Bagi orang Indonesia yang memang sudah tinggal dalam keberagaman suku dan budaya dari masa ke masa, mungkin topik ini adalah sebuah keseharian. Sesuatu yang umum untuk dibicarakan. Tapi bagi saya yang adalah seorang pendatang, topik keberagaman budaya menjadi hal yang sangat relevan. Sebagai seorang yang datang dari negeri seberang, tentu saja tinggal di Indonesia mengharuskan saya belajar lebih banyak tentang apa yang ada di bangsa ini. Meski saya sudah tinggal di Indonesia kurang lebih 37 tahun, saya harus terus belajar. Ini sangat memengaruhi pola pikir, memberikan inspirasi untuk mencipta karya, dan untuk membantu saya memosisikan diri di masyarakat sebagai orang yang lahir di negara lain.
Akan tetapi, memelajari budaya Indonesia semerta-merta berarti menghapuskan identitas diri saya sebagai orang Belanda. Walaupun sudah menghabiskan lebih dari setengah hidup saya di Indonesia, saya tidak bisa menghilangkan identitas asal. Yang terjadi adalah proses asimilasi seperti misalnya terjadi dalam budaya peranakan. Dari pengamatan dan pengetahuan saya tentang budaya peranakan, dulu para pendatang Tionghoa hidup berdampingan dengan orang lokal. Menariknya, yang berubah bukan hanya para pendatang saja tapi juga orang lokal. Jadi satu sama lain saling memengaruhi dan menghadirkan proses asimilasi di pengaruh juga lagi oleh pendatang kolonial. Bukan hanya proses asimilasi saja yang terjadi saat itu tapi munculnya kebudayaan baru dengan ekspresi kesenian yang khas dan berbeda.
Sayangnya, membicarakan keberagaman budaya dan rasial tidak terlepas dari segala permasalahan yang masih terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dari dulu sampai sekarang, saya merasa -di Indonesia terutama, pendapat individu kurang dianggap penting. Terkadang ini menjadi masalah sebab kita didorong untuk berpikir kritis. Banyak hal yang sensitif untuk didiskusikan, salah satunya saat membicarakan agama. Sebenarnya ini tidak terbatas di Indonesia saja. Saya merasa ini cukup ironis karena kita hidup dalam era global tetapi ini justru menciptakan polarisasi. Padahal bukannya kita sudah hidup dalam kebudayaan global yang berarti kita seharusnya bisa lebih mengerti dan menghargai satu sama lain? Yang masih terjadi adalah makin banyak individu atau kelompok yang mementingkan nilai-nilai sendiri saja dan berusaha untuk menguasai pihak lainnya. Sehingga akhirnya masalah rasial dan identitas menjadi permasalahan kekuasaan.
Saya banyak memelajari kebudayaan lama Indonesia di mana keberagaman budaya dengan banyaknya ras, suku, dan adat dapat hidup berdampingan dalam jangka waktu yang panjang. Situasi ini sudah banyak berubah sekarang. Ada beberapa suku atau kebudayaan yang mencoba untuk mempertahankan kepercayaannya namun seakan harus dihilangkan, dipaksa atau bahkan digantikan akibat penjajah kolonial, orde baru, atau nilai-nilai agama, moral dan pengaruh global. Terdapat peraturan adat yang dulu dianggap penting dalam kebudayaan lokal, kini digantikan dengan peraturan agama. Tapi apakah kita sekarang hidup lebih baik atau tidak dengan perubahan tersebut?
Pertanyaan semacam itulah yang ingin saya hadirkan dalam karya. Saya percaya kesenian bisa jadi salah satu jalur untuk membicarakan hal-hal yang sulit dibicarakan atau sensitif. Lewat karya seni saya ingin membuka segelintir pertanyaan, dibanding hanya memberi solusi-solusi, dengan harapan mencipta ruang berpikir. Seperti salah satu contohnya adalah karya saya dalam OPPO Art Jakarta Virtual 2020 yang berjudul, “I Walk Behind”. Saya membuat karya ini pada masa pendemi dengan maksud untuk memunculkan pertanyaan tentang waktu dan pemikiran masa depan.
Saya percaya kesenian bisa jadi salah satu jalur untuk membicarakan hal-hal yang sulit dibicarakan atau sensitif.
Menurut saya, setiap kali kita membayangkan sesuatu yang ada di depan, kita sebenarnya selalu berada di belakang ekspektasi itu. Kemudian ketika kita sudah berada di titik tersebut, untuk bisa menyadari bahwa kita sudah bisa melewati masa lalu, kita pasti akan kembali ke belakang untuk mengingat upaya apa saja yang sudah dilakukan hingga sudah sampai di titik sekarang. Kita belajar dari masa lalu untuk menuju masa depan. Sebenarnya ini juga berhubungan dengan pandemi yang sedang kita alami. Saat nanti sudah melewatinya, kita pasti akan “berjalan” ke belakang untuk menapaki pengalaman dan ingatan di masa lalu untuk antisipasi dan mensyukuri masa depan.
Kita belajar dari masa lalu untuk menuju masa depan.