Sebelum mengenal dunia social enterprise (kewirausahaan sosial) saya dulu bekerja di industri bisnis pada umumnya, dunia marketing dan public relations. Namun selama bekerja di korporat, saya juga sering menjadi relawan di daerah-daerah tertentu yang membutuhkan bantuan. Menjadi relawan seperti sebuah panggilan hidup yang memberikan kesenangan serupa seperti mendapatkan gaji. Bisa berguna bagi orang lain adalah sesuatu yang menyenangkan hati dan pikiran. Saat menjadi relawan, seringnya ketika kembali ke ibu kota dan bekerja saya jadi punya energi positif dalam diri yang membuat bersemangat. Seakan menemukan kedamaian dari kegiatan sosial yang dilakukan. Lambat laun, motivasi untuk bekerja pun ljadi ebih besar sebab tahu hasil yang dituai bukan hanya untuk saya pribadi dan keluarga tapi juga untuk orang-orang yang membutuhkan. Khususnya mereka yang berada di daerah-darah tempat saya menjadi relawan. Dari kebiasaan itu pula saya menyadari bahwa tidak ada salahnya menghasilkan banyak uang jika bisa menggunakan uang tersebut untuk kebaikan.
Dari kebiasaan itu pula saya menyadari bahwa tidak ada salahnya menghasilkan banyak uang jika bisa menggunakan uang tersebut untuk kebaikan.
Kemudian saya pun berpikir, "Bagaimana ya caranya agar tetap bisa melakukan aksi sosial tapi tetap punya penghasilan dalam satu waktu?" Akhirnya suatu hari saya dipertemukan dengan terminologi social enterprise. Sebuah bisnis yang tidak hanya memiliki tujuan untuk berkontribusi dan memberikan dampak nyata pada masyarakat atau lingkungan, tapi juga bisa memberikan kita keuntungan finansial. Akan tetapi, banyak orang yang masih sering keliru menerjemahkan model bisnis sosial ini. Masih ada yang berpikir bahwa bisnis ini layaknya organisasi nirlaba yang hanya mementingkan aksi sosial saja dan tidak memberikan keuntungan finansial. Di sisi lain, ada juga yang justru menggunakan model bisnis sosial hanya sebagai langkah marketing saja tanpa dampak yang nyata.
Setelah memelajari social enterprise dan menjadi pengusaha sosial, saya dapat menyimpulkan bahwa bisnis sosial haruslah punya dua tujuan yang seimbang antara mencari keuntungan dalam rangka keberlangsungan dan memberikan dampak positif terhadap masyarakat atau lingkungan. Visi misi keduanya harus kuat dari awal. Seorang pengusaha sosial harus punya niat tersebut yang menjadi nilai dasar bisnisnnya. Memang, bukan berarti bisnis sosial yang tidak punya niat tidak akan memberikan dampak yang nyata. Tapi kalau niat itu sudah dilekatkan dalam strategi bisnis dan menjadi tujuan, bisnis tersebut akan lebih bernilai dan nantinya dapat berkepanjangan.
Oleh karena itu, sebuah bisnis sosial juga harus menentukan dampak sosial yang ingin dicapai. Tidak hanya menentukan seberapa banyak profit yang ingin didapatkan. Terdapat dua kategori dampak yang bisa dianalisa lebih dalam yaitu width of impact dan depth of impact. Contohnya sebuah startup fintech untuk para petani menargetkan width of impact yang akan dicapai adalah seberapa banyak petani yang ingin dipinjamkan modal. Sedangkan depth of impact yang ingin dicapai adalah seberapa besar penghasilan petani yang ingin ditingkatkan dari modal yang dipinjamkan. Bedanya bisnis fintech biasa dengan fintech yang melandaskan sosial adalah keterlibatan fintech tersebut dalam memberdayakan petani agar dapat sejahtera.
Sebuah bisnis biasa mungkin hanya melihat petani tersebut sebagai pelanggan saja. Berhenti pada width of impact. Membantu meminjamkan modal pada petani yang nantinya akan mendapatkan keuntungan ketika sang petani mengembalikan modal pinjam dengan bunga. Sedangkan sebuah bisnis sosial tidak hanya melihat petani sebagai pelanggan saja. Bisnis tersebut memiliki tujuan untuk turut mensejahterakan para petani agar dapat memperoleh keuntungan lebih. Tidak hanya sekadar dapat mengembalikan pinjaman saja.
Jadi sebenarnya kita bisa tetap melakukan aksi sosial dengan tetap mendapatkan keuntungan demi kesejahteraan hidup. Seringnya, bisnis yang tetap mencari keuntungan dianggap bisnis yang jahat karena mementingkan uang. Padahal tidak selalu begitu. Money is not the root of evil. Lack of money is the root of evil. Kita sering memandang uang bersifat jahat. Orang kaya adalah orang jahat. Padahal yang membuatnya menjadi jahat adalah ketika ia merasa kurang. Orang kaya yang jahat adalah orang kaya yang selalu merasa kurang hingga menjadi tamak. Tapi tidak semua orang kaya begitu. Banyak orang yang berkecukupan juga berkontribusi untuk masyarakat. Saya meyakini bahwa semua orang pasti mau berbuat baik. Hanya terkadang godaan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan perasaan tidak cukup dapat mengalihkan tujuan baiknya.
Kita sering memandang uang bersifat jahat. Orang kaya adalah orang jahat. Padahal yang membuatnya menjadi jahat adalah ketika ia merasa kurang.
Besar harapan saya ke depannya semua bisnis justru tidak lagi memandang social enterprise untuk mengkotak-kotakan jenis perusahaan kapitalis atau sosialis. Menurut saya, semua bisnis harus memiliki model bisnis sosial. Semua perusahaan harus punya tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat. Kalau tidak, sampai kapan menindas masyarakat atau merusak lingkungan terus?