Dewasa ini perkembangan dunia yang semakin modern membuat manusia hidup semakin terpisah-pisah. Apalagi dengan melejitnya laju pertumbuhan kehidupan kota. Kian hari masyarakat urban bertransformasi menjadi pribadi yang individualis. Contohnya saja negara Singapura. Pemerintahnya sampai membuat program untuk mendirikan hunian yang memberikan akses masyarakat berinteraksi sosial. Diyakini lambat laun warga negaranya semakin individualis hingga sulit memiliki sikap sosial yang positif terhadap satu dan lainnya. Menurunkan nilai kepedulian pada sesama. Padahal kodrat manusia adalah untuk bersosial. Manusia butuh berinteraksi, berhubungan dengan sesama, menumbuhkan toleransi dan saling membantu.
Kodrat manusia adalah untuk bersosial. Manusia butuh berinteraksi, berhubungan dengan sesama, menumbuhkan toleransi dan saling membantu.
Ada pula sebuah penelitian di Jepang yang melakukan observasi pada perilaku masyarakat desa untuk mengetahui alasan mengapa mereka berumur panjang. Ternyata jawabannya adalah gaya hidup sederhana, dekat dengan alam, konsumsi hidangan sehat, dan tingginya solidaritas serta kebersamaan antar individu. Makan, minum bersama-sama, sambil berbagi cerita ditemukan menjadi salah satu rahasia hidup mereka nan bahagia. Ini cukup menunjukkan betapa pentingnya lingkungan yang memberikan akses untuk dapat hidup bersama-sama, menunjang hakikat hidup manusia yang sesungguhnya.
Sayangnya hidup di perkotaan sekarang ini tidaklah lagi memudahkan kita mengenal tetangga satu sama lain. Di perumahan ekslusif misalnya, kebanyakan pintu rumah selalu tertutup, tidak banyak orang-orang lalu lalang di jalan, dan para penghuni biasanya melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Tapi coba kita lihat tampilan suasana perkampungan. Pintu rumah di perkampungan biasanya terbuka dengan para penghuni beraktivitas bersama-sama. Jika salah satu dari mereka kekurangan bahan makanan bisa dengan mudah menghampiri tetangga dan meminta meminjamkan satu-dua bawang putih. Toleransi dengan tetangga pun amat tinggi. Setiap kali ada kedukaan atau perayaan, mereka bisa saling membantu, menarik iuran untuk kebersamaan. Inilah kaidah hidup manusia: bersosial, bersama-sama, saling peduli.
Kampung bukanlah seperti perumahan yang menderetkan rumah saja. Kampung adalah sumber kehidupan dengan aktivitas-aktivitas ekonomi yang mensejahterakan penghuni di dalamnya. Membuka toko kelontong, warung nasi bungkus, pasar, hingga tempat potong rambut. Kampung adalah sikap hidup masyarakat yang mandiri, mudah beradaptasi di mana terjalin interaksi sosial antar masyarakat dengan menghadirkan keragaman kelas, suku, etnik, dan bahkan lapangan pekerjaan. Kampung juga merupakan ruang kehidupan yang memberikan kebaikan terhadap lingkungan. Dalam konteks perubahan iklim, mereka yang berstatus sosial rendah, hidup di kampung biasanya adalah orang-orang yang berkontribusi besar dalam penghematan energi. Aktivitas mereka sederhana, tidak banyak memakan energi seperti listrik. Tidak menggunakan AC, jejak karbon kecil, dan lain-lain.
Kampung adalah sikap hidup masyarakat yang mandiri, mudah beradaptasi di mana terjalin interaksi sosial antar masyarakat dengan menghadirkan keragaman kelas, suku, etnik, dan bahkan lapangan pekerjaan.
Di kota-kota besar sendiri sebenarnya masih banyak terdapat kampung kota. Lokasinya amat strategis dan berpotensi besar menghadirkan esensi kampung yang nyata. Sayangnya kampung kota kini mengalami degradasi lingkungan. Penghuninya tidak memiliki kemampuan untuk membangun rumah yang layak. Bangunan satu rumah dan lainnya sangat sesak, menempel hingga meningkatkan risiko kebakaran. Ruang hijau dan ruang sosial untuk berinteraksi pun hampir tidak tampak. Masalahnya lagi-lagi karena pengembang besar yang terus membangun hingga harga tanah dan hunian menjadi amat tinggi. Perlahan mereka pun seolah terusir dan mencari alternatif untuk tinggal di area yang tidak layak huni.
Berporos pada fakta ini, kampung susun atau yang saya sebut kampung vertikal dapat menjadi sebuah solusi. Kampung susun adalah sebuah gagasan mengembangkan kampung yang didukung oleh pemerintah. Sehingga tidak ada campur tangan perusahaan pengembang swasta yang bisa menjualnya dengan harga tinggi. Kampung susun adalah hunian yang dapat mengembangkan taraf hidup masyarakat kelas bawah. Tentu saja di dalamnya pun harus merepresentasikan suasana dan adegan yang di perkampungan pada umumnya. Sehingga berbeda dengan konsep rumah susun yang lebih seperti apartemen ala orang barat. Aktivitas di dalam kampung susun harus banyak tempat usaha dan ruang berinteraksi. Bahkan akan ada semacam pasar atau rumah warga yang fungsinya seperti pertokoan, menyebar di berbagai lantai. Nantinya, ruang-ruang ini pun jadi sangat terbuka dan bisa diakses oleh masyarakat kota sehingga menjadi tempat nongkrong. Dengan demikian, dampak positifnya adalah adanya perputaran ekonomi untuk masyarakat yang tinggal di sana.
Konsep kampung vertikal sendiri dirancang dengan bangunan yang tidak lebih dari lima lantai namun cukup memuat sejumlah kepala keluarga untuk bermukim. Tentu saja dengan harga yang ekonomis untuk mereka yang memang kesulitan memiliki rumah. Konsep ini diharapkan dapat mengubah kampung yang tadinya kumuh jadi menarik, inspiratif, ekologis, dan hijau. Dengan tetap mempertahankan kehidupan ala kampung, kearifan lokal pun ditampilkan dengan harapan kampung vertikal di perkotaan bahkan bisa menjadi salah satu tempat wisata. Wisatawan (asing atau lokal) dapat berkunjung dalam rangka meneliti atau mengalami kehidupan bersuasana kampung meski bangunannya bertingkat. Jadi masyarakat kampung kota pun bisa memiliki usaha pariwisata mereka sendiri yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka.