Society Health & Wellness

HIV (Tidak) Mengubah Hidup

Scott Alfaz

@scotchandsoba_ @scotchandsoba_

Pendiri & CEO Platform Kesehatan HIV/AIDS

Sebagian orang masih memandang HIV sebagai penyakit yang amat negatif. Perspektif ini berkembang dari penyebab penyakit itu sendiri. Perilaku yang melanggar norma sosial seperti seks bebas dan menggunakan obat-obatan terlarang memang diketahui sebagai awal datangnya HIV. Sehingga HIV seolah menjadi penyakit yang ditujukan untuk para “sampah masyarakat”. Sekalipun para pejuang HIV terserang bukan karena kedua hal tersebut. Apalagi ditambah dengan belum adanya obat untuk HIV. Seakan para penyintas harus hidup dalam label negatif itu selamanya. Tidak mudah memang untuk mereka. Untuk aku yang juga dinyatakan positif HIV. Stigma negatif ini juga yang sempat membuatku hilang harapan hidup ketika baru mengetahuinya.

Dua tahun pertama adalah tahun-tahun terberat. It was my rock bottom. Berpikir untuk bunuh diri berkali-kali. Berbagai suara negatif terngiang di kepalaku. “Malu-maluin keluarga,” “Gak punya masa depan,” “Buat apa hidup toh sebentar lagi akan mati.” Tiap hari pun seolah adalah hari buruk untukku saat itu. Membuat kuliahku berantakan, dan menarik diri dari pergaulan. Tiap hari aku terus berada dalam depresi. Menghitung berapa lama lagi aku akan menghembuskan napas. Apakah cuma sisa seminggu? Sebulan? Apakah aku benar tidak akan punya masa depan lagi? Mengapa aku tidak sekalian mati saja dari pada mengutuki hidup terus? 

Namun lambat laun pilihan mengakhiri hidup akhirnya disandingkan dengan pilihan lain: berjuang. Aku bertanya pada diri sendiri apakah aku mau mati atau berjuang mati-matian sampai nantinya dipanggil yang Maha Kuasa. Proses menerima diri pun datang cukup lama sampai timbul pemikiran bahwa aku tidak mau meninggal hanya dengan label penderita HIV. Aku mau paling tidak aku meninggal dengan ingatan yang baik untuk orang lain. Paling tidak aku bermanfaat untuk orang lain sebelum meninggal. Aku memilih untuk berjuang. Memaksimalkan hidup. Kembali melanjutkan kuliah yang sempat terbengkalai. Kembali berorganisasi. Berusaha menjaga gaya hidup sehat. Dan memberikan energi positif pada pikiranku. Mengucap syukur karena masih diberikan napas walau hanya satu menit. 

Aku mau paling tidak aku meninggal dengan ingatan yang baik untuk orang lain.

Seiring berjalannya waktu aku bersahabat dengan penyakit ini. Menjadikannya sebagai anugerah. HIV bagaikan sebuah alarm. Aku yang dulu jarang sekali olahraga, hampir setiap hari konsumsi makan cepat saji, merokok, minum alkohol dan obat-obatan terlarang. Inilah konsekuensi yang harus aku jalani karena tidak merawat diri sendiri. Tidak mencintai diriku sendiri. Sehingga HIV membuatku lebih banyak bersyukur sekarang dan meningkatkan keberanianku untuk mengambil langkah. Aku tahu bisa kapan saja kondisiku memburuk. Jadi sebelum itu benar-benar terjadi, aku berusaha memaksimalkan sisa hidupku dengan kegiatan atau keputusan yang bisa berdampak baik. Dulu aku pasti banyak pertimbangan untuk mengambil keputusan besar dalam hidup. Misalnya takut orang tua tidak merestui kalau bekerja di luar kota. Sekarang aku berpikir sebaliknya. Kalau tidak aku lakukan sekarang, kapan? Bisa saja tahun depan atau bahkan bulan depan aku sudah tiada. Berangkat dari pemikiran tersebut aku memutuskan untuk mengambil S2 di Eropa. Semua keputusan besar maupun kecil jadi lebih mudah dibuat karena sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. 

HIV membuatku lebih banyak bersyukur sekarang dan meningkatkan keberanianku untuk mengambil langkah.

Ternyata setelah memiliki keberanian untuk berjuang hidup, HIV tidak seburuk itu. Tidak mengubah hidupku jadi menderita. Malah sebaliknya. Aku jadi punya kesempatan berbuat sesuatu untuk orang lain. Untuk para penyintas HIV lainnya. Aku bisa berbicara di publik dengan pesan zero discrimination. Semuanya karena aku tidak mendapat diskriminasi dari orang-orang sekitarku. Ya, aku memang salah satu penderita HIV yang beruntung. Tidak ada seorang pun yang mendiskriminasi. Keluarga, teman, bahkan pacar (dulu). Tidak ada penolakan dari mereka. Tetap mau bertemu, minum di gelas yang sama, bahkan berpelukan. Justru dengan mengakui kesalahanku di masa lalu, mengungkapnya di publik, aku bisa bermanfaat bagi orang lain. Pengalamanku ini bisa dijadikan pelajaran bagi banyak orang agar tidak membuat kesalahan sama seperti yang aku lakukan dulu. 

Justru dengan mengakui kesalahanku di masa lalu, mengungkapnya di publik, aku bisa bermanfaat bagi orang lain. Pengalamanku ini bisa dijadikan pelajaran bagi banyak orang agar tidak membuat kesalahan sama seperti yang aku lakukan dulu.

Terkadang muncul pertanyaan di kepala mengetahui kedua orang tuaku tergolong konservatif dan religius. Apa yang aku lakukan di masa lalu sangatlah dilarang agama. Tapi mereka bisa memahami. Bisa menerima dengan tangan terbuka. Begitu juga ketika berhubungan dengan seorang wanita. Memang di tahun-tahun awal aku masih menutupi. Tapi lama-lama aku berpikir tidak akan baik kalau dia tahu belakangan. Setelahnya, aku berusaha untuk jujur di masa pendekatan. Sebelum terlalu jauh menaruh perasaan aku memberitahu dia tentang kondisiku. Jadi ketika dia tidak mau terima, tidak apa-apa. No hard feelings. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan bersama. Kemudian saling mendoakan yang terbaik saja untuk masing-masing. Biasanya aku akan bilang, “Aku HIV positif. Kalau memang kamu mau jalan bersama aku akan ajari bagaimana cara biar sama-sama aman. Kita bisa saling mendukung satu sama lain.  Kalau memang tidak mau tidak apa-apa. Kita bisa berteman saja. Kalau tidak mau berteman juga tidak masalah.” Untungnya, masih ada yang menerima dan mau menjalani hubungan. Rasanya seperti hampir tidak ada bedanya. 

Bicara meninggal aku berpikir bahwa semua orang juga bisa meninggal kapan saja. Bisa saja orang yang sehat bugar besok meninggal karena kecelakaan. Pemahaman ini membuat aku lebih pasrah. Sudah delapan tahun sejak aku dinyatakan positif HIV dan kini aku hanya ingin menghidupi masa sekarang. Apabila kondisiku besok memburuk ya sudah. Pasrah. Aku cuma bisa berusaha semaksimal mungkin merawat diri dan tidak membiarkan penyakit ini mengganggu keseharianku dengan misi-misi baik di setiap waktunya.

Bicara meninggal aku berpikir bahwa semua orang juga bisa meninggal kapan saja.  Aku cuma bisa berusaha semaksimal mungkin merawat diri dan tidak membiarkan penyakit ini mengganggu keseharianku dengan misi-misi baik di setiap waktunya.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023