Society Lifehacks

Jangan Terlalu Cepat Percaya

Yosi Mokalu

@yosimokalu

Musisi & Pendiri Komunitas Literasi Digital

Ilustrasi Oleh: Robby Garsia (Atreyu Moniaga Project)

Layaknya mata uang, setiap hal di dunia pasti memiliki dua sisi. Baik dan buruk, positif dan negatif. Tak terlepas adanya teknologi canggih yang hidup di tengah-tengah kita saat ini — termasuk internet. Sebagai musisi saya ingat dulu di saat awal penjualan album masih menggunakan kaset kemudian bergerak ke CD dan kini bahkan beralih ke online di mana semua orang dapat mengakses lagu dengan mudah lewat ruang-ruang berjaringan. Sebagaimana pun saya misalnya mencintai periode analog tersebut saya tidak dapat bersikeras untuk tidak mengikuti perkembangan zaman. Begitupun internet. Meski sebagian orang merasa internet memberikan lebih banyak pengaruh negatif, mau tidak mau arus penggunaannya akan tetap mengalir. Adanya akses internet adalah pengaruh perkembangan zaman — bagian dari perubahan. 

Pada dasarnya kita tidak bisa menyalahkan kehadiran internet di dalam kehidupan karena internet sebatas sebuah fasilitas. Sama saja seperti TV atau radio, sebuah media informasi yang dapat kita manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Sayangnya fasilitas seperti itu juga tidak terbebas dari hal-hal negatif. Seperti halnya internet dengan hoax (berita bohong) yang menjadi sisi buruknya. Lalu bagaimana mencegah perkembangan zaman ini membiarkan kita tergerus dalam kutub negatifnya? Jawabannya terletak pada mempersiapkan mental lewat literasi digital. Yang harus disiapkan adalah individunya. Pengetahuan  dan cara berpikir kita lah yang dapat melawan adanya fenomena hoax dan pengaruh-pengaruh buruk yang dapat merugikan kita. Sehingga kita mampu menilai sebuah informasi, mampu membedakan mana yang hoax mana yang tidak, pun mana yang merupakan penggiringan opini, cyber bullying atau hate speech. Jadi apabila terdapat pihak-pihak yang secara sengaja atau tidak sengaja menciptakan masalah-masalah tersebut, kita sudah punya solusi pada diri kita yang lebih dewasa.

Faktanya tidak semua hoax bersifat individualis tapi juga ada yang sistemik. Artinya penyebaran berita bohong tersebut memang direncanakan. Contohnya saja ketika kemarin menjelang pemilu di mana tingkat hoax menjadi lebih tinggi. Namun ketika kasus sudah selesai, grafisnya pun menurun. Tapi kemudian hoax tersebut diikuti dengan masalah lain yaitu penggiringan opini yang notabene definisinya mirip dengan hoax tapi cara pendekatannya berbeda. Narasi yang diterapkan dalam penggiringan opini seakan-akan mendorong seseorang untuk berpikir atau bertindak seperti yang diinginkan pelaku. Contoh sederhananya adalah saat dulu kita menyaksikan acara gosip lalu sang pembawa acara berkata: “Pantaskah seorang public figure melakukan hal seperti itu?” Kata 'pantaskah' menandai adanya penggiringan opini, menciptakan kekhawatiran, kebingungan, dan ketidakjelasan. Narasinya tidak langsung menghakimi tapi membuat orang mulai berpikir negatif dengan dia mempertanyakan kembali fakta yang ada.

Narasi yang diterapkan dalam penggiringan opini seakan-akan mendorong seseorang untuk berpikir atau bertindak seperti yang diinginkan pelaku.

Walaupun terlihat seakan internet saat ini dapat menjadi senjata yang menikam kita diam-diam akan tetapi sisi lain dari adanya hoax dan dampak negatif tersebut membuat kita lebih berhati-hati. Sama seperti jika seseorang berada dalam sebuah pengalaman yang menegangkan, orang tersebut jadi lebih belajar. Jadi lebih sadar akan bahaya. Dibanding dulu sekarang kita jadi bisa lebih berhati-hati melihat sumber beritanya. Tidak langsung percaya pada satu sumber saja. Saat ada kata 'viralkanlah', 'sebarkanlah', kita justru jadi berhati-hati. Ada sifat berhati-hati itu karena sebelumnya sudah ada pengalaman yang kurang menyenangkan sehingga kita pun jadi lebih bisa berpikir dan bersikap kritis sebelum mengonsumsi konten di dunia digital. 

