Saya tidak pernah membayangkan hidup saya jauh dari berkesenian karena memang ini adalah passion dan keahlian yang saya miliki. Baik di depan maupun di belakang layar, dikenal ataupun tidak dikenal saya akan tetap berkesenian, hanya ruang karyanya saja yang berbeda. Kalau dulu main film sebagai aktris yang tampil di depan layar, sekarang juga saya masih berkesenian lewat film tetapi sebagai co-produser. Di dunia teater, kadang saya juga masih tampil di atas panggung namun pada beberapa kesempatan saya juga ikut berkontribusi sebagai produser. Kini saya juga menuangkan minat dan keahlian saya dalam berkesenian pada bisnis perhiasan, Tulola Jewelry, yang saya jalankan bersama dua partner saya yaitu Sri Luce Rusna dan Franka Franklin-Makarim.
Awalnya ketika saya baru menikah saya pindah ke Bali, di sana saya banyak membaca dan mencari tahu siapa saja tokoh-tokoh adat, tradisi, dan budaya yang inspiratif di Bali. Kemudian saya menemukan sebuah artikel tentang beberapa motif Indonesia yang di klaim oleh orang asing. Salah satu yang memperjuangkan hal ini adalah Desak Nyoman Suarti, ibu dari Sri. Perkenalan ini akhirnya membantu saya dalam proses kurasi desain bersama sang ibu untuk kemudian saya catat pula makna dibalik desain tersebut. Pada proses tersebut sebenarnya Sri sedang berusaha membangun brand Tulola dengan menerima produksi sesuai pesanan. Ia tadinya lebih fokus pada perihal produksi sebelum akhirnya fokus menjadi designer yang akhirnya membuat motif-motif signiture di Tulola. Kemudian saya mengajak Sri untuk berkolaborasi hingga akhirnya bisnis ini berkembang menjadi sebuah brand.
Pada dasarnya bisnis yang saya jalankan juga masih sejalan dengan dunia kesenian. Mungkin ini adalah satu-satunya brand perhiasan yang banyak terinspirasi oleh karya sastra. Tidak bisa dipungkiri saya memang sangat menyukai karya sastra sehingga ketika saya sedang melakukan riset untuk naskah monolog gagasan tersebut juga saya bawa ke bisnis yang saya jalankan untuk diinterpretasikan kembali melalui medium perhiasan. Maka Pustaka Tulola, sebuah laboratorium penciptaan kreatif sebagai upaya pencatatan motif kultural Nusantara, Teknik adiluhung, kisahan mitos, legenda, dan sastra Indonesia, yang baru dilluncurkan kemarin adalah tempat saya, Franka, dan Sri untuk bisa mengeksplorasi ide-ide kreatif lintas bidang.
Di awal tahun ini kita juga merilis koleksi kolaborasi dengan seniman keris asal Bali, I Made Pada, berjudul “Ketenangan Jiwa”. Melalui kolaborasi dengan Made Pada, saya belajar bahwa pada akhirnya setiap kegiatan apa pun dalam hidup kita harus memiliki kepasrahan. Jika kita memiliki kesadaran ini, kita akan menemukan tenang. Saya juga belajar dari beliau untuk tidak mengolok-olok diri sendiri, dalam artian jangan berpura-pura terhadap diri sendiri. Lakukan semua sesuai dengan hati kita dan saya membutuhkan kutipan itu dari para pelaku seni murni yang memang hidup dan matinya di ruang seni. Selama tinggal di Bali sebenarnya saya banyak belajar dari suami dan masyarakat di sana, mereka percaya ada tiga unsur kata penting dalam hidup yaitu Desa, Kala, dan Patra, artinya tempat, waktu, dan keadaan yang memungkinkan terwujudnya suatu hal. Disebabkan karena tempat, waktu, dan keadaan yang tidak pernah bisa kita atur maka itu kita perlu kepasrahan atau berserah diri ke Yang Maha Kuasa.
Selama tinggal di Bali sebenarnya saya banyak belajar dari suami dan masyarakat di sana, mereka percaya ada tiga unsur kata penting dalam hidup yaitu Desa, Kala, dan Patra, artinya tempat, waktu, dan keadaan yang memungkinkan terwujudnya suatu hal. Disebabkan karena tempat, waktu, dan keadaan yang tidak pernah bisa kita atur maka itu kita perlu kepasrahan atau berserah diri ke Yang Maha Kuasa.
Ke depannya saya juga ingin berkolaborasi dengan maestro-maestro seni yang ada di Indonesia. Ketika menggambarkan keindahan seni dan budaya Indonesia, saya mengandaikannya dengan bunga. Banyak bunga cantik di dunia, bunga mawar dan tulip misalnya tapi ada juga bunga melati dan sedap malam. Nah, kita itu bunga melati dan sedap malam, kita punya keindahan dan kecantikan dengan cara kita sendiri. Jadi, keunikan yang kita miliki bukan berarti menghalangi kita untuk maju, justru ini cara kita untuk menjadi warga dunia. Baru-baru ini saya menjadi co-produser film bersama Kamila Andini, judulnya "Nana" sebuah film berbahasa Sunda dengan latar tahun 1950-an. Lalu kita menggali lagi bahasa yang tadinya sudah punah, tapi ternyata film itu bisa masuk ke Berlin International Film Festival di main competition. Hal ini bisa menjadi tanda bahwa kekuatan bahasa kita itu juga bukan jadi penghalang karena yang terpenting di dalam unsur apa pun di dunia ini adalah rasa jiwa manusianya, selama kita otentik dengan diri kita, kita bisa berkomunikasi dengan siapa pun.
Keunikan yang kita miliki bukan berarti menghalangi kita untuk maju, justru ini cara kita untuk menjadi warga dunia.
Untuk generasi apa pun, siapa pun, apa yang kita punya akan bagus sekali kita menentukan masa depan kita bila kita tahu dari mana kita berasal dengan tetap menjadi diri sendiri karena kalau tidak menjadi diri sendiri mungkin akan terlihat bagus di mata orang tapi kita tidak punya karakter. Meski begitu, bukan berarti kecintaan kita akan budaya Indonesia lantas membuat kita menjadi fanatik, bahwa kemana pun kita pergi harus menggunakan pakaian adat lengkap, kembali lagi kita harus menyesuaikan waktu, tempat, dan situasi yang ada. Kita bisa ambil inspirasi dari kekayaan budaya Indonesia untuk kita aplikasikan ke tempat, waktu, dan keadaan yang cocok.