Bullshit Jobs: A Theory – David Graeber
Bagi antropolog David Graeber, “economies have become vast engines for producing nonsense.”
Di awal usia 20-an, setiap sesi kumpul dengan teman-teman di akhir pekan, saya mendengar bagaimana kawan sebaya saya mulai melamar untuk pekerjaan pertama mereka, menjilat atasan dengan berbagai cara untuk meniti tangga karir, dan mengutuk pekerjaan mereka—sambil sesekali menyelipkan kesempatan untuk menepuk dada karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah perusahaan FMCG terbesar di Asia, misalnya. Kerja mengambil bagian besar dalam kehidupan, dan pada banyak kasus, menjadi penjara bagi pelakunya.
Graeber berargumen bahwa banyak pekerjaan yang ada saat ini adalah pekerjaan-pekerjaan omong kosong. Baginya, banyak pekerjaan yang benar-benar tidak diperlukan, tidak bermakna, dan mengada-ada. Pekerjaan-pekerjaan ini dapat saja dihilangkan dari muka bumi dan tidak berdampak apa-apa. Antara lain, Graeber menyebutkan pekerjaan konsultan, hubungan masyarakat, telemarketer, dan eksekutif private equity sebagai contoh.
Buku ini menawarkan pandangan bahwa pekerjaan omong kosong membawa dampak destruktif secara sosial maupun psikologis terhadap kehidupan umum, namun terutama, terhadap identitas, eksistensi diri dan kebahagiaan pekerja.
Watchlist: 32 Stories by Persons of Interest – Brian Hurt
Satu hal bisa dipahami dengan lebih baik saat kita mengidentifikasi oposisi binernya. Melalui Watchlist, editor Bryan Hurt menawarkan pandangan tentang kehidupan di bawah pengawasan (surveillance), yang dapat kita jadikan bahan refleksi untuk memahami—atau menantang kembali—gagasan kita tentang kebebasan. Pada bagian awal, Hurt berujar,
We are being watched. That this statement probably no longer shocks is itself somewhat shocking […] Every private thing that’s been taken. We’ve already been giving away for free.
Watchlist adalah buku kumpulan fiksi pendek dari 32 penulis—antara lain Etgar Keret (penulis kesukaan saya!), Aimee Bender, T. C. Boyle, dan Juan Pablo Villalobos). Setiap kisah memiliki warna dan gaya bercerita yang berbeda, mulai dari fiksi sains, realistis, noir, hingga sureal dan eksperimental. Setiap kisah dalam kumpulan ini mengajak pembaca untuk merefleksikan tentang hidup di bawah pengawasan.
Bagi saya, salah satu kebebasan yang lekat dengan masa kini adalah kebebasan untuk berucap, bertindak, dan merepresentasikan diri di dan di luar internet. Buku ini memberikan saya ruang untuk berimajinasi tentang bagaimana hadirnya kebebasan turut diikuti dengan dinegosiasikannya privasi, bertransformasinya identitas, dan merenggangnya intimasi. Bersiaplah untuk berandai-andai tentang mengapa kita berbicara dengan cara tertentu di caption foto Instagram dan insta story, atau mengapa kita menutup webcam di laptop sambil meninggalkan kamera depan smartphone terbuka untuk digunakan hampir setiap saat di situasi-situasi paling personal.
Ibu Mendulang Anak Berlari – Cyntha Hariadi
Tumbuh di tengah masyarakat yang meyakini bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, membaca buku ini sungguh memantik kesadaran—dan, yang paling penting, kekuatan—untuk lepas dari rantai pemahaman yang membelenggu kepala saya tersebut. Ibu Mendulang Anak Berlari adalah buku kumpulan puisi pertama Cyntha Hariadi yang mengisahkan pengalaman menjadi ibu. Dari perspektif seorang anak, buku ini meninggalkan saya dengan pikiran bahwa gagasan-gagasan (yang saya kira) mulia, yang saya proyeksikan terhadap sosok-sosok ibu, adalah rantai-rantai yang mengikat dan membelenggu mereka untuk menjadi sepenuhnya manusia.
Ketika kau kehilangan kau,
siapa yang mencarimu?
Anak merengek
suami mengeluh
kekasih meratap
ibu berdoa
ayah berpikir
kakak memanggil
adik termenung.
Kau bilang, “Mereka tidak tahu aku hilang karena aku selalu ada di rumah.”
Orang Hilang, II.
