Ruang publik didefinisikan sebagai ruang di mana masyarakat dapat menggunakannya sebebas-bebasnya untuk aktivitas sosial yang tidak berhubungan dengan ekonomi seperti olahraga atau rekreasi. Namun sayangnya, saat ini ruang publik di kota-kota besar Indonesia terutama Jakarta sebagai ibukota dirasakan masih sangat kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Sesungguhnya ruang publik seharusnya menjadi penyeimbang antara suatu kepadatan arsitektur dengan alam. Karenanya, ruang publik dan ruang terbuka hijau menjadi sangat berkaitan erat.
Jakarta sebelumnya hanya memiliki sekitar 6-7% ruang terbuka hijau dari keseluruhan luas wilayah. Jumlah yang masih sangat minim karena setidaknya sebuah kota wajib memiliki 30% ruang terbuka hijau. Hambatan dalam memaksimalkan ruang-ruang ini adalah karena perencanaan awal yang masih belum tepat antara proporsi ruang publik dengan kepadatan pembangunan. Lebih parahnya, setelah dilaksanakan, banyak pengembang yang kemudian melanggar itu. Banyak faktor ekonomi yang pada akhirnya masuk ke ruang publik sehingga bertukar fungsi. Makin lama ruang publik makin mengecil.
Menarik melihat bahwa beberapa tahun ini di Jakarta sudah mulai ada revolusi tentang kegairahan mengenai desain ruang publik. Dimulai dari pembangunan RPTRA pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di tingkat kecamatan. Salah satu studi kasus RPTRA yang paling menonjol adalah Kalijodo. Saat ruang publik tersebut akhirnya dibuka dengan desain dan fasilitas yang sangat modern membuat orang Jakarta semakin senang dan kembali merasakan bahwa ruang publik adalah suatu hal yang penting – ruang terbuka yang memang dibutuhkan dan telah lama hilang dari kehidupan.