Cerita akan masa kecil, tidak pernah ada habisnya. Saya yakin setiap orang pun merasa demikian. Road trip, berkemah di hutan, bermain di gua Jepang, menangkap kupu-kupu, memasak di alam terbuka saat piknik, berkemah di pinggir sungai, dan masih banyak kenangan lainnya, akan secara cepat mengalir bila saya diminta untuk mengingat dan menceritakan hari-hari saya di masa muda. Saya masih merekam itu semua dengan baik. Potongan-potongan memori tersebut terlalu berharga untuk dilupakan. Merekalah yang membentuk pribadi saya di masa kini, merekalah yang membuat saya merasa disayangi, dan merekalah yang menjadikan saya merasa bahagia.
Saat kecil, saya selalu berpikir bahwa setiap orang juga merasakan hal yang sama. Apa yang lantas saya pelajari saat beranjak dewasa, rupanya adalah sebaliknya. Inilah yang membuat saya kemudian menyadari betapa istimewanya masa kecil yang saya miliki. Dunia tidak selalu menawarkan hal yang sama pada setiap orang. Namun, selalu ada yang dapat kita tawarkan pada mereka sebagai gantinya. Terselip keinginan dalam hati untuk dapat mengembalikan apa yang sudah saya terima ke komunitas.
Pada suatu kesempatan, ibu kembali mengajak saya selama beberapa waktu ke tempat kelahirannya, Koto Gadang. Meskipun saya lahir dan besar di Rumbai, Riau, ibu berasal dari Sumatera Barat. Saat kecil sendiri, bersama keluarga, saya seringkali berkunjung ke Koto Gadang yang hanya menghabiskan waktu sekitar empat jam perjalanan dengan mobil dari Pekanbaru. Selain pemandangan alam yang indah mengisi sisi kiri dan kanan jalan, apa yang saya ingat pada masa itu ialah banyak dijumpainya para pengrajin songket di sejumlah rumahan. Koto Gadang memang dikenal akan songketnya. Saya pun secara pribadi menyukai motif songket Koto Gadang karena motif kain yang berasal dari daerah ini memiliki corak yang lebih rumit dibandingkan motif songket dari daerah lainnya di Minangkabau.
Singkat cerita, alangkah terkejutnya saya ketika mendapati suasana kampung halaman sudah banyak berubah, terutama dari keberadaan pengrajin songket lokal yang sudah semakin hilang. Saya pikir, kok lucu ya bila terdapat jenis songket Koto Gadang namun tidak ada orang setempat yang bisa membuatnya. Padahal secara tradisi, biasanya kemampuan menenun diturunkan oleh seorang Ibu ke anak perempuan, hingga berlanjut ke cucu dan cicit mereka kelak. Bahkan dahulu, ilmu membuat songket ini kerap dijaga oleh masing-masing rumah sebagai rahasia keluarga, dan keahlian menenun songket adalah suatu kebanggaan tiap keluarga yang luar biasa.
Akhirnya karena penasaran, saya pun mendatangi rumah-rumah tenun di sejumlah tempat seperti Pandesikek dan Bukittinggi dalam rangka mengadakan individual research untuk lebih mengerti skema besar dari industri songket yang ada. Dari sini, selipan keinginan yang dipendam lama untuk dapat mengembalikan apa yang sudah saya dapatkan atau giveback pun terpantik kembali. Bisa jadi inilah jalan bagi saya untuk membalikan kebaikan yang sudah saya terima secara pribadi ke masyarakat luas.
