Berpikir kritis itu berbeda dari skeptis atau tukang kritik. Berpikir kritis hanyalah berpikir secara sistematis dan rapi, agar bisa memproses informasi dengan akurat dan membuat keputusan-keputusan hidup yang terbaik. Dengan definisi tersebut, berpikir kritis menjadi fondasi bagi semua orang. Misalnya, memilih pasangan hidup, mau kuliah ke mana, membangun self-branding di media sosial, itu semua akan butuh kemampuan memroses informasi dengan benar agar bisa memilih opsi yang tepat.
Berpikir kritis menjadi fondasi bagi semua orang.
Sewaktu aku kecil, aku hobi bertanya. Semua aku pertanyakan, sampai orang tuaku terkadang lelah jawabnya. “Kenapa emak (panggilan nenek -red) pakai tongkat kalau jalan?”, “Kenapa warna tongkatnya silver?”, “Kenapa tongkatnya lurus bukan bengkok?” Atau, ketika aku diminta untuk tidur sendiri karena sudah lebih besar, aku balik bertanya, “Kenapa aku harus tidur sendiri? Mami papi sudah besar tapi masih tidur berdua?”.
Tentu saja sewaktu kecil, aku belum sadar bahwa aku sedang mencoba berpikir kritis. Aku hanya merasa harus tahu alasan atau logika di balik nasehat atau pernyataan, sebelum aku bisa memutuskan tindakan selanjutnya. Mencoba mendapatkan definisi yang tepat, mencari tahu ranah pembahasan, mengulik kerangka berpikir yang sesuai dengan ranah tersebut, itu semua fondasi dari pemikiran kritis yang ternyata sejak dulu aku coba lakukan. Sadar tidak sadar, mungkin cara berpikir ini dan rasa ingin tahu yang besar membawa aku ke pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya membuahkan karya-karya aku. Contoh, ketika aku mulai mempertanyakan tentang pemberdayaan perempuan. Aku bertanya, “Kondisi perempuan Indonesia itu seperti apa sekarang? Siapa tokoh-tokoh hebat perempuan Indonesia yang bisa dicontoh?”
Aku sadar bahwa sebanyak apapun aku berdiskusi dengan orang, itu bukanlah metode yang tepat. Kenapa? Karena pertanyaan-pertanyaan itu masuk ke ranah empiris. Aku butuh data untuk bisa menjawabnya dengan benar. Akhirnya setelah melakukan riset dan menemukan banyak perempuan-perempuan hebat di Indonesia, aku dan Grace Kadiman merangkum kumpulan cerita itu di buku “Lalita: 51 Cerita Perempuan Hebat Indonesia.”
Begitu juga dengan What Is Up, Indonesia? (WIUI). Proyek ini diawali dengan pertanyaan, “Kenapa anak-anak Indonesia yang dibesarkan secara internasional kurang peduli dengan isu sosial-politik di Indonesia? Padahal kalau isu sosial-politik di Amerika mereka peduli.” Dari fakta ini, kami membuat sebuah asumsi: “Mungkin mereka tidak peduli karena mereka tidak mengerti. Mereka tidak mengerti karena mereka lebih fasih berbahasa Inggris dan kurang bisa mencerna informasi dalam bahasa Indonesia.”
Aku dan Faye Simanjuntak pun menguji asumsi ini dengan membuat WIUI, dimana kami menerjemahkan berita-berita sosial politik Indonesia ke bahasa Inggris yang mudah dimengerti. Ternyata, kami mendapatkan banyak sekali respon positif dari para follower kami yang membuktikan bahwa asumsi kami itu benar.
Untuk bisa menemukan solusi yang tepat, kita harus mampu mengidentifikasi masalah dengan akurat melalui metode yang sesuai. Itulah berpikir secara kritis. Lagi-lagi, berpikir kritis itu berbeda dari suka mengkritik. Ada orang yang hobi mengkritik, tapi isi kritikannya amburadul dan kosong. Ada pula mereka yang pola berpikirnya kritis, tapi sangat konservatif dalam mengemukakan pendapat. Kenapa? Karena kemampuan untuk memilih perdebatan dan cara penyampaian juga terasosiasikan dengan kemampuan untuk menilai informasi dan kondisi dengan akurat.
Untuk bisa menemukan solusi yang tepat, kita harus mampu mengidentifikasi masalah dengan akurat melalui metode yang sesuai
Biasanya, mereka yang berpikir kritis, juga kritis dalam mengidentifikasi mana argumen yang ‘layak’ untuk diladeni atau tidak. Jarang aku temui orang yang kritis, tapi asal dalam berucap. Lalu, bagaimana kita bisa lebih kritis dalam berpikir? Selain harus belajar teori logika, berpikir kritis itu adalah skill yang harus dilatih. Salah satunya dengan berdebat bersama mereka yang kritis dan berbeda pandangan dari kita. Dengan kata lain, untuk melatih pemikiran yang kritis, kita harus rela dan berani dibuktikan salah.
Perdebatan yang produktif menantang kita untuk mengkritik dan membongkar pemikiran dan asumsi-asumsi yang kita miliki. “Kenapa aku percaya ini? Bukti apa yang aku miliki untuk mendukung pandangan ini? Apa cukup? Apa definisi kita sudah sama? Apa kita memperdebatkan topik sesuai ranah-nya? Apa metode yang aku gunakan sesuai dengan ranah perdebatan?”
Biasanya dalam proses ini, kita akan tersadarkan akan banyaknya inkonsistensi dalam berpikir, kepercayaan-kepercayaan tanpa landasan, dan konsep-konsep yang salah pengertian di dalam diri. Hal-hal yang harus diperbaiki jika ingin berpikir kritis. Terlebih lagi, kalau kalah dalam berdebat, kita diharuskan untuk tidak gengsi mengakui kesalahan.
Bagi mereka yang berani, tentu mereka akan terasah, mendapat pengetahuan baru, dan pandangannya menjadi lebih akurat. Tapi bagi yang insecure akan kepercayaannya, atau yang egonya tidak rela untuk dibuktikan salah, hal ini sangat menakutkan dan menyakitkan. Oleh karena itu, meski kemampuan berpikir kritis sangat menggiurkan, banyak yang gugur dalam mendapatkannya. Pada akhirnya, semua butuh kemampuan berpikir kritis, banyak yang ingin bisa berpikir kritis, tapi hanya sedikit yang rela dan berani mengejarnya.