Keadilan itu adalah hak semua orang, tidak memandang laki-laki atau perempuan. Semuanya pantas mendapatkan keadilan. Hanya saja faktor budaya terkadang mempengaruhi cara berpikir masyarakat sehingga terdapat stigma-stigma yang memandang laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pandangan ini banyak hadir di tengah masyarakat dengan sistem budaya patriarkis.
Sebagai seorang Muslim feminis saya memandang bahwa Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam mendukung keadilan laki-laki dan perempuan. Faktanya adalah banyak tertulis dalam ayat-ayat Al-Qur’an tentang keadilan yang tidak memandang jenis kelamin. Misalnya saja dalam surat Al-Baqarah ayat 187 digambarkan bahwa laki-laki dan perempuan itu bagaikan pakaian bagi satu sama lain yang saling melengkapi dan memberikan kenyamanan. Demikianlah di antara gambaran kesetaraan dan hubungan timbal-balik antara laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an.
Laki-laki dan perempuan itu bagaikan pakaian bagi satu sama lain yang saling melengkapi dan memberikan kenyamanan.
Tidak berhenti di sana, terdapat pula pesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di surat At-Taubah ayat 71 tertulis bahwa mukmin laki-laki dan mukmin perempuan adalah wali bagi satu sama lain yang berarti keduanya setara. Jika ditelaah lebih jauh Allah sebenarnya tidak melihat apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan, namun dari seberapa bertakwanya seseorang tersebut apapun jenis kelaminnya, kewarganegaraannya ataupun warna kulitnya. Yang termulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa. Inilah sudut pandang yang dimiliki para Muslim feminis.
Sayangnya penafsiran tersebut tidak banyak diketahui dan diterapkan oleh masyarakat karena sejak dulu Al-Qur’an lebih banyak ditafsirkan oleh para laki-laki yang menganut sistem patriarkal. Sistem tersebut memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Dalam sistem patriarkis, perempuan diposisikan sebagai pendamping laki-laki, berada di samping tapi agak belakang (konco wingking). Buruknya, tafsir-tafsir dan pemahaman yang ada di masyarakat dengan sistem budaya tersebut termasuk di Indonesia memposisikan perempuan menjadi second citizen atau second class (dinomorduakan).
Buruknya, tafsir dan pemahaman yang ada di masyarakat dengan sistem budaya patriarkis memposisikan perempuan menjadi second citizen.
Untuk mengimbangi tafsir dominan yang patriarkis, para Muslim feminis pun berupaya untuk melakukan interpretasi ulang Al-Qur’an dari perspektif keadilan. Lalu apakah memungkinkan adanya titik temu antara feminisme, yang asal katanya sendiri berasal dari Bahasa Eropa dengan Islam sebagai agama?
Kata feminisme berarti perjuangan mendapatkan hak-hak perempuan. Di dalam Al-Qur’an sendiri tidak dikatakan secara spesifik tentang feminisme karena ditulis dalam Bahasa Arab. Titik temu antara perjuangan feminisme dan Islam adalah: keduanya menekankan pentingnya penegakan keadilan. Itulah mengapa menurut saya diperlukan pemahaman kembali ayat-ayat Al-Qur’an agar idealistis keadilan yang diinginkan Islam bagi semua orang termasuk kepada perempuan dapat terealisasikan. Karena ajaran Islam adalah ajaran yang bermuara pada keadilan namun dalam praktiknya kaum hawa sering menjadi korban ketidakadilan.
Bentuk-bentuk perjuangan keadilan pun termasuk pada bagaimana posisi perempuan dalam keluarga. Al-Qur’an Surat Annisa ayat 34 sering diartikan bahwa pemimpin keluarga itu harus laki-laki. Perempuan diidealkan menjadi ibu rumah tangga. Ayat ini dijadikan ayat normatif seolah peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga tidak boleh berubah di seluruh dunia, di mana saja, sepanjang waktu. Interpretasi ulang ayat tersebut, misalnya dilakukan oleh Asghar Ali Engineer, bahwa ayat ini adalah termasuk ayat sosioteologis, bukan ayat teologis; oleh Nasr Hamid Abu Zayd, bahwa ayat ini termasuk ayat deskriptif, bukan ayat preskriptif; oleh Kiayi Husein Muhammad, bahwa ayat ini termasuk ayat informatif, bukan normatif. Artinya, kondisi sosiologis laki-laki dan perempuan pada masa turunnya ayat tidak menutup kemungkinan adanya perubahan di lain waktu.
Yang ideal dalam Islam adalah keadilan hubungan antara kedua suami istri dalam menanggung beban rumah tangga. Yaitu misalnya, jika suami mencari nafkah sepenuhnya, maka adil bagi istri mengurus rumah tangga; jika keduanya mencari nafkah, maka adil jika keduanya berbagi pula dalam mengurus rumah tangga; jika hanya istri yang menjadi pencari nafkah, maka suami idealnya mengambil alih semua pekerjaan rumah tangga, dan pencari nafkahlah yang menjadi pemimpin rumah tangga, bisa laki-laki ataupun perempuan.