Besar di Sumatera, membuat songket bukanlah suatu hal yang asing ditemui dalam keseharian. Nenek dan Ibu kerap mengenakannya untuk menghadiri sejumlah acara, begitupun kerabat dan masyarakat sekitar. Saya sendiri sangat menyukai kain, tidak terbatas pada songket saja. Melalui motif dan warna yang terdapat dalam sehelai kain, kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat di suatu waktu. Pada songket misalnya, dalam periode yang banyak dipengaruhi oleh saudagar Arab atau India, terdapat motif patola dengan warna tertentu yang menghiasi tenun kain. Saat banyak saudagar dari Cina, warnanya pun berubah menjadi menjadi lebih banyak didominasi dengan benang merah dan emas, serta corak berelemen oriental. Pada masa Belanda, berbeda lagi motif dan warna yang ditawarkan. Sangat menarik untuk dipelajari, layaknya buku sejarah yang memiliki sejumlah kisah untuk diceritakan dalam tiap helainya. Saya pun harus terus belajar untuk benar-benar mendalami songket, mulai dari sejarah, teknik pembuatan, hingga hal-hal lainnya yang berkaitan di dalam proses produksinya.
Saat memutuskan untuk kembali menghidupkan rumah songket, saya ingin kain ini dapat dilihat sebagai peninggalan nenek moyang yang dibanggakan dan terkonservasi dengan baik. Menghidupkan rumah songket seperti menghidupkan tradisi pengajaran menenun antar generasi secara turun menurun, sekaligus juga memberi penghasilan pada rumah tangga. Tidak mudah awalnya menemukan seseorang yang piawai membuat songket atau paling tidak memiliki keinginan untuk belajar menenun. Tidak mudah juga untuk dapat mengajarkan kepandaian membuat songket dari seorang pengrajin yang telah piawai kepada mereka yang baru memulai. Butuh waktu dan proses. Namun, bila tidak ada sama sekali yang berminat belajar atau menurunkan ilmu membuat songket yang dimiliki, maka bisa saja sekian tahun lagi sejumlah motif songket akan hilang.
Setiap orang pasti ingin meninggalkan legacy untuk diturunkan pada keturunan ataupun masyarakat luas. Berefleksi pada pengalaman pribadi, apa yang saya ingat dari masa kecil yang membuat saya bahagia bukanlah saat dimana orangtua membelikan baju baru atau hal-hal material lainnya. Justru sebaliknya, pengalaman hidup seperti pergi berwisata berkeliling nusantara, melakukan aktivitas bersama, serta pengajaran, adalah hal-hal yang hingga saat ini masih dirasa dan diingat. Bila dahulu saat berada di kampung, saya menjumpai banyak orang membuat songket, saya pun ingin suasana yang sama dapat dirasakan oleh anak-anak saya. Kondisi sekarang memang sudah sedikit berbeda. Menjadi pengrajin songket bukanlah pilihan pekerjaan yang diminati bagi masyarakat di tanah kelahiran Ibu saya. Meski demikian, saya selalu berpikir apa salahnya untuk mencoba membangkitkan kembali tradisi tenun songket. Berhasil tidaknya, itu perkara nanti, yang penting sudah dicoba. Saya juga masih meniti saat ini, belum tahu akan sebesar apa nantinya. Masih banyak hal yang perlu dipelajari dan dilakukan.
Kesejahteraan dan kemakmuran adalah salah satu aspek yang dapat membuat orang bahagia. Bila kita merasa content dengan kehidupan diri sendiri, pasti kita ingin perasaan yang sama kita bagikan kembali ke generasi setelahnya, dalam bentuk apapun itu. Mencoba membangun kembali rumah songket adalah salah satu kontribusi kecil saya untuk membagi rasa bahagia, sekaligus berterima kasih pada komunitas yang baik secara langsung atau tidak memiliki bagian dalam hidup. Ini pula yang saya berikan dan tanamkan pada anak saya. Mereka harus mengetahui bahwa sebagai manusia, kita selalu terikat dengan komunitas. Kita tumbuh dan berkembang di dalamnya, maka sudah sepatutnya kita harus dapat menolong komunitas dan mengembalikan yang sudah diberi sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka, atas apa yang telah kita terima dalam pengembangan diri. Dan tidak ketinggalan, mereka pun harus bangga sebagai orang Indonesia, dimanapun mereka berada.