Kita yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah orang-orang yang amat beruntung. Apalagi bisa merasakan kehidupan perkotaan dengan segala kenyamanannya. Ya, termasuk saya. Saya adalah anak muda Timor yang sangat beruntung akan kesempatan tersebut. Mendapat pengalaman sekolah di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, pekerjaan yang stabil di Kupang, tempat di mana banyak orang daerah lain bermimpi untuk kehidupan nan lebih baik, bahkan sampai bisa melanglang buana keluar negeri. Namun setelah melewati berbagai pengalaman itu seakan ada bisikan yang memanggil untuk pulang. Saya merasa seperti punya tanggung jawab untuk bisa berkontribusi pada kampung halaman. Meski sedikit. Panggilan itu pun semakin lantang ketika tercetus keinginan menggarap novel yang bercerita tentang Mollo, kampung halaman tempat menyimpan budaya, kesenian dan sumber pangan yang berlimpah.
Kerinduan untuk pulang itu ternyata tanpa disengaja justru membuat saya menelisik kampung halaman lebih dalam. Muncul begitu banyak pertanyaan dari dalam diri yang menimbulkan kegelisahan. Saya melihat Mollo memiliki 2 sisi di mana terdapat potensi alam yang dapat bermanfaat untuk masyarakat tetapi tidak luput dari sejumlah permasalahan di tengahnya. Contohnya saja sekolah. Memang fasilitas sekolah-sekolah di Mollo sudah mengalami banyak peningkatan. Kendati demikian kualitas guru dan sistem pengajaran tetap sama. Kondisi pendidikan sekarang dengan 20 tahun lalu saat saya masih sekolah tidak jauh berbeda. Belum lagi dengan jumlah pemuda yang banyak memiliki untuk bermigrasi ke kota besar atau menjadi TKI di negara orang. Lalu dengan kondisi pertanian yang kurang digarap oleh masyarakat lokal padahal hasil buminya berlimpah.
Mengapa ini terjadi? Bagaimana jadinya jika kampung halaman saya ini sudah tidak lagi punya sumber daya manusia berkualitas? Bagaimana kalau nantinya Mollo kehilangan pemuda yang harusnya menjadi pemikir tanah ini? Lalu bagaimana kalau nantinya sumber daya yang ada justru jatuh ke tangan yang salah? Lihat saja daerah-daerah lain yang sudah lebih dulu mengalami pembabatan hutan untuk perdagangan kelapa sawit atau untuk pemanfaatan pertambangan. Bagaimana kita bisa bertahan hidup tanpa adanya lahan pertanian dan sumber alam yang kaya ini? Sekarang saja Timor sudah mulai mengalami krisis pangan dan gizi buruk. Apa yang akan terjadi beberapa tahun lagi jika permasalahan lingkungan ini tidak ada yang memikirkan? Kerinduan untuk pulang itu pun lambat laun berubah menjadi tanggung jawab. Kegelisahan yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan tersebut berubah menjadi pergerakan. Membuat saya menganalisa kembali kemampuan diri yang dapat memberikan solusi-solusi alternatif pada masyarakat Mollo.
Namun keputusan saya untuk hidup baru di Mollo bukannya tanpa tantangan. Saya harus terus-menerus meyakinkan keluarga dan diri sendiri bahwa saya bisa hidup di kampung. Di awal, tentu saja mereka merasa cukup kecewa sebab mereka melihat di Kupang saya sudah mendapat pekerjaan sebagai guru dengan gaji yang stabil. Sedangkan melihat saya tinggal di kampung halaman seperti tidak bekerja. Maklum, di Mollo orang yang dianggap bekerja adalah mereka yang berseragam, yang bekerja di instansi pemerintahan atau yang bekerja kantoran. Bukan seperti saya yang bekerja dari rumah dan berkegiatan sosial. Mereka menyayangkan kepulangan saya ke kampung halaman tanpa pekerjaan kantoran. Saya juga harus meyakinkan diri sendiri dengan hidup baru ini. Harus memutar otak untuk dapat menghidupi diri sendiri dengan apa yang ada di kampung halaman ini. Selain saya serius menekuni bidang penulisan saya pun akhirnya membuat lembaga kewirausahaan sosial dengan memanfaatkan potensi alam, budaya dan kesenian di Mollo.
Perjalanan menebarkan kesadaran pada masyarakat Mollo tentang permasalahan di dalamnya juga tidak semudah membalik telapak tangan. Tentu saja saya tidak mau menambah masalah baru atau menjadi bagian dari masalah itu apabila saya berusaha mengubah kebiasaan mereka. Oleh sebab itu saya berupaya untuk mendapatkan kepercayaan mereka terlebih dahulu dengan cara-cara yang sederhana dan kontekstual. Saya memulai langkah dengan membuat sebuah komunitas bernama Lakoas Kujawat yang awalnya menggagas keberadaan perpustakaan publik. Konsep perpustakaan jadi konsep yang asing bagi penduduk Mollo walaupun banyak sekolah sudah berdiri di sini. Untungnya pengalaman saya sebagai penggiat literasi memungkinkan perpustakaan ini memiliki buku bacaan yang berguna untuk anak-anak lokal. Seiring berjalannya waktu fungsi perpustakaan mulai berubah. Tidak hanya menyediakan ruang pinjam-meminjam buku tapi juga menjadi ruang belajar untuk pendidikan kontekstual yang tidak ada di sekolah formal. Contohnya kelas teater dan musik yang identik dengan budaya tradisional di mana terdapat narasi-narasi dari budaya lokal. Ditambah lagi dengan adanya apresiasi dari pihak luar yang berdatangan membuat masyarakat lama-kelamaan lebih percaya diri. Perlahan-lahan tidak hanya anak-anak saja yang terlibat melainkan juga para orang tua. Mereka turut bergabung dalam komunitas dan memulai gerakan-gerakan yang dapat meningkatkan kemampuan bertani dan berkarya seni.
Bersyukurnya lagi saya tidak sendirian menjalankan komunitas. Banyak pemuda-pemudi dan lain serta figur-figur yang juga merasakan kegelisahan yang sama. Hingga kami bersatu, bekerja sama mengembangkan komunitas Lakoas Kujawat demi kesejahteraan masyarakat Mollo. Selama kurang lebih 3 tahun ini kami mencoba untuk mengembalikan perspektif kebudayaan yang sudah banyak ditinggalkan. Saya percaya roh manusia berada di kebudayaannya sebab di sanalah letak identitas peradaban manusia. Sejak dulu sebenarnya orang Mollo hidup dalam filosofi alam. Dari generasi ke generasi kami ditugaskan untuk menjaga lingkungan sebab Mollo sesungguhnya menjadi jantung Pulau Timor. Terdapat 8 mata air besar serta lumbung pangan yang menghidupi banyak daerah di Timor. Saya meyakini bahwa nenek moyang kita sebenarnya sudah memiliki teknologi dan pengetahuan soal mengolah makanan dan beradaptasi dengan iklim. Mereka mengetahui bagaimana memanfaatkan alam, cara mengawetkan makanan untuk bertahan hidup selama musim sedang tidak bersahabat.
Tapi kini pengetahuan tersebut sudah luntur bahkan berangsur-angsur menghilang. Masyarakat seolah sudah tidak peduli untuk menjaga dan merawat tanah nan kaya ini demi masa depan. Banyaknya pengaruh dari luar serta lahirnya era modern menggeser pengetahuan lokal yang berguna bagi masyarakat lokal. Padahal pelajaran dari luar tidak relevan dan kontekstual dengan permasalahan yang kita hadapi di daerah sendiri. Sekarang malah sebagian masyarakat Timor menggantungkan hidupnya hanya dengan beras. Padahal pangan lokal sangat beragam sekali. Di kebun mereka punya kacang-kacangan, biji-bijian, segala jenis ketela berlimpah. Kenapa justru tergantung pada nasi? Sampai-sampai dibilang kelaparan kalau tidak makan nasi dan harus mengantri di kantor-kantor kelurahan demi mendapat beras dari program beras miskin milik pemerintah. Fenomena ini dapat diselesaikan dengan mengembalikan unsur kebudayaan. Saya percaya solusi untuk masa depan berada di kampung karena lingkungannya masih terjaga dengan baik, masyarakat adat masih kuat, hutan masih terlindungi, pangan pertanian masih kuat. Makanya kami di komunita Lakoas Kujawat berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi tentang pangan, seni dan budaya agar masyarakat dapat melihat ke dalam. Bisa bertahan hidup di kampung secara finansial, juga menghidupi kebiasaan yang sehat dengan udaranya nan segar dan makanan nan sehat. Tak lagi perlu hidup jauh-jauh merantau keluar.