Kemudian bagaimana mengembangkan diri masyarakat menjadi pengguna digital yang lebih kritis dan dewasa? Pendidikan karakter dapat menjadi cara efektif. Seperti yang kita tahu sekarang di sekolah-sekolah sudah tidak ada pelajaran-pelajaran yang mengajarkan karakter perjuangan. Semakin berkurang materi-materi yang dapat meningkatkan kemampuan bersosial di mana salah satunya adalah kemampuan berpikir positif. Alhasil kita lebih mudah terpancing, benci, khawatir hingga termakan dengan hoax tersebut. Literasi digital pun menjadi penting sekaligus menjadi solusi untuk kita lebih awas di mana pengadaan paling efektif jika dibuat dalam bentuk seminar atau kelas-kelas selayaknya sekolah. 

Seperti yang sudah saya lakukan dalam gerakan NAKAL (Nasionalis Radikal) yang mengajak para peserta untuk dapat meningkatkan karakter. Di sini kami percara terdapat empat dasar pendidikan karakter yaitu positif, peduli, pengorbanan dan kebersamaan. Ada alasan kuat kenapa kami memakai keempat nilai tersebut menjadi tahapan dasar dalam melakukan sesuatu. Misalnya, kata positif. Kami percaya apa yang dilakukan, diperbuat, diucapkan, dan dikaryakan berasal dari hati dan pikiran. Kalau apa yang ada di hati dan di pikiran itu negatif, perkataan dan karya yang dihasilkan juga akan cenderung negatif. Tapi kalau hati dan pikiran terbiasa diberi makan yang positif karya kita pun akan positif.

Empat dasar pendidikan karakter: positif, peduli, pengorbanan dan kebersamaan.

Kami pun biasanya membuat simulasi berpikir positif. Pertama kami menutup mata para peserta lalu membiarkan mereka berpikir untuk menjawab apakah satu kata yang kami sebutkan itu bermakna positif atau negatif. Banyak orang yang membedakan satu kata itu bermakna positif atau negatif. Contohnya ketika saya sebut kata 'PKI'. Banyak yang bilang kata tersebut bermakna negatif. Sedangkan kata 'nasionalis' itu positif. Padahal kalau seseorang adalah orang yang berpikir positif semua kata akan bermakna positif apalagi jika berada dalam satu konteks kalimat tertentu. Begitu juga saat saya sebutkan kata 'anjing'. Pasti banyak orang yang mendefinisikannya sebagai hal yang negatif. Mereka bilang negatif karena lebih sering dengar kata 'anjing' keluar dari orang-orang yang mengumpat dengan kata tersebut. Sehingga kita tidak bisa selamanya benar-benar yakin bahwa kita adalah orang yang berpikir positif. Kita hidup di masyarakat dengan nilai-nilai yang mudah mempengaruhi perilaku dan pemikiran.

Kita hidup di masyarakat dengan nilai-nilai yang mudah mempengaruhi perilaku dan pemikiran.

Menurut saya ada beberapa sifat-sifat orang Indonesia yang luntur sebab perkembangan zaman. Orang Indonesia yang dulu terkenal ramah dan memiliki etika dalam berbudaya kini perlahan-lahan menjadi masyarakat yang mudah menghakimi, mudah marah dan benci. Saya pernah membuat konten berjudul “Generasi Tanpa Hati” yang lahir dari kepedulian saya terhadap fenomena ini. Pengamatan saya berasal dari pencarian Google yang menampilkan gambar-gambar mengganggu ketika saya mengetik 'dihakimi massa'. Sederetan berita dan gambar menyampaikan bagaimana terdakwa dihakimi hingga mati. Kesalahan mereka bervariasi. Dari yang ringan seperti mencuri sandal hingga yang berat seperti begal. Tapi hukumannya sama. Lantas inilah yang membuat saya berpikir bukahnkah kita manusia sebenarnya berhak mendapatkan kesempatan kedua? Tapi mengapa seakan-akan sekarang kita tidak mau tahu alasan orang-orang tersebut melakukan hal tidak terpuji itu. Kita hanya menghakimi saja bahkan terkesan ikut-ikutan. Apabila ada satu orang yang memukuli semua orang jadi ikut memukuli. 

Sepertinya zaman digital ini terdapat tren tersebut di mana kita seakan-akan terdorong melakukan hal yang populer padahal belum tentu benar. Inilah menjadi ciri khas perilaku sosial yang diserap oleh masyarakat di masa kini. Kalau ada orang yang memusuhi satu orang, semua orang jadi ikut-ikutan memusuhi daripada kita menjadi orang yang beda. Padahal belum tentu orang tersebut salah. Kecenderungan itu pun yang saya rasa membuat kita lupa akan pengertian musyawarah, sebuah cara pengambilan keputusan yang mendahulukan kepentingan orang banyak, kepentingan bersama. Dulu kata musyawarah sangat kuat. Kita tidak bisa mengambil keputusan hanya karena mayoritas saja tapi atas dasar bersama. Inilah mengapa menurut saya sangat penting untuk kita dapat meningkatkan kemampuan sosial dan kembali membangun karakter yang positif.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023