Yang ideal dalam Islam adalah keadilan hubungan antara kedua suami istri dalam menanggung beban rumah tangga.
Allah itu maha adil. Dia memberikan keadilan kepada mereka yang berupaya memenuhi kewajiban, bukan karena dia laki-laki. Ketika seseorang memenuhi dua kriteria menjadi pemimpin dalam rumah tangga seperti yang tertulis dalam QS 4:34 yaitu: (1) memiliki kelebihan dibanding pasangannya dan (2) menafkahkan sebagian hartanya untuk keluarganya berarti orang itulah yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Keadilan Allah tersebut menunjukkan bahwa kemuliaan tidak dicapai dengan menjadi seorang laki-laki atau perempuan, melainkan apakah seseorang itu memenuhi dua kriteria tersebut. Apabila perempuan secara pendidikan dan penghasilan lebih tinggi daripada suaminya lalu dengan pendapatannya mampu menafkahkan hartanya maka sebenarnya dia menjadi pemimpin dalam keluarga.
Pada tahun 2009, saya diajak bergabung di Alimat (ulama perempuan) yang adalah gerakan untuk keadilan dalam keluarga, yang pada tahun 2017 – bersama dua organisasi lain yaitu Rahima dan Fahmina – menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Pada awal saya diajak bergabung ke Alimat, saya merasa kurang percaya diri dikategorikan sebagai ulama. Wajar saja, posisi ulama di Indonesia atau negara Muslim manapun kebanyakan dijajaki laki-laki. Namun kemudian saya melakukan evaluasi diri dan berpikir bahwa arti kata ulama adalah seseorang yang berilmu. Ketika itu saya sudah bergelar doktor, sehingga kemudian saya berpikir mengapa mesti tidak percaya diri atau malu dilabeli memiliki ilmu.
Akhirnya saya mengumpulkan kepercayaan diri untuk kemudian bergabung di Alimat sebagai seorang ulama perempuan. Hanya saja tetap perlu dibedakan antara perempuan ulama dan ulama perempuan. Perempuan ulama adalah ulama yang secara biologis berjenis kelamin perempuan (belum tentu memiliki perspektif keadilan gender atau keberpihakan pada perempuan) dan ulama perempuan, yaitu ulama yang secara biologis bisa laki-laki ataupun perempuan yang berperspektif keadilan gender. Perjuangan ulama perempuan bukan tanpa halangan. Terdapat kelompok konservatif yang terlihat menentang perjuangan kami. Menariknya, mereka bukan hanya dari kalangan laki-laki tapi juga perempuan. Masih banyak kelompok perempuan konservatif yang menganggap hanya laki-laki yang bisa menjadi imam dan perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga. Tantangan lain pun berasal dari institusi Islam yang kurang setuju KUPI mengeluarkan “fatwa” . Menurut mereka itu bukan fatwa tapi sekadar pendapat keagamaan saja. Supaya tidak terkesan menyaingi institusi keagamaan yang ada yang biasa mengeluarkan fatwa, maka kami pun menyebut pemahaman kami dengan risalah keagamaan.
Masih banyak kelompok perempuan konservatif yang menganggap hanya laki-laki yang bisa menjadi imam dan perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga.
Perbedaan pendapat di masyarakat tersebut tentu sangat normal. Apalagi kalau kita sadari di tengah masyarakat terdapat paham misoginis atau kebencian pada perempuan yang masih melekat tanpa disadari. Bukan secara literal masyarakat membenci perempuan tetapi memiliki rasa tidak suka jika perempuan bisa memiliki tingkat sosial yang tinggi. Itulah mengapa para ulama perempuan masih dipandang sebelah mata atau tidak diakui keberadaannya. Tapi bukan hanya laki-laki yang memiliki paham seperti itu sebagian perempuan juga memiliki kecenderungan itu.
Di lain sisi, sebagian laki-laki ada yang suka melihat perempuan lebih maju. Ada laki-laki yang mendukung perspektif feminis untuk menjunjung keadilan. Oleh karena itu kami pun merasa tidak masalah dengan adanya pro dan kontra. Pemahaman ini masih berada dalam gebrakan pertama. Masyarakat pasti kaget. Kami hanya berharap ke depannya, dengan berkiprahnya banyak perempuan di bidang ilmu yang selama ini digeluti oleh laki-laki saja, semoga sedikit demi sedikit masyarakat lebih terbuka dan menyadari bahwa perempuan pun jika berusaha dan berilmu bisa memiliki kemampuan yang sama atau lebih dibanding laki-laki.
Perempuan pun jika berusaha dan berilmu bisa memiliki kemampuan yang sama atau lebih dibanding laki-laki.