Mendengar kata “inovasi” yang terbayang di benak seringnya adalah produk dengan teknologi yang super canggih dengan fitur-fitur futuristik. Kerap kali masyarakat pun langsung melirik produk dengan embel-embel inovatif sebab tidak mau kehilangan momen. Apalagi kalau yang mempromosikan adalah para pemengaruh yang tenar seakan membuat mereka terlihat keren kalau menggunakan produk tersebut. Sampai-sampai lupa akan esensi yang ada di dalam sebuah produk itu sendiri. Sampai-sampai lupa mengalami produk hanya karena ikut-ikutan.
Zaman modern ini memang membuat kita menjadi lebih pintar. Diperkaya dengan informasi yang begitu cepat dan berlimpah. Belum lagi dengan akses singkat untuk mendapatkan suatu barang yang diinginkan. Tinggal satu sentuhan langsung diantar ke rumah. Sayangnya, segala kemudahan dan kepintaran itu dapat membuat kita kurang menghargai proses hingga melupakan nilai dan sisi personal dari barang itu sendiri. Misalnya saja sepatu yang dirilis oleh Kanye West dianggap yang paling bagus tanpa tahu kenapa sepatu itu bisa bagus. Melihat seorang Kanye West yang populer di masa sekarang saja tanpa tahu perjuangannya untuk sampai ke titik puncak. Padahal kalau dicari tahu pasti mereka yang membeli akan jauh lebih bangga punya produknya. Dulu dia adalah karyawan magang Fendi. Perjalanan dia-lah yang memberikan “harga” pada sepatu tersebut.
Sayangnya, segala kemudahan dan kepintaran itu dapat membuat kita kurang menghargai proses hingga melupakan nilai dan sisi personal suatu barang
Sejak dulu saya suka sekali mengumpulkan barang-barang yang punya sisi sentimentil tertentu. Barang yang sulit dicari orang. Saya bertumbuh di era tren sneakers baru lahir di Indonesia. Sehingga saya cukup memerhatikan perkembangan desain dari era ke era. Sampai-sampai saya sengaja mengincar barang-barang edisi terbatas rilisan desainer tertentu sebab ingin tahu pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan sang desainer. Berangkat dari kebiasaan tersebut, lambat laun saya mulai memahami bahwa sebuah produk akan berhasil di pasaran jika terdapat relasi antara sang produsen dengan produk. Sehingga konsumen bisa merasakan relasi tersebut lewat cerita si produsen yang tertuang secara tidak langsung. Saya jadi mengerti juga bahwa di zaman sekarang inovasi tidak melulu soal teknologi baru atau tren teranyar. Inovasi bisa jadi sebuah konsep baru pada sesuatu yang sudah ada atau bahkan hampir terlupakan. Malahan sesungguhnya dengan menghidupkan kembali yang hampir terlupakan bisa membuat kita belajar menghargai fase kehidupan dan perjalanan hidup yang bisa membuat kita lebih kuat di masa depan.
Berangkat dari pemahaman tersebutlah saya berani memberikan napas baru pada brand sepatu Compass yang sudah ada dari tahun 1998. Inovasi yang dilahirkan sepatu Compass bukanlah dari pembuatannya melainkan dari proses lahirnya sepatu itu hingga sekarang. Hubungan saya dengan sang pemilik pabrik sepatu, Pak Gunawan, terbilang sudah lebih dari sekadar klien. Hampir layaknya saudara. Sebelum saya membantunya mengubah image sepatu Compass, beliau hampir hendak menutup pabrik. Padahal pabrik tersebut sudah ada sejak beliau bekerja untuk Bapaknya di tahun 80an. Cerita yang luar biasa, penuh kerja keras, tangis serta tawa menjadi unsur penting dalam proses produksi. Saya ingin mengenalkan budaya Indonesia yang berasal dari perilaku dan karakter rakyatnya sendiri. Supaya nantinya para pengguna sepatu Compass memiliki kebanggaan tersendiri dapat mengenakan sepatu merek lokal yang penuh cerita. Hingga akhirnya mereka membeli bukan hanya sekadar ikut-ikutan namun karena ingin tahu lebih dalam tentang cerita dan pesan yang disebarkan oleh produk tersebut. Baru dengan begitu si pembeli mendapatkan pengalaman dari produk yang dibelinya.
Inovasi bisa jadi sebuah konsep baru pada sesuatu yang sudah ada atau bahkan hampir terlupakan.
Cara kami memasarkan pun terbilang unik. Tidak ada bakar uang dengan iklan gila-gilaan. Justru dengan metode yang cukup ortodoks yaitu lewat pertemanan dan penyebaran dari mulut ke mulut. Kurang lebih seperti penyebaran agama. Kalau memang orang tersebut bersinergi dengan sepatu Compass pasti akan cocok. Kalau tidak kami juga tidak memaksa. Begitu juga dengan pemilihan para influencer yang kami tunjuk. Patokannya bukanlah seberapa banyak engagement atau followers media sosial mereka. Tapi seberapa dekat mereka dengan identitas sepatu Compass. Biasanya kami pasti akan berteman dulu dengan mereka, tahu benar apakah mereka memang memiliki filosofi yang sama dengan sepatu ini. Akhirnya mereka yang membeli pun bukan orang-orang yang melihat seberapa kerennya sang influencer tapi seberapa terhubungnya mereka dengan brand sepatu Compass. Nantinya pun saya dan tim sepatu Compass berharap sepatu Compass akan seperti sebuah masjid di mana di dalamnya ada mimbar kosong dengan jamaah duduk di depannya, siap untuk bercerita. Satu per satu akan maju berdiri di belakang mimbar untuk menceritakan kembali pengalaman mereka. Begitulah nantinya nostalgia yang melahirkan ingatan jangka panjang akan tercipta.