Dinamika dunia kerja terus bergulir tidak ada habisnya. Baru rasanya kemarin kita mencoba menyelesaikan suatu tugas dengan gaya atau pola tertentu, hari ini, tantangan baru kembali menanti untuk diselesaikan dengan proses yang bisa saja sama sekali berbeda dari sebelumnya. Dan tidak berbeda dengan cara penyelesaian tugas, preferensi kita dalam memilih lokasi bekerja pun juga bergeser seiring berjalannya waktu. Mungkin sekian tahun yang lalu kita masih ingat saat-saat dimana orangtua kita berangkat menuju kantor yang sama, dan pulang dari lokasi yang juga tetap setiap harinya. Saat kita kecil, bisa jadi kita tidak perlu menanyakan kemana tujuan orangtua kita bekerja karena paham mereka akan berada di tempat yang kurang lebih sama. Ingat saat mereka mengajak kita ikut serta ke kantor? Atau mungkin, saking kita sudah hafal kantor orangtua kita, ada momen dimana secara otomatis setiap kali kita di jalan melewatinya, kita yang masih kecil akan berucap dengan nada bangga; “itu kantor orangtuaku.”
Waktu berjalan dan tradisi pun berubah. Mengikuti esensi dari kata ‘bekerja’ itu sendiri, yang sesungguhnya tidak memiliki makna atau ikatan dengan sebuah keterangan tempat, pada hakikatnya bekerja dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun seseorang merasa nyaman - termasuk bila itu adalah di sebuah tempat yang menurut Anda tidak. Oleh karenanya, seseorang pun sebenarnya tidak harus menyambangi kantor mereka setiap harinya untuk mengerjakan tugas tertentu yang perlu mereka selesaikan dalam satu kurun waktu. Mereka dapat bekerja jarak jauh, serta berpindah tempat kapan saja dan dimana saja mengikuti kebutuhan dan kenyamanan. Inilah fenomena yang tengah berkembang dan semakin banyak diadopsi sejumlah perusahaan akhir-akhir ini – remote working.
Remote working atau bekerja jarak jauh belakangan ini merupakan pilihan yang cukup populer dilakukan generasi pekerja saat ini. Hal ini dapat dilihat, salah satunya dari munculnya sejumlah kafe dan coworking space di beberapa tempat yang diisi dengan pemandangan orang-orang berkutat di depan layar laptop, hanyut dalam distorsi ide, ketenangan, dan waktu. Tidak aneh pula bila beberapa di antara kita pun yang masih tinggal bersama orangtua, acapkali mendapat lontaran pertanyaan bernada perhatian yang sama di pagi hari; “hari ini ngantor dimana?”
Di Jakarta sendiri, bila di sekitar tahun 2010 lokasi pilihan untuk bekerja mulai banyak dilakukan di kafe, menginjak tahun 2013-an, dengan mulai munculnya coworking space di kota ini, opsi lokasi bekerja pun bertambah. Fenomena menjamurnya startup digital pun turut menyuburkan ekosistem yang mendukung remote working. Fleksibilitas dan kolaborasi yang identik sebagai budaya yang diangkat perusahaan ini, sebagian besar hampir mempraktikkan konsep ‘bekerja dimana saja’ untuk dapat makin meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Kantor yang sejatinya memberi ruang bagi para pekerja untuk bertemu dan menjalin komunikasi, mulai dapat tergantikan dengan semakin berkembangnya teknologi. Selama terdapat fasilitas wifi dan tempat yang nyaman, relatif tidak ada hambatan dengan tidak bertemu rekan kerja di kantor.
Dalam State of Work Productivity Report sendiri dinyatakan, sebanyak 65% karyawan yang bekerja penuh waktu di kantor di Amerika Serikat berpikir bahwa bekerja jarak jauh akan meningkatkan produktivitas mereka. Pernyataan ini didukung oleh lebih dari dua pertiga manajer yang melaporkan adanya peningkatan produktivitas secara keseluruhan yang ditunjukkan karyawan mereka yang melakukan remote working. Tidak terbatas pada produktivitas saja, sejumlah data statistik hasil penelitian yang dilakukan di beberapa tempat pun menunjukan bila bekerja jarak jauh atau di rumah memiliki dampak positif bagi kesehatan fisik dan mental. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila dalam salah satu survei yang dilakukan oleh U.S. Bureau of Labor Statistic mengenai alokasi penggunaan waktu yang dilakukan oleh penduduknya, menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang bekerja di rumah mengalami peningkatan dari sebanyak 19% di tahun 2003 menjadi 22% di tahun 2016.
Mulai dari untuk mengurangi rasa jenuh akan suasana kantor, ingin lebih fokus bekerja, hingga menambah relasi adalah sejumlah alasan yang banyak saya dengar dari mereka yang kerap menggunakan Conclave, coworking space yang saya dan rekan saya bentuk beberapa tahun yang lalu. Di masa-masa awal coworking space muncul, freelancer menjadi mayoritas pengguna tempat yang dapat digunakan bersama ini. Namun, dengan bergeraknya waktu, semakin banyak perusahaan yang mulai mendorong karyawannya untuk bekerja di luar dalam keperluan untuk menambah relasi. Diawali dari perusahaan startup digital, hingga pada akhirnya perusahaan dengan bidang pekerjaan apa pun, satu persatu mulai mengisi ruang di dalam coworking space dengan memberi karyawan mereka fleksibilitas untuk menggunakan beberapa hari dalam seminggu untuk bekerja di luar kantor. Bahkan, dalam satu hingga dua tahun belakangan ini, intensitasnya mengalami peningkatan dengan adanya beberapa pekerja yang menghabiskan seminggu penuh di coworking space untuk mengerjakan pekerjaan kantor.
Terlepas dari segala keuntungan yang ada, remote working tetap memiliki tantangan, terutama dalam hal komunikasi yang diperlukan. Oleh karenanya, dari jumlah 5 hari kerja yang ada, setidaknya beberapa hari dalam seminggu tetap perlu digunakan untuk datang ke kantor, untuk langsung bertemu tatap muka dengan rekan kerja untuk menjamin segala kolaborasi dan komunikasi tersampaikan dengan jelas. Dan meskipun terkesan memiliki fleksibilitas lebih, bukan berarti seseorang yang melakukan remote working tersedia 24 jam dalam sehari untuk menjawab pesan, melakukan pertemuan, atau lembur menyelesaikan tugas dengan asumsi suatu pekerjaan dapat dilanjutkan untuk dikerjakan di rumah. Tetap terdapat batas, etika, dan tanggung jawab yang perlu diperhatikan dari sisi perusahaan maupun pekerja. Baik positif atau negatif, keduanya perlu ada untuk melengkapi suatu yang efektif. Bukankah memang selalu demikian untuk apapun yang ada di dunia ini? Layaknya koin, yang selalu memiliki 2 sisi untuk dipilih, dibalik, dan ditampilkan.