Proses kita menumbuhkan rasa empat dalam diri pasti berbeda-beda. Butuh pengalaman dan perjalanan untuk akhirnya bisa menggunakan rasa empati itu untuk membantu orang lain. Secara tidak sadar, rasa empati yang aku punya berasal dari kebiasaanku dulu membaca novel yang mengisahkan berbagai kehidupan manusia yang berbeda. Seperti serial buku Chicken Soup yang mengumpulkan sejumlah cerita yang emosional. Buku ini jadi seperti jendela untukku mengetahui dan memahami kehidupan orang lain yang berbeda denganku. Lewat buku itu aku juga jadi tahu bahwa walau mungkin latar belakang setiap orang tidak ada yang sama, tapi pasti kita semua punya hal yang menghubungkan satu sama lain. Meski sekadar memiliki kesamaan nilai kemanusiaan.
Mungkin latar belakang setiap orang tidak ada yang sama, tapi pasti kita semua punya hal yang menghubungkan satu sama lain. Meski sekadar memiliki kesamaan nilai kemanusiaan.
Rasa empati yang kumiliki juga timbul ketika aku berkesempatan untuk menjadi relawan di tenda pengungsian di Eropa. Awalnya aku bukannya sengaja pergi ke sana untuk menjadi relawan. Melainkan karena aku mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di Inggris. Di saat yang sama, pemberitaan tentang perang yang terjadi di Suriah sedang merajalela. Banyak orang-orang Suriah yang akhirnya harus pergi dari negaranya dan mengungsi ke negara-negara tetangga hingga ke benua lain. Suatu saat, aku bertemu dengan seorang pria asal Suriah secara tidak sengaja. Ia menawarkan bantuan padaku untuk menginap di rumahnya karena ketinggalan kereta dan tidak bisa berdiam di stasiun. Saat bertandang ke rumahnya, aku disambut dengan sangat hangat oleh mereka. Singkat cerita, aku jadi tahu bagaimana kondisi orang-orang di Suriah yang membuatku tergerak untuk melakukan sesuatu.
Ditambah kala itu baru saja ada publikasi yang menampilkan foto seorang anak Suriah meninggal akibat terdampar di pantai di Turki saat berusaha menyeberang untuk menyelamatkan diri. Tidak hanya aku seorang yang merasa terpanggil dari melihat foto tersebut. Ternyata banyak orang merasakan hal yang sama dan kemudian membuat inisiatif mendirikan tenda pengungsian darurat di Perancis. Aku pun akhirnya bergabung dan mengalami banyak hal luar biasa. Di sana tidak hanya orang Suriah saja yang menjadi pengungsi. Ada pula orang Afganistan, Irak dan bahkan negara-negara di Afrika seperti Etiopia. Pengalaman menjadi relawan di sana membukakan mataku. Aku menyadari betapa malangnya kehidupan yang mereka alami karena masalah yang berasal dari luar kendali mereka. Di saat yang sama, aku memahami bahwa mereka sebenarnya tidak ada bedanya dengan kita. Mereka punya mimpi yang sama, ingin sekolah, bekerja dan merasa aman seperti masyarakat di negara lain. Tapi semua itu tidak memungkinkan karena perang yang belum usai.
Pengalaman hidup mereka bisa dibilang sulit dibayangkan oleh kita orang Indonesia yang menikmati kehidupan lebih nyaman, jauh dari perang seperti yang terjadi di daerah-daerah konflik. Realita kehidupan yang kita alami amat berbeda dengan mereka. Meskipun kita sebenarnya memiliki kesamaan dalam kualitas diri sebagai manusia. Ada seorang rakyat Suriah di tenda pengungsian itu yang seusia denganku dan baru lulur dari sekolah kedokteran gigi. Jika melihat tampilan fisiknya, ia terlihat sangat normal seperti masyarakat yang berasal dari tingkat sosial menengah. Bertemu dengannya membuatku berpikir, “Mungkin saja ini terjadi apada kita kalau suatu saat ada konflik yang muncul”. Itulah mengapa sesaat aku pulang ke tanah air, aku mencari berbagai cara untuk tetap bisa berkontribusi dalam tenda-tenda pengungsian.
Realita kehidupan yang kita alami amat berbeda dengan mereka. Meskipun kita sebenarnya memiliki kesamaan dalam kualitas diri sebagai manusia.
Selama ini kita mungkin punya persepsi tertentu ketika mendengar kata pengungsi. Tapi ternyata setelah bertemu dan berteman dengan para pengungsi aku justru merasa lebih banyak terbantu ketimbang membantu. Aku bertemu orang-orang yang hebat yang juga berjuang begitu gigih dalam komunitas pengungsian. Aku belajar banyak sekali dari mereka. Tentang keberanian, kesabaran untuk melewati segala petakan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya sebagai masyarakat urban dan privilese. Akan tetapi, menurutku jangan juga kita mendebatkan kata privilese hingga mendiskreditkan prestasi yang sudah dicapai. Privilese bukan sesuatu yang harus ditolak tapi juga bukan membuat kita membandingkan diri dengan orang lain dalam hal tertentu.
Aku bertemu orang-orang yang hebat yang juga berjuang begitu gigih dalam komunitas pengungsian. Aku belajar banyak sekali dari mereka. Tentang keberanian, kesabaran untuk melewati segala petakan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya sebagai masyarakat urban dan privilese.
Saat bertemu pengungsi misalnya. Sebaiknya kita tidak merasa jadi memiliki privilese karena punya kehidupan yang lebih baik dari mereka. Tapi jadikanlah pengamatan kita akan mereka sebagai cara memahami hidup, bukan pembanding. Seperti yang tadi aku utarakan. Ketika aku datang dengan perspektif membantu mereka, justru akulah yang merasa terbantu. Aku menyadari masalah yang aku punya tidak ada apa