Hutan yang menjadi idaman adalah hutan yang tidak perlu dijaga. Hutan di mana masyarakat menjaganya karena ia mampu memberikan manfaat langsung kepada mereka. Hutan di mana konflik antara satwa dan manusia tidak terjadi. Hutan yang utuh dan lengkap karena tidak ada gangguan yang dari luar. Sayangnya, saya rasa ini impian yang terlalu muluk.
Kecintaan pada alam dan lingkungan selalu terpupuk dengan baik. Dorongan ibu yang selalu membawa oleh-oleh kaset video film dokumenter BBC Blue Planet dan film dokumentar tentang alam lainnya saat kuliah di Jepang memicu kecintaan ini. Kecintaan itu semakin membesar dengan idealisme sekaligus kenaifan saat menimba ilmu di bangku kuliah.
Ilmu yang didapatkan di bangku kuliah tentu saja berbeda dengan apa yang didapatkan jika belajar langsung dari alam. Dulu saya berpikir sebagai anak yang baru lulus kuliah – penuh ambisi, optimisme, idealisme sekaligus naif – ingin menjadi ilmuwan yang melakukan penelitian terumbu karang, berlayar ke seluruh dunia, hingga akan mengubah dunia dengan penelitian-penelitian saya.
Namun harapan itu harus dikubur dalam-dalam saat kemudian kecewa karena sekembalinya saya ke pantai ternyata terumbu karang sudah hancur meski tidak banyak pembangunan di sekelilingnya. Meskipun pantainya sepi, tapi terumbu karang hancur dikarenakan perubahan iklim dan naiknya suhu air laut. Saya berpikir pantai yang sepi dan dengan pembangunan yang tidak terlalu banyak saja terumbu karangnya sudah hancur, apalagi yang sudah menjadi daerah wisata. Melihat situasi yang membuat tidak berdaya tersebut, saya kemudian berpikir ulang. Mungkin hutan lebih mudah dikelola dibandingkan dengan lautan karena areanya lebih mudah dipagari. Berangkat dari pemikiran tersebut lah saya memutuskan untuk melanjutkan studi Manajemen Lingkungan.
Banyak ilmu yang didapatkan di bangku kuliah, seperti mengelola lahan konservasi, mengetahui sebaran hewan, distribusi flora dan fauna, tipe ekologi jamur, dan lain sebagainya. Namun demikian, ternyata yang jauh lebih penting untuk dipahami adalah pengetahuan untuk pembuatan kebijakan, karakter masyarakat, serta interaksi masyarakat dengan hutan. Hal-hal realitas seperti inilah yang tidak diajarkan di bangku kuliah dan baru saya pelajari ketika kemudian memutuskan untuk tinggal di dalam hutan secara langsung.
Tinggal di hutan ternyata sangat menyenangkan. Memang, hari-hari awal terasa begitu meresahkan karena tidak ada sinyal – permasalahan manusia jaman sekarang. Tapi lama kelamaan, hutan ternyata bisa membantu kita untuk menjernihkan isi kepala. Tinggal agak lama di hutan kemudian bisa membuat hidung saya jadi sensitif. Saya jadi mampu membaui alam, dari semerbak harum melati hingga aroma sarang babi yang artinya harus berhati-hati karena banyak kutu. Hutan juga mampu membuat kita menyetel ulang segala kewarasan jiwa, raga, dan indera.
Kita sering lupa, apapun yang kita lakukan itu sangat bergantung pada lingkungan yang sehat.
Tapi sayangnya kita sering lupa, apapun yang kita lakukan itu sangat bergantung pada lingkungan yang sehat. Karena kita lebih banyak tinggal di kota sehingga kita sangat tidak bersentuhan dengan alam yang sebenarnya menjadi sumber kehidupan kita. Ingat saja, apa yang kita makan tumbuh di lahan-lahan petani yang membutuhkan air bersih. Dari mana asal air bersihnya? Ya dari hutan. Banyak yang mengira bahwa rusaknya hutan tidak terlalu berdampak pada kelangsungan hidup manusia. Ternyata salah besar.