Society Planet & People

Kedermawanan Tak Memiliki Batas

Dr. Amelia Fauzia

@greatmind.id

Akademisi & Peneliti Filantropi Islam

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Kata philanthropy berasal dari Bahasa Inggris yang apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia berarti kedermawanan. Rasanya tidak perlu penjelasan lebih lanjut mengenai praktik kedermawanan sebab negara kita yang menganut sistem negara beragama sepertinya sudah memiliki masyarakat yang mengerti akan hal tersebut.

Dalam setiap agama yang ada di Indonesia pasti mengajarkan kedermawanan seperti bersedekah, berdonasi, dan sebagainya. Begitu juga dalam Islam yang mana dalam Rukun Islam itu sendiri mengharuskan para pemeluknya untuk bersedekah atau yang dikenal dengan kata zakat (jumlah harta tertentu untuk diberikan pada fakir miskin) atau wakaf (sumbangan dalam bentuk benda bergerak atau tidak bergerak untuk kepentingan umum). Akan tetapi terdapat berbagai pertanyaan dalam pikiran saya ketika mengetahui betapa banyaknya studi tentang filantropi (kata serapan dari philantrophy) di negara lain seperti Amerika. Bukan hanya mengenai praktiknya tapi teori yang sudah dianalisis lebih lanjut. Cukup terheran mengapa sedikit sekali studi tentang praktik berbagi atau menyumbang yang sudah sangat mengakar pada budaya kita ini. Sehingga beberapa tahun yang lalu saya pun merasa terpanggil untuk menelusuri lebih lanjut mengenai filantropi Islam untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat.

Dalam setiap agama yang ada di Indonesia pasti mengajarkan kedermawanan seperti bersedekah, berdonasi, dan sebagainya.

Dalam perjalanan panjang mencari dari mana praktik sedekah dalam Islam itu berasal dan dimulai saya menemukan kisah yang amat kaya. Ternyata praktik zakat dan wakaf sudah ada di Nusantara sejak adanya komunitas Muslim dan mulai banyak terdokumentasi mulai dari abad ke-15 meski pada saat itu lembaga pengelola zakat masih terbilang perorangan, tidak memiliki pengorganisasian yang kuat. Terlebih lagi saya menemukan naskah-naskah di abad ke-16 di Aceh yang menyebutkan tentang masyarakat membayar zakat. Dari berbagai fakta, opini, dan argumentasi yang didapatkan saya menemukan bahwa ternyata praktik filantropi yang dilakukan masyarakat Muslim di Indonesia secara umum masih cukup tradisional dari dulu hingga sekarang. Maksudnya adalah masyarakat Muslim kita mayoritas masih melakukan sumbangan langsung (direct giving) dan untuk tujuan yang konvensional. Banyak dari kita yang memberikan donasi untuk jangka pendek saja, berupa uang, makanan atau kebutuhan sehari-hari yang diperlukan dalam jangka waktu pendek. Sebenarnya di negara lain seperti Mesir, India, dan Tanzania juga mirip. Masyarakat Muslim di negara tersebut pun hanya memberikan sejumlah uang atau makanan pada para pengemis atau orang tidak mampu yang dapat digunakan sesaat saja. Jangka panjangnya belum terpikirkan.

Padahal alangkah baiknya jika kita mulai memikirkan zakat bermanfaat untuk jangka panjang, termasuk untuk kepentingan umum. Kata filantropi sendiri sebenarnya memiliki konotasi sumbangan jangka panjang, sedangkan derma untuk yang jangka pendek lebih tepat disematkan pada kata charity. Contohnya dengan jumlah zakat yang sama kita bisa membuat program beasiswa atau bahkan pelatihan gerakan anti korupsi. Dalam rangka memperkenalkan terminologi ini sekaligus praktiknya saya pun hendak membuat film berkaitan dengan ini. Sebuah eksperimen sosial yang memperkenalkan filantropi. Tujuannya tidak lain untuk mengubah stigma masyarakat yang terbiasa memberikan kedermawanan jangka pendek, padahal jika dikelola dengan tepat kedermawanan itu dapat berguna untuk kehidupan mereka yang membutuhkan dalam waktu panjang. 

Kata filantropi sendiri sebenarnya berarti sumbangan jangka panjang sedangkan untuk yang jangka pendek lebih tepat disebut charity (beramal).

Soal pengelolaan zakat dan wakaf pun terbilang menjadi isu yang cukup kompleks dari dulu hingga sekarang. Apalagi ketika lembaga-lembaga pengelola zakat menguat ketika memasuki era Orde Lama dan Baru. Saya pun berteori bahwa pengelolaan zakat menentukan kuat-lemahnya kehidupan sosial masyarakat sipil. Di masa Orde Baru, misalnya, terdapat rezim yang menggelisahkan masyarakat sehingga bisa dikatakan masyarakat sulit bergerak dan melakukan sesuatu. Negara kuat dalam pemerintahannya namun justru tingkat filantropi melemah, masyarakat sipil lemah. Tapi pada satu masa ketika negara kita melemah, tingkat filantropi di masyarakat justru menguat dan masyarakat sipil juga kuat. Ini terjadi pada masa reformasi. Ketika kondisi negara lemah, tapi justru masyarakat sipil menguat, di mana lembaga filantropi dan gerakan fundraising banyak bermunculan. Uniknya, menarik garis ke belakang yaitu masa kolonial keduanya terlihat seimbang. Pemerintah kolonial (Belanda) tidak mau campur tangan urusan keagamaan, jadi urusan agama itu urusan masyarakat. Urusan filantropi adalah urusan masyarakat. Negara hanya memfasilitasi tapi pengelolaannya dipegang masyarakat. Bahkan mereka sangat berhati-hati agar aparat negara tidak mengambil uang zakat. Inilah yang membuat praktik filantropi kuat, kehidupan sosial masyarakat kuat, dan pemerintahan negara juga kuat. 

Saat negara sedang kuat dalam pemerintahannya namun justru tingkat filantropi melemah. Tapi pada satu masa ketika negara kita melemah, tingkat filantropi di masyarakat justru menguat.

Berjalannya waktu, praktik filantropi Muslim di Indonesia pun berkembang dan sekarang ini kita sedang dihadapkan pada kontestasi antara lembaga zakat yang dikelola masyarakat dan oleh pemerintah. Dalam sejarah, sebagian organisasi seperti Muhammadiyah berkeinginan untuk mengelola sendiri karena berpikir filantropi adalah uang amal sehingga tidak diperlukan campur tangan negara. Berseberangan dari itu ada pula pihak-pihak yang berpikir bahwa negara perlu membantu untuk mengelola karena akan lebih mudah jika negara yang menyalurkan secara rata. Pertanyaan siapa yang harus mengelola properti ini pun memunculkan dua argumen yang sama. Ada yang bilang masyarakat sendiri saja karena berasal dari masyarakat sendiri. Ada yang tidak setuju karena mempertimbangkan pemerintah berkewajiban untuk mengurus umatnya. Terkait zakat, secara undang-undang pun negara memperbolehkan masyarakat mengelola walaupun pemerintah juga memiliki badan yang mengelola zakat (Badan Amil Zakat Nasional). Masyarakat pun diberikan kebebasan untuk menyalurkan donasinya ke mana. Namun ternyata secara pengumpulan masih banyak yang lebih percaya pada lembaga milik masyarakat ‒ disebut Lembaga Amil Zakat.

Terdapat satu hal lagi yang seakan membatasi filantropi Islam di Indonesia yaitu anggapan bahwa filantropi Islam hanya untuk para umat Muslim saja. Faktanya, tidak. Tradisi dan ajaran Islam itu tidak eksklusif justru sangat inklusif. Zakat dan wakaf dapat diberikan pada siapapun, tidak berbatas agama. Sudah banyak juga organisasi yang sudah menerapkan berbagi zakat tanpa sekat, termasuk organisasi filantropi Islam di luar Indonesia. Hakikatnya, kedermawanan itu untuk semua. Praktik-praktik dalam sejarah Islam tiada bersekat. Bahkan di masa kolonial terdapat lembaga milik Muhammadiyah yaitu Penolong Kesengsaraan Umum. Anggaran dasar dan praktik rumah sakitnya berprinsip terbuka untuk siapapun. Mereka membantu siapapun yang membutuhkan tak kenal apakah dia pribumi, Jawa, Cina, atau orang Belanda sekalipun. Mereka melakukan ini untuk menghilangkan sekat-sekat. Inilah fakta yang tidak banyak diketahui masyarakat kita dewasa ini. Usut punya usut, pemahaman tersebut berkembang karena kurangnya interaksi umat Muslim dengan mereka yang berbeda agama, ras dan kelompok. Pernah saya mewawancarai beberapa figur lembaga filantropi di provinsi Aceh tentang konsep filantropi Muslim yang diberikan untuk semua, mengadopsi konsep rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semua). Mereka menyetujui hal itu sebab tidak ada larangan dalam ajaran Islam. “Memang siapa yang banyak menolong warga Aceh ketika musibah Tsunami? Justru mereka yang berasal dari luar negeri yang notabene bukan umat Muslim,” begitu pungkas salah satu dari mereka.

Ada anggapan bahwa filantropi hanya untuk para umat Muslim saja. Faktanya, tidak.

Pemikiran ini muncul lebih banyak karena tradisi saja di mana umat Muslim di Indonesia menjadi mayoritas dari generasi ke generasi dan selama itu pula banyak yang berada di lingkungan dengan mayoritas Muslim juga. Sehingga seperti di Aceh dengan 98% masyarakatnya adalah umat Muslim kesadaran akan berbagi untuk umat dari agama atau ras lain belum terbentuk kuat, namun bukan berarti menolak. Maka dari itulah perlunya kesadaran lebih jauh tentang adanya keberagaman, berderma tanpa sekat, tanpa batas.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023