereka seolah meromantisasi situasi ini dan berkata bahwa dunia sedang beristirahat. Akan tetapi kalau kita mau pertimbangkan masak-masak dibalik rasa syukur akan hal positif yang terjadi di sekitar semenjak COVID-19 rasanya sentimen ini perlu dikalibrasi sebelum akhirnya terasa seperti sebuah selebrasi prematur. Sentimen ini sepertinya belum cukup tepat untuk menggambarkan kondisi kebatinan kebanyakan orang di masyarakat. Yang beristirahat mungkin sebenarnya orang-orang yang memiliki akses pada kemewahan dan kemudahan. Mereka yang bisa bekerja dari rumah sehingga merasa bumi sedang beristirahat. Sedangkan untuk mereka yang tidak memiliki akses tersebut justru kondisi ini jauh lebih stressful ketimbang sebelum pandemi.
Mungkin sebenarnya ketimbang meromantisasi betapa indahnya langit kita saat ini ada baiknya kita justru berpikir ke depan bagaimana untuk mempertahankan langit tetap cerah. Secara tidak sadar sebenarnya perubahan iklim sangatlah berpengaruh dengan terjadinya pandemi serta krisis ekonomi. Selain penularan virus lebih mudah terjadi karena kondisi lingkungan yang buruk, dari sektor bisnis pun akan terdampak jika kita terus menerus gagal dalam menanggulangi mitigasi bencana. Terdapat sebuah survei yang telah membuktikan bahwa rantai logistik dunia sudah mengalami gangguan akibat perubahan iklim ekstrem. Sehingga jika mitigasi bencana terus-terusan terjadi tentu saja dunia bisnis pun akan semakin sering mengalami kerugian. Akhirnya kondisi akan semakin rumit. Saya pribadi memiliki kekhawatiran besar terhadap kemungkinan eksploitasi besar-besaran yang terjadi karena keinginan para pebisnis atau pemerintah untuk mengembalikan keuntungan yang hilang.
Mungkin sebenarnya ketimbang meromantisasi betapa indahnya langit kita saat ini ada baiknya kita justru berpikir ke depan bagaimana untuk mempertahankan langit tetap cerah.
Covid belum selesai saja pemerintah sudah mengumumkan untuk membuka lahan basah dan lahan gambut untuk dijadikan sawah karena kurangnya stok pangan. Bayangkan jika ini benar-benar terjadi. Lahan gambut adalah penyimpan karbon terbesar di Indonesia. Jauh lebih besar dari hutan primer. Kalau dibuka untuk sawah dampak lingkungan akan luar biasa besar. Begitu juga emisi yang akan dikeluarkan. Pemerintah belum sadar bahwa eksploitasi alam sebenarnya mengeluarkan biaya eksternal yang tidak terhitung. Misalnya mengganti hutan untuk lahan sawit dengan cara dibakar. Yang dihitung pemerintah adalah pemasukan kalau sawit berhasil diekspor. Tapi yang tidak dihitung adalah biaya kesehatan masyarakat karena adanya asap, berbagai bisnis yang terpaksa tutup sementara sebab tidak bisa beroperasi tertutup asal tebal. Padahal ada cara yang lebih baik untuk membangun kembali ekonomi. Salah satunya bisa belajar dari apa yang sudah dilakukan negara lain seperti Korea Selatan.
Pemerintah belum sadar bahwa eksploitasi alam sebenarnya mengeluarkan biaya eksternal yang tidak terhitung.
Ketika terjadi krisis pada negara Korea Selatan, mereka menggelontorkan investasi pada sektor industri yang menetapkan sistem ramah lingkungan. Terbukti ekonominya bisa kembali pulih lebih cepat sebab dinilai industri tersebut dapat bertahan dalam jangka waktu lebih lama ketimbang yang tidak memedulikan lingkungan. Sejak tahun 70an, negara ini juga sudah melakukan restorasi hutan besar-besaran. Infrastruktur kota serta penataan logistik yang menerapkan sistem ramah lingkungan dapat membantu negaranya menyeimbangkan aspek ekonomi, manusia dan lingkungan. Belakangan negara Cina pun sudah berkomitmen untuk menjadi pionir di green development sehingga sekarang kalau mereka membeli sawit dari Indonesia, mereka hanya ingin membeli sawit yang tidak berkontribusi pada deforestasi. Kalau pembeli sebesar Cina sampai berhenti membeli sawit dari kita lagi bukannya akan sangat merugikan negara? Jangan sampai aset-aset yang kita punya menjadi aset tidak terpakai karena dinilai tidak bisa bertahan lama dan membuat industri itu pun bisa selesai kapan saja. Pemerintah dan pebisnis harus mulai bebenah mengubah arahan ke energi yang bisa didaur-ulang, bisa bertahan lama atau perusahaan tidak dapat bertahan dalam lima atau sepuluh tahun lagi.
Pemerintah dan pebisnis harus mulai bebenah mengubah arahan ke energi yang bisa didaur-ulang, bisa bertahan lama atau perusahaan tidak dapat bertahan dalam lima atau sepuluh tahun lagi.
Isu lingkungan adalah isu yang mengakar dari pola perilaku dan budaya masyarakat. Ironisnya, biasanya yang terdampak dari isu lingkungan bukanlah mereka yang banyak berkontribusi dalam kerusakan lingkungan. Contohnya krisis perubahan iklim seperti cuaca ekstrem di awal tahun yang menyebabkan banjir besar-besaran di Jakarta. Pihak yang paling terdampak adalah mereka yang berada di strata ekonomi tingkat bawah. Mereka yang sebenarnya tidak punya akses untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Kalangan menengah ke atas yang sering keluar negeri, punya mobil lebih dari dua, bisa pakai AC saat udara panas adalah kalangan yang justru berkontribusi meningkatkan emisi pada perubahan iklim. Tapi mereka tidak terdampak parah pada perubahan iklim itu sendiri. Sehingga di masa pandemi ini rasanya bukan waktu yang tepat untuk buru-buru selebrasi akan keindahan langit Jakarta dengan berkurangnya polusi atau merasa akhirnya bumi dalam tahap penyembuhan. Dengan pemikiran ini bisa saja kita justru ke depannya malah memperbolehkan melakukan kegiatan yang berpotensi mengancam lingkungan karena berpikir bumi kemarin sudah pulih kok.
Isu lingkungan adalah isu yang mengakar dari pola perilaku dan budaya masyarakat. Ironisnya, biasanya yang terdampak dari isu lingkungan bukanlah mereka yang banyak berkontribusi dalam kerusakan lingkungan.
Seseorang yang betul peduli pada lingkungan adalah mereka yang memiliki kesadaran mendalam. Tidak hanya hanya sekadar di permukaan. Seseorang dengan empati yang cukup besar untuk dapat mempertanyakan diri apakah yang dia lakukan akan berdampak negatif atau tidak. Sesimpel butuh tidak saya traveling? Apa yang akan terjadi kalau terlalu sering traveling atau beli baju baru? Sesederhana mempertanyakan berapa banyak karbon yang dihasilkan dari satu sedotan aluminium dan tidak buru-buru menganggap alternatif itu menjadi yang paling efektif hanya karena banyak orang sudah menyebarkannya. Tanpa pemikiran yang kritis dan pengetahuan yang mendalam tentang isu lingkungan rasanya kepedulian kita pada bumi masih bersyarat.
Seseorang yang betul peduli pada lingkungan adalah mereka yang memiliki kesadaran mendalam.