Society Art & Culture

Kala Perempuan Berbicara

Budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat memang sudah mengakar sejak dahulu kala. Meski di masa modern seperti sekarang ini peran perempuan sudah banyak berubah akan tetapi di daerah-daerah tertentu perempuan masih belum mendapatkan hak yang sama. Entah itu masalah pendidikan atau sekadar untuk berbicara dan berekspresi. Seperti yang terjadi di Papua. Masih banyak suku-suku yang menjalani kebiasaan budaya yang mengesampingkan wanita. Misalnya tentang menikah dan memiliki anak. Salah satu suku masih menuntut perempuan untuk melahirkan (paling tidak satu) anak laki-laki tanpa peduli berapa banyak anak yang sudah dilahirkan. Jika tidak, biasanya ia akan mendapatkan gunjingan dari keluarga suami. Pihak keluarga pria biasanya merasa bahwa mereka telah “membeli” sang perempuan dengan memberikan mas kawin atau mahar saat menikah. Oleh karena itu, sebagai gantinya ia harus memberikan keturunan laki-laki agar bisa meneruskan marga sang suami.

Ketidaksetaraan gender juga hadir di aspek pendidikan. Akibat mengakarnya budaya patriarki, anak laki-laki menjadi prioritas utama dalam satu keluarga untuk mendapat akses pendidikan. Sedangkan anak perempuan tidak. Kalau keluarga tersebut memiliki keterbatasan ekonomi tentu saja anak perempuan semakin sulit untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Pernikahan usia dini juga menjadi salah satu faktor banyak anak perempuan putus sekolah. Biasanya ini terjadi di daerah pedalaman. Mereka lahir dan tumbuh di keluarga dengan kondisi ekonomi sulit, menikah di usia dini — biasanya dengan orang sekampung yang juga memiliki kesulitan ekonomi, melahirkan anak, kemudian siklus yang sama diulangi oleh anaknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa faktor ekonomi memang menjadi kendala utama dalam mendapatkan akses pendidikan di Papua. 

Saya termasuk perempuan Papua yang memiliki privilese atas pendidikan. Papa yang bekerja sebagai seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) menempatkan kami dalam kondisi ekonomi yang cukup baik sehingga saya dapat memiliki akses untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun tentu saja ini tidak akan terjadi jika kedua orang tua tidak mendukung. Saya amat bersyukur bahwa di keluarga kami tidak ada masalah perbedaan gender yang signifikan. Sedari kecil mereka selalu mengarahkan saya dan saudara-saudara untuk bisa terus semangat belajar dan bersekolah. Terutama mama yang dulu tidak sempat menyelesaikan kuliah. Beliau selalu mendorong saya untuk bisa sampai pada jenjang pendidikan tertinggi. Katanya kalau tidak bisa sekolah tinggi paling tidak saya jangan sampai berhenti belajar. Dan sebab beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang cukup bergantung pada suami, mama sering mengingatkan bahwa perempuan harus bisa punya penghasilan sendiri agar tidak bergantung pada siapa pun. 

Saya amat bersyukur bahwa di keluarga kami tidak ada masalah perbedaan gender yang signifikan. Sedari kecil mereka selalu mengarahkan saya dan saudara-saudara untuk bisa terus semangat belajar dan bersekolah.
 

Akan tetapi segala privilese yang saya rasakan ternyata tidak menghentikan munculnya berbagai dilema ketika merantau ke Jakarta untuk kuliah. Sebagai perempuan dari Papua cukup banyak tantangan yang dihadapi. Perbedaan warna kulit, jenis rambut, hingga latar belakang pendidikan dan ekonomi seringkali menjadi hal-hal yang membuat saya minder. Apalagi di kampus saya dulu tidak banyak orang Papua. Saya hanya menemukan tiga orang perempuan Papua di angkatan saya. Dan ternyata mereka juga merasakan hal yang serupa dengan saya. Tidak percaya diri karena berbeda. Kami pun menjadi support system bagi satu sama lain. Menjadi tempat paling aman untuk berbagi. Lambat laun saya menyadari rasa tidak percaya diri ini bisa mengganggu kesehatan mental. Perasaan minder adalah bentuk perilaku tidak menerima dan mencintai diri sendiri. Padahal seharusnya perbedaan tidak menjadi batasan atau halangan kita para perempuan untuk berekspresi. Hingga tercetuslah sebuah gagasan untuk menciptakan ruang untuk para perempuan Papua berbicara dan berekspresi. 

Sebagai perempuan dari Papua cukup banyak tantangan yang dihadapi. Perbedaan warna kulit, jenis rambut, hingga latar belakang pendidikan dan ekonomi seringkali menjadi hal-hal yang membuat saya minder.

Bertajuk Sa Perempuan Papua, platform online ini diharapkan dapat mendorong perempuan Papua untuk berekspresi dan berbicara dalam rangka mencari solusi dari kendala yang dialami sehari-hari sebagai seorang perempuan. Selain juga untuk menciptakan solidaritas tidak hanya di antara para perempuan Papua saja tapi juga perempuan dari berbagai suku lainnya. Lebih jauh lagi, saya ingin masyarakat dapat lebih menghargai keberagaman dan menyadari segala potensi yang dimiliki perempuan Papua dalam pembangunan Papua itu sendiri.

Lebih jauh lagi, saya ingin masyarakat dapat lebih menghargai keberagaman dan menyadari segala potensi yang dimiliki perempuan Papua dalam pembangunan Papua itu sendiri.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023