Nineteen Eighty-Four – George Orwell
Barangkali banyak yang sudah membaca buku ini, tapi cobalah baca kembali dalam situasi saat ini dan amati bagaimana manipulasi bahasa di dalamnya tidak jauh berbeda dari permainan kata yang kita saksikan sehari-hari dari tuturan figur publik dan/atau berbagai kanal media nasional. Buku ini berkisah tentang masyarakat di bawah pemerintahan totalitarian Airstrip One, di mana bahasa digunakan sebagai alat pengendali pikiran dan pelanggeng kekerasan. Beberapa slogan yang terkenal dari buku ini, antara lain:
WAR IS PEACE
FREEDOM IS SLAVERY
IGNORANCE IS STRENGTH
dan keberadaan Kementerian Kedamaian (mengurus urusan perang), Kementerian Tumpah Ruah (mengurus urusan ekonomi), Kementerian Cinta (mengurus urusan hukum dan ketertiban) dan Kementerian Kebenaran (mengurus urusan propaganda).
Pada akhirnya, distopia tidak pernah terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari.
Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Soeharto – Abidin Kusno
Ruang kota yang kita tempati sehari-hari adalah perwujudan kebebasan—sekaligus keterbatasan—dalam bergerak, beraktivitas, dan menjadi ada. Abidin Kusno menunjukkan bahwa pada saat yang sama, “isi, bentuk dan ruang kota membentuk politik kebudayaan, identitas, dan memori kolektif.”
Jakarta—begitu pula kota-kota lain—dan seluruh isinya, mulai dari bangunan tinggi, monumen, mal megah, dan jalan raya, menyimpan memori kolektif yang sering kali dibentuk secara sengaja sesuai kebutuhan penguasa. Ruang publik menjadi tempat bagi kita untuk bertemu, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Maka menjadi penting untuk menyadari makna-makna apa yang tersimpan, dihapus, dan dipertukarkan dalam elemen-elemen ruang publik.
Mengutip Abidin Kusno, “Bukankah, kata orang, untuk bisa ‘mengingat’ kita mesti melalui suatu proses ‘pelupaan’? […] Jadi, bolehlah dikatakan bahwa memori kolektif muncul dari pelupaan kolektif. Tapi proses pelupaan ini tidak selalu terjadi semau kita. Ia bisa terjadi di luar kesadaran kita melalui proses pemaknaan, pertunjukkan dan pengondisian. Pelupaan juga bisa dari campur tangan negara dan komunitas dalam upaya untuk melepaskan ingatan dan merajut memori kolektif, tapi ia juga sangat berperan dalam proses pelupaan (atau pengabaian) kolektif.”
Lady Bird
Lady Bird adalah nama yang Christine McPherson berikan pada dirinya sendiri. Nama baru ini adalah salah satu caranya untuk memerdekakan dirinya sendiri. Lady Bird memaknai kebebasan sebagai kontrol penuh atas dirinya sendiri, termasuk identitasnya, dan kemampuan untuk mencapai mimpinya yang tidak dibatasi oleh faktor-faktor geografis maupun ekonomi. Lady Bird adalah film yang jujur mengenai bagaimana mimpi kita dibatasi oleh hal-hal seperti kelas ekonomi dan tempat kita tinggal.
Ketidakpuasan terhadap hidupnya yang biasa-biasa saja dan keinginannya untuk melampaui itu diekspresikan dengan cara mencoba bergabung dengan kelompok anak-anak populer meskipun ia sebenarnya tidak merasa cocok dengan mereka sampai ke berbohong mengenai lokasi rumahnya supaya status ekonominya tidak terungkap. Ia juga sangat ingin untuk melanjutkan studinya di luar Sacramento, ke tempat yang lebih ‘berbudaya’. Ia merasa bahwa ia ditakdirkan untuk hal-hal yang lebih besar dari yang Sacramento bisa tawarkan. Hal-hal ini membuat ibu Lady Bird merasa sedih, karena ia merasa tidak cukup untuk putrinya, dan juga marah, karena Lady Bird terlihat tidak mensyukuri hal-hal yang ibunya sudah beri dan lakukan untuknya.
Konflik antara mimpi Lady Bird dan kesulitannya untuk mencapai mimpi tersebut akhirnya terselesaikan dengan manis. Dengan pengertian dan pengorbanan orangtua, dukungan dari teman-teman, serta kerja kerasnya sendiri, Lady Bird akhirnya bisa mencapai tujuannya: berkuliah di kampus idamannya.
Carol
Carol menceritakan kisah dua perempuan, Carol dan Therese, yang menemukan kebebasan pada satu sama lain. Hidup di era dan dalam masyarakat yang konservatif, kedua perempuan ini tahu bahwa akan ada rintangan-rintangan di jalan mereka, terutama suami Carol yang sedang memproses perceraian mereka. Carol adalah perempuan yang sudah yakin dengan dirinya sendiri dan apa yang dia inginkan, sedangkan Therese masih sedang dalam proses untuk mengeksplor dirinya sendiri dan masih ada keraguan dalam dirinya, seperti dia belum rela untuk menerima perasaan-perasaan baru yang ia punya untuk Carol. Seiring berjalannya waktu dan semakin dekatnya hubungan mereka, Therese pun sadar bahwa tidak ada yang lebih membebaskan daripada kejujuran terhadap diri sendiri.
Enough Said
Eva terjebak dalam situasi yang lucu: ia baru saja mulai mengencani pria yang ternyata adalah mantan suami klien barunya, tapi ia tidak dapat memberitahu keduanya. Dengan keadaan seperti ini, ia harus bisa menjaga kedua hubungan tersebut tanpa membiarkan salah satu hubungan merusak hubungan lainnya. Selain itu, ia juga sedang kesulitan untuk melepaskan putri satu-satunya untuk pergi ke kota lain untuk melanjutkan studinya.
Enough Said berkembang menjadi film ringan yang hangat mengenai karakter-karakter yang berusaha menyelesaikan masalahnya dengan sabar dan dengan cara yang dewasa dan dalam prosesnya menemukan pembelajaran-pembelajaran baru. Karakter-karakter di film ini menemukan cara-cara untuk membebaskan diri mereka dari keraguan yang datang dari diri sendiri untuk bisa mencapai masa depan yang lebih baik. Mereka juga menemukan bahwa ada kebebasan dan kenyamanan dalam kompromi.
“It’s all about breaking your pattern of being too hard on people, and learning to love.” ujar sutradara Nicole Holofcener. "It’s about what to do with the time you have left.”
Spotlight
Spotlight menceritakan kembali investigasi yang dilakukan oleh tim Spotlight dari koran Boston Globe pada tahun 2001 mengenai dugaan kekerasan pada anak yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Katolik. Ketika para reporter melacak sumber dan mengumpulkan arsip-arsip untuk membangun cerita ini, mereka menemukan bahwa ada beberapa pendeta yang ditarik dari paroki dalam keadaan mencurigakan dan diam-diam dipindahkan ke tempat lain. Para reporter ini bekerja dengan sembunyi-sembunyi, mencoba untuk menghindari kecurigaan dari pihak gereja yang juga mempunyai peranan penting dalam masyarakat Boston. Mereka tahu bahwa kebebasan mereka bisa terancam oleh institusi yang lebih besar dan lebih berkuasa dibanding mereka. Beberapa pengacara gereja curiga pada mereka dan menolak untuk membicarakan hal-hal yang paling dasar sekalipun. Ketika fakta-fakta yang tak terbantahkan mulai terkumpul, mereka semakin terdorong untuk mengikuti fakta-fakta tersebut, melampaui asumsi dan nilai-nilai mereka sendiri untuk mencari kebenaran yang murni.
Tidak ada pahlawan dalam cerita ini, hanya orang-orang biasa yang melakukan kewajiban mereka untuk menggali fakta-fakta yang tersembunyi.
Room
Room memulai ceritanya di titik yang biasanya digunakan sebagai akhir di film-film dengan tema serupa. Room mengeksplorasi dampak-dampak yang dialami sepasang ibu dan anak setelah mereka berhasil kabur dari penculik mereka. Dengan menggambarkan PTSD yang dialami oleh Ma dan kesulitannya dalam mencoba untuk berintegrasi kembali dengan lingkungan yang ia tinggalkan dengan paksa tujuh tahun lalu, Room mengajarkan kita perbedaan antara kebebasan internal dan eksternal dan bagaimana mereka bisa mempengaruhi seorang individu. Selama tujuh tahun, satu-satunya alasan hidup Ma adalah untuk menjaga Jack. Ketika akhirnya Jack dan Ma terbebas dan aman dari penculik mereka, Ma menjadi kebingungan akan tujuan hidupnya yang sekarang. Janji akan kebebasan bisa menjadi sumber bertahan hidup bagi beberapa orang, tapi apa yang akan terjadi ketika kebebasan tersebut akhirnya tercapai namun tak sesuai bayangan?