Beberapa kali kita merasa geram dengan fenomena sosial atau ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita, termasuk yang kita baca di media sosial belakangan ini. Aksi perundungan terhadap seorang anak perempuan di bawah umur oleh teman-teman sebayanya misalnya, membuat kita langsung menjadi emosional dan langsung seolah memiliki keterikatan batin terhadap sang korban.
Keterikatan batin dan emosi itu kemudian bisa menghasilkan sikap yang berbeda-beda dan beberapa dari kita mungkin menunjukkannya di status media sosial, dimulai dari membuat opini sampai melakukan perudungan virtual kepada orang-orang yang diduga adalah pelaku perudungan tersebut.
Pertanyaannya, mengapa kita menjadi sedemikian reaktif dan emosional?
Logika Atau Emosi Semata?
Di zaman yang serba cepat ini, informasi mengalir begitu deras dan tanpa batasan. Kita dibombardir untuk mengambil informasi, yang kemudian memiliki efek lebih lanjut yaitu: kita cenderung lebih cepat mengambil kesimpulan. Opini akan suatu fenomena sosial menjadi sedemikian cepat dapat diproduksi dan kemudian didistribusikan kepada banyak orang. Proses berpikir menjadi tereduksi dan kita juga lupa melakukan pengecekan fakta ataupun logika berpikir.
Di zaman serba cepat ini, informasi mengalir begitu deras dan tanpa batasan. Efek lebih lanjutnya kita cenderung lebih cepat mengambil kesimpulan.
Belum lagi saat kita lebih mengedepankan emosi yang menjadi dasar untuk berargumen dan mengendalikan pemahaman kita akan sebuah fenomena sosial. Alangkah berbahayanya saat kita berteriak-teriak mengenai “HOAX!” justru kita turut ambil bagian di dalamnya dengan malas untuk berpikir dengan lebih jernih dan melihat dari berbagai sudut pandang ketika membuat sebuah opini.
Bagaimana jika ternyata, apa yang kita pahami justru malah salah dan tak sesuai fakta? Pertanyaan berikutnya, yang sebenarnya kita kedepankan itu logika ataukah emosi semata?
Bagaimana jika ternyata, apa yang kita pahami justru malah salah dan tak sesuai fakta?
Mudahnya Menjadi Hakim Untuk Suatu Fenomena Sosial
Saya kemudian menjadi teringat ada sebuah kata di dalam bahasa Belanda yang bernama eigenrichting, yang artinya adalah "arahan sendiri" atau terminologi tepatnya, “main hakim sendiri”. Kata ini dipergunakan untuk tindakan untuk menyelesaikan sebuah persoalan tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Jika di era dulu kita kerap melihat fenomena maling yang dikeroyok beramai-ramai, maka sekarang kita dengan mudah masih menemukannya di media sosial. Pelaku yang juga ‘dikeroyok’ beramai-ramai oleh jempol masyarakat melalui media sosial, seolah hal ini bukanlah merupakan bentuk tindakan barbar, karena tidak ada kekerasan fisik yang terjadi, padahal bukankah kekerasan, apa pun bentuknya dan bagaimana pun caranya tetap merupakan kekerasan.
Jika di era dulu maling dikeroyok beramai-ramai, sekarang kita dengan mudah masih menemukannya. pelaku yang juga ‘dikeroyok’ beramai-ramai oleh jempol masyarakat melalui media sosial.
Menjadi reaktif dan terlalu cepat mengambil kesimpulan adalah sebuah kemudahan untuk membuat sebuah putusan akan sebuah fenomena sosial. Penghakiman di masyarakat beralih dari yang sifatnya fisik menjadi verbal ataupun lisan di media sosial, kita pun mungkin pernah atau secara tidak sadar justru turut ambil bagian di dalamnya.
Penghakiman di masyarakat beralih dari yang sifatnya fisik menjadi verbal ataupun lisan di media sosial
Adalah baik untuk menjadi peduli terhadap fenomena sosial yang terjadi, namun menahan diri untuk tidak reaktif dan mudah menjadi hakim akan sebuah fenomena sosial tanpa melalui proses berpikir yang panjang, justru berbahaya bagi diri sendiri.
Bisa-bisa, kita juga secara tidak langsung, terlibat di dalam mata rantai kekerasan yang ada di masyarakat, tanpa pernah mau memutusnya.