Walaupun sampai saat ini kalangan ilmiah dan peneliti masih mencari tahu secara pasti apakah penularan Covid-19 lewat droplet atau partikel yang lebih kecil yang dapat tersebar dan tinggal di udara untuk jangka waktu tertentu, harus kita sadari bahwa virus Covid-19 nyatanya adalah penyakit yang kemungkinan dapat menyebar di udara atau disebut airborne disease berdasarkan penelitian-penelitian terbaru. Artinya, semua orang punya risiko untuk terserang virus karena tidak mungkin kita berhenti menghirup udara. Sekalipun kita sudah menjauhi keramaian, tidak berkumpul dengan teman-teman di area publik, atau hanya sekadar pergi ke supermarket untuk belanja, risiko itu bisa tetap ada. Kita tidak pernah tahu di sekitar kita siapa yang positif dan tidak. Bisa saja ketika berbelanja kemudian ada kontak dengan orang yang positif. Oleh sebab itu, sebenarnya menjaga jarak adalah hal yang paling utama selain dilengkapi dengan mencuci tangan dan memakai masker.
Menjaga jarak adalah hal yang paling utama selain dilengkapi dengan mencuci tangan dan memakai masker.
Mengapa kita perlu menjaga jarak 1-2 meter atau untuk lebih aman 6-8 meter? Teori ini sebenarnya sudah ditemukan sejak lama. Kurang lebih sekitar tahun 1930an. Ada seorang ahli pernah yang meneliti bahaya airborne disease pada kasus penyakit tuberkulosis (TBC). Ketika bernapas normal, tanpa masker, kita sebenarnya sudah mengeluarkan percikan udara yang melontar sekitar 50 cm. Saat batuk lontarannya bertambah jauh, menjadi 110 cm. Namun saat bersin, ada turbulen gas yang membentuk semacam awan kecil dan melontar mencapai 7-8 meter. Jadi bukankah ini membahayakan sekali ketika keluar rumah, sudah memakai masker, namun tidak menjaga jarak dengan orang lain yang mungkin tidak memakai masker?
Faktarnya banyak sekali orang yang sudah menjaga dirinya sendiri tapi masih ada saja bertemu secara tidak sengaja dengan orang yang tidak memakai masker. Kemudian ternyata ia terserang virus lalu batuk dan menulari mereka yang memakai masker. Benar, masker bisa mencegah kita terserang virus. Namun tidak tidak 100% bisa memastikan kita kebal dari virus. Bahkan saya sebagai seorang dokter yang sudah pakai APD pun masih mungkin terserang virus. Itulah mengapa kami pun tidak asal membuka pakaian APD melainkan mengikuti urutan buka.
Karena virus Covid-19 termasuk penyakit yang penyebarannya lewat udara, tidak heran jika banyak pasien Covid-19 yang terserang di saluran pernapasan. Virus ini memiliki target untuk menempel pada Reseptor ACE2 yang kebanyakan terdapat di dalam saluran pernapasan kita. Reseptor ACE2 adalah reseptor enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel di beberapa organ. Jumlahnya dalam tubuh setiap orang berbeda-beda. Semakin banyak jumlahnya, semakin tinggi kemungkinan berikatan dengan virus Covid-19. Setelah keduanya berikatan, virus akan memperbanyak dirinya dan menyebar ke bagian lain tubuh.
Sayangnya, kita tidak bisa membedakan penyakit gangguan saluran pernapasan biasa atau yang diakibatkan oleh virus Covid-19. Gejala yang ditimbulkan kebanyakan mirip yakni batuk, baik berdahak atau tidak, dan sesak napas. Dalam satu menit frekuensi napas normal adalah kurang lebih 16-24 kali per menit. Kalau kemudian frekuensinya lebih cepat, ini berarti paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih banyak demi memenuhi kebutuhan jaringan. Kalau sudah mengalami ini sebenarnya bisa mulai dijadikan tanda waspada. Apalagi jika ditambah dengan adanya gejala lain seperti demam, penurunan indera penciuman dan pengecap, tubuh pegal linu, hingga infeksi mata.
Kondisi pasien yang terdiagnosa positif bisa jadi lebih berat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama faktor host atau si pembawa virus. Menurut penelitian, Reseptor ACE2 terdapat lebih banyak di pria ketimbang wanita, pada area Asia, serta pada orang yang merokok. Meski tidak terkecuali faktor-faktor lainnya di mana Reseptor ACE2 berjumlah banyak di saluran pernapasan. Kedua adalah faktor virulensi atau kekuatan virus itu sendiri. Seperti kita tahu adanya mutasi virus dengan kemampuan menyerang berbeda-beda saat masuk ke tubuh. Terakhir adalah faktor komorbid atau penyakit bawaan. Mereka yang punya penyakit hipertensi atau diabetes, ditemukan memiliki kandungan Reseptor ACE2 lebih banyak dari yang tidak. Maka saat terserang virus, gejala dan dampaknya bisa lebih berat salah satunya adalah menyebabkan pneumonia atau peradangan tubuh. Pneumonia diakibatkan oleh infeksi paru yang membuatnya membengkak karena terdapat cairan yang tertimbun di dalamnya. Akibatnya, pasien bisa sulit bernapas dan tidak mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh.
Menjaga jarak memang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi ada segelintir orang yang harus tetap bekerja di luar untuk bertahan hidup. Sekalipun kita sendiri sudah berupaya sehat dan mematuhi serta menjalankan 3M, terkadang masih ada kemungkinan bisa terserang juga. Akan tetapi, dari semua itu pasti ada yang selalu bisa kita pelajari agar tetap optimis menjalani hari-hari ke depan. Saya percaya, dengan bekal ilmu yang bisa didapatkan dari berbagai sumber terpercaya dan praktik yang sudah pernah diteliti juga dilaksanakan, kita bisa lebih waspada dalam pencegahannya. Kita harus menyadari bahwa setiap langkah pencegahan yang dilakukan tidak hanya menyelamatkan diri sendiri tapi juga orang lain.
Kita harus menyadari bahwa setiap langkah pencegahan yang dilakukan tidak hanya menyelamatkan diri sendiri tapi juga orang lain.