Dunia fotografi semakin lama semakin dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Rasanya semakin mudah seseorang menjadi seorang fotografer. Cukup modal kamera saja sudah bisa menangkap gambar. Ya, memang mudah. Tetapi kebanyakan dari foto-foto tersebut hanyalah sekadar foto dengan estetika saja. Tanpa arti, tanpa jiwa, tanpa rasa. Nyatanya, banyak dari mereka menciptakan karya fotografi hanya sekadar karena ingin mencapai validasi. Ingin karyanya menjadi one of a kind. Tidak salah sebenarnya namun jadi tidak jujur. Sedangkan sebuah foto yang memiliki jiwa seharusnya berdasar dari kejujuran diri dan berporos pada pesan yang ingin disampaikan, menciptakan sebuah gagasan baru untuk dinikmati dan diresapi orang lain.
Banyak dari mereka menciptakan karya hanya sekadar karena ingin mencapai validasi.
Saya mungkin hanya lulusan SMA. Tapi sejak dulu impian menjadi seorang fotografer sudah melekat dalam benak. Pernah saya berada di masa transisi di mana orang sekeliling menciptakan karya hanya untuk validasi, untuk dibilang keren. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa semua karya itu tidak jujur. Sayang sekali, padahal fotografi adalah bagian dari seni di mana tersimpan rangkaian edukasi di dalamnya yang menyertakan budaya dan sejarah. Jika diolah dengan benar sebuah gambar dapat mengandung interpretasi luas dan menyampaikan beragam makna. Memang, diperlukan pengetahuan yang cukup agar terbentuk interpretasi itu sendiri. Utamanya adalah pengetahuan dasar mengenai fungsi dari fotografi yaitu sebagai alat politik untuk menyampaikan propaganda.
Walaupun sekarang jalan kita dipermudah untuk bisa menjadi fotografer, edukasi tentang seni sangatlah kurang. Sedari kecil kita hanya disuruh menggambar pemandangan saya tanpa diberikan pemahaman soal arti warna-warna yang digunakan. Tidak diajarkan lebih dalam lagi. Proses kreatif kita pun hanya terbatas pada contoh yang sudah ada. Banyak dari para fotografer lahir dengan hanya mengedepankan teknik dan berpusat pada apa yang kebanyakan orang sukai. Terobsesi pada pengakuan sampai-sampai melupakan esensi dari karya foto itu sendiri. Ketika memiliki bekal dalam menghasilkan karya fotografi kita bisa belajar banyak hal lain. Misalnya saja saat menangkap wujud manusia lewat kamera, saya bisa memahami suasana hati mereka. Entah bagaimana saya mengasah intuisi untuk merasakan emosi mereka. Saya seakan bisa melihat dimensi jiwa orang tersebut. Menangkap energi yang dipancarkan olehnya.
Saat menangkap wujud manusia lewat kamera, saya bisa memahami suasana hati mereka.
Ilmu dasar berkesenian tersebut juga sangat terpakai saat saya menjadi fotografer fashion. Pemahaman konsep estetika dan komposisi warna yang berpadu dengan wujud manusia membuat saya bisa menciptakan sesuatu di dalam foto fashion. Hasilnya lebih interaktif dan penuh arti. Tidak sekadar terlihat indah tapi keindahan itu bisa diutarakan. Terlebih lagi, edukasi sebenarnya bisa membuat kita lebih bijaksana dalam menghadapi segala hal saat memproses karya. Ibarat ilmu padi semakin berisi maka semakin merunduk, kita jadi bisa lebih rendah diri dan mengurangi obsesi untuk menuai pujian. Sehingga seperti yang saya katakan tadi sebuah karya foto akan memiliki nilai tersendiri apabila jujur. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan bukan untuk mendapatkan pengakuan akan hasil foto yang keren. Perasaan ini membawa kita jadi lebih berserah diri setiap kali bertemu dengan situasi di luar dugaan. Saya percaya hidup ini penuh dengan keajaiban di mana keajaiban itu bisa terjadi kala kita berada dalam kesulitan asalkan kita mau berserah. Perasaan berserah diri setiap kali sesi foto seakan memanggil keajaiban datang di waktu genting. Saya pernah diusir dari satu lokasi foto tapi kemudian justru menemukan tempat yang lebih bagus. Pernah juga pakaian yang digunakan tidak sesuai namun justru hasilnya memuaskan. Pada akhirnya saya menyadari kuncinya adalah tidak adanya ambisi berlebihan yang dapat mengurung kita pada kebohongan. Karya yang dihasilkan bukan berasal dari ketulusan melainkan dari ego.