Percaya tidak bahwa semakin hari dunia itu sebenarnya semakin datar? Bukan, pernyataan ini bukan menyanggah ilmu sains yang menyatakan bumi itu bulat. Tapi untuk memberikan gagasan baru pada manusia bahwa dunia kita berubah dan semakin datar. Teori dari Thomas Friedman ini sebenarnya ingin memberitahu kita bahwa semakin hari semakin terjadi kesamaan di belahan dunia mana pun. Contohnya adalah pemikiran bahwa sesuatu yang berbentuk gedung itu pasti menggunakan kaca. Lihat saja di Jakarta, Hong Kong, bahkan New York. Semua gedung kebanyakan menggunakan kaca. Jadi sebenarnya kualitas yang kita miliki dalam diri itu bisa dibilang tidak ada bedanya dengan mereka yang ada di Eropa atau Amerika. Kita bisa memiliki kualitas yang sama seperti mereka. Asal mau. Asal percaya diri.
Kualitas yang kita miliki dalam diri itu bisa dibilang tidak ada bedanya dengan mereka yang ada di Eropa atau Amerika. Asal mau. Asal percaya diri.
Sayangnya yang kurang dari kita adalah mental kita yang terkadang masih merasa dijajah sehingga kurang berani untuk menampilkan sesuatu yang berbeda. Saya punya banyak teman arsitek dari Thailand. Mereka bukan negara yang memiliki sejarah dijajah sehingga mereka pun memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membuat dan menunjukkan kemampuan mereka. Sedangkan banyak arsitek lokal sering merasa kurang. Ditambah lagi dengan kurangnya membaca sehingga kurang memiliki konsep berbeda. Memang, produksi konsep baru banyak berasal dari luar negeri yang mana dituangkan dalam bahasa asing. Lalu banyak dari arsitek tersebut tidak mau menguasai bahasa asing sehingga malas baca dan tidak punya konsep.
Masalah lain yang muncul menurut saya adalah adanya pemaparan gambar visual yang terlalu berlebihan di masyarakat. Para arsitek muda kebanyakan melihat referensi konsep dari gambar yang mereka lihat saja. Tinggal contek sana, contek sini, adaptasikan, dan selesai. Tentu saja konsepnya jadi sama saja tidak memiliki kematangan atau tidak memiliki ciri khas karena tidak disertai dengan riset yang mendalam. Terlalu mudah untuk menjadi arsitek yang standar di masa sekarang.
Tidak bisa dipungkiri negara kita adalah negara kapitalis sehingga mudah mereduksi nilai-nilai luhur dalam berkarya. Banyak yang mendasari sebuah karya hanya karena alasan ekonomi. Para developer bangunan misalnya. Mereka kebanyakan hanya memikirkan efisiensi bahan bangunan, membuat berdasarkan survei pasar. Jadi terlalu fokus dengan pasar dan profit saja. Menurut pengalaman saya selama ini, di negara maju tantangannya lebih maju sehingga bisa membuat sebuah karya arsitektur yang mendunia. Tidak ada arsitek yang ditunjuk dari salah satu institusi. Sebuah proyek sangat terbuka pada kompetisi sehingga para arsitek yang mau diakui karyanya harus berperang melawan yang lain. Berpikir out of the box. Untuk menjadi arsitek yang diakui masyarakat dunia, mereka harus serius. Harus mendasari karyanya dari hal-hal filosofis yang melalui riset mendalam. Arsitektur itu representasi dari konsep pemikiran. Sehingga kita para arsitek harus bisa menyegarkan otak untuk membaca kondisi yang sedang terjadi di masyarakat lalu memprediksi masa depan. Dengan otak yang segar akan melahirkan konsep yang segar, konsep yang baru, yang belum pernah ada.
Tidak bisa dipungkiri negara kita adalah negara kapitalis sehingga mudah mereduksi nilai-nilai luhur dalam berkarya.
Semisal rancangan kamar mandi saya yang lebih besar dari ukuran kamar tidurnya. Inspirasinya dari kebiasaan masyarakat dengan kemajuan teknologi. Kamar mandi semakin hari semakin menjadi ruang privat di mana masyarakat banyak menggunakan waktu di kamar mandi untuk menikmati waktu sendiri tanpa diganggu oleh orang lain. Entah itu membalas surel, menonton video, atau mendengarkan musik. Sehingga saya merancang ruang kamar mandi yang lebih nyaman, dengan area yang lebih luas, dengan kemungkinan ruang yang lebih mudah kering. Saya melakukan riset terlebih dahulu mengenai perubahan gaya hidup yang kemudian mengubah fungsi dari kamar mandi itu sendiri. Jadi kita para arsitek atau penggiat seni apapun harus bisa mendalami fenomena di keseharian kita, lebih observatif untuk menghasilkan karya yang tidak ada duanya. Memberikan konsep pemikiran yang bisa diterima oleh manusia di belahan mana pun. Ini pula yang sebenarnya berhubungan dengan yang diungkapkan oleh Thomas Friedman tadi. Sebenarnya kita tidak perlu lagi bernostalgia untuk menciptakan karya. Contohnya dalam setiap karya kita memberikan unsur budaya Jawa. Sebenarnya sudah tidak penting lagi karena konsep pemikiran kita yang dituangkan dalam karya itu sudah menjadi unsur budaya. Secara tidak langsung pemikiran dan pembawaan diri kita itulah yang merepresentasikan negara dan budaya kita sendiri.
Secara tidak langsung pemikiran dan pembawaan diri kita itulah yang merepresentasikan negara dan budaya kita sendiri.
Tinggal nantinya saat benar-benar berhadapan dengan mereka yang berbeda budaya, kita bisa menyematkan pemikiran-pemikiran kecil dari pengalaman kita. Misalnya menceritakan daerah terpencil di negara kita. Ini yang bisa membuat mereka tertarik untuk mengetahui lebih lanjut akan budaya dan negara kita. Tapi tetap fokusnya adalah perbedaan. Kearifan lokal sebenarnya dapat dijadikan konsep pemikiran untuk membuat sesuatu yang berbeda. Karena kita dari budaya yang berbeda sehingga kita bisa menawarkan sesuatu yang lebih spesifik dan lebih spesial. Dari sini mentalitas dijajah itu sejatinya bisa diatasi karena kita akhirnya memiliki perasaan yang setara dengan orang lain. Meningkatkan kepercayaan diri bahwa kita berbeda namun sama saja seperti mereka dari segi kualitas. Percaya bahwa Indonesia dengan kekayaannya yang berlimpah dari berbagai aspek ini bisa membuat kita lebih maju, mengalahkan mental dijajah yang sudah lama tertanam dalam benak kita orang Indonesia. Hingga akhirnya bisa membudidayakan kekayaan yang dimiliki oleh nusantara yang juga telah melekat pada perilaku, hati dan pikiran kita.