Society Health & Wellness

Kebaikan Sebuah Tanaman Terlarang

Mendiskusikan tentang adiksi tidaklah sesederhana yang kita kira. Biasanya kita hanya mengaitkannya pada zat-zat terlarang yang ada dalam obat atau minuman keras. Padahal apapun di dunia ini bisa jadi adiksi manusia. Contohnya nasi. Kalau dipikirkan matang-matang, nasi sudah menjadi adiksi orang Indonesia. Kita ketergantungan sekali makan nasi hingga harus impor demi memenuhi kebutuhan. Padahal di nusantara ini masih banyak sekali sumber karbohidrat lainnya. Begitu juga gula dan tepung. Lihat saja pola makan masyarakat Jakarta. Setiap hari tidak bisa lari dari makanan yang mengandung gula dan tepung. Mulai dari donat, martabak, hingga burger dan roti. Semua ini bisa membuat kita ketagihan dan ketergantungan jika konsumsi berlebihan. Bisa menimbulkan bahaya juga pada tubuh kita. Tapi mengapa tetap dilegalkan? Sedangkan tanaman kanabis (dikenal dengan sebutan ganja —red) yang dipercaya memiliki khasiat untuk kepentingan medis, justru dilarang meski hanya digunakan untuk riset?

Saya pernah menemani sebuah keluarga di mana ibunya mengalami kanker payudara sebelah. Sebelum anaknya memberikan ekstrak kanabis, beliau tak bisa tidur pulas. Bahkan tidak bisa tidur telentang, menyamping apalagi tengkurap. Beliau hanya bisa duduk. Sebagian tubuhnya bengkak parah. Kurang lebih satu bulan beliau mengalami itu sampai-sampai kehilangan minat untuk berbicara. Kemudian setelah sang anak memberikan ekstrak ganja, tidak sampai satu jam ibunya langsung tertidur tanpa mengeluh sakit. Setelahnya beliau kembali bersuara, banyak bercerita dan ngobrol. 

Meskipun pada akhirnya beliau meninggal, namun di akhir hayat beliau seperti tak begitu menderita dan seakan lupa pada rasa sakitnya. Inilah salah satu efek yang diberikan oleh tanaman kanabis. Ia bisa membuat tubuh dan pikiran terasa lebih relaks. Dalam kasus ibu tersebut, beliau merasakan otot-otot dan saraf yang tegang seakan mengendur. Ini bisa terjadi karena ketika sakit, pikiran kita berperan penting dalam penyembuhan. Kalau pikiran tidak relaks akhirnya tubuh pun mengalami kesulitan untuk berfungsi dengan baik. Dari pengalaman melihat sendiri proses penyembuhan ibu itu, saya semakin percaya bahwa ganja amat berkhasiat dan masih sulit tergantikan dengan jenis obat-obatan herbal lainnya.

Kalau pikiran tidak relaks akhirnya tubuh pun mengalami kesulitan untuk berfungsi dengan baik.

Begitu pula untuk mereka yang mengalami gangguan mental. Salah satunya pasien bipolar. Ketika mereka dalam kondisi depresif, ganja dapat meningkatkan suasana hatinya. Sedangkan ketika ia sedang berada dalam fase mania atau senang yang berlebihan, ganja bisa membuatnya kembali ke posisi netral. Maka sebenarnya, ganja punya sifat yang menyeimbangkan, membuat tubuh kita kembali ke “tengah”. Saya seringkali mengibaratkan penggunaan ganja seperti sebuah mobil yang diisi bensin. Bayangkan kalau mobil adalah tubuh kita. Performa mobil tersebut melaju bisa jadi amat berbeda ketika diisi bensin premium atau pertamax plus. Sehingga dengan dosis yang tepat, tubuh kita performanya akan selayaknya mobil dengan bensin pertamax plus jika mengonsumsi ganja. Itulah juga yang jadi alasan orang sakit bisa melupakan rasa sakitnya yang menghasilkan pemikiran untuk sembuh. Dalam kondisi ini, tubuh mengaktivasi kemampuannya untuk melakukan self-healing. 

Sayangnya dalam dunia kedokteran secara global, industri farmasi masih dimonopoli dengan pengobatan barat. Sulit sekali untuk mendapatkan legitimasi untuk satu jenis obat jika bukan mereka yang melakukan riset dan memberikan hak paten. Berdasarkan pengamatan, saya menangkap bahwa seakan mereka ingin tetap dapat mengendalikan rantai produksi obat-obatan di dunia. Sehingga kalau ahli medis, atau lembaga penelitian di semua negara bisa melakukan riset dan memproduksi obat-obatan sendiri, mereka tak lagi bisa melakukan monopoli tersebut. Itulah yang kemudian menjadi ironi bagi banyak negara di dunia. Tidak hanya Indonesia.

Padahal obat-obatan herbal atau jamu hasil olahan orang kita sendiri bisa jadi alternatif bagi mereka yang tidak mampu. Orang kaya yang sakit kanker bisa dengan mudah membayar pengobatan ratusan juta. Sementara orang miskin pilihannya sedikit sekali. Jadi ini yang saya  perjuangkan bersama LGN (Lingkar Ganja Nusantara). Tidak perlu melegalkan ganjanya, tapi risetnya dulu saja yang dilegalkan. Apalagi saya sebagai petani kota sebenarnya secara pribadi memperjuangkan hak untuk menanam ganja. Kalau diteliti lebih jauh, menanam segala jenis tanaman adalah hak kita sebagai manusia. Tanaman ganja bisa ada karena diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa justru manusia mencoba memanipulasi hukum alam ini?

Padahal obat-obatan herbal atau jamu hasil olahan orang kita sendiri bisa jadi alternatif bagi mereka yang tidak mampu.

Tidak hanya untuk kepentingan medis, sesungguhnya ganja berpotensi untuk meningkatkan spiritual dalam diri kita. Di kala kita berada dalam kondisi relaks, tenang, mengistirahatkan tubuh dan pikiran, kita dapat lebih dekat dengan inti diri sendiri. Mendekatkan kita pada higher state of mind. Terjauh dari distraksi yang terjadi di luar diri. Jadi menurut saya, ganja dapat menjadi sebuah objek untuk kita belajar menikmati hidup. Cara menikmatinya seperti apa? Tiap orang harus menemukan sendiri cara menikmatinya sebab setiap manusia memiliki pemahaman yang berbeda dalam menikmati hidup. Apabila manusia tidak tahu bagaimana caranya sendiri menikmati hidup rasanya ia hanya akan tinggal di permukaan saja. Terjebak dalam satu siklus yang sama setiap hari. Bangun, bekerja, selesai, esoknya kembali melakukan rutinitas yang sama. Tidak ada yang berarti. Walaupun begitu, akan menjadi keliru jika kita menggantungkan kebahagiaan atau kehidupan pada tanaman ini. Kalau tanpa ganja kita jadi tidak bisa kreatif, tidak bisa sembuh, tidak bisa meningkatkan kesadaran, ganja tidak lagi menjadi objek untuk kita memahami kenikmatan hidup. Ketergantungan pada ganja adalah satu yang pasti untuk dihindari. 

Tiap orang harus menemukan sendiri cara menikmatinya sebab setiap manusia memiliki pemahaman yang berbeda dalam menikmati hidup. Apabila manusia tidak tahu bagaimana caranya sendiri menikmati hidup rasanya ia hanya akan tinggal di permukaan saja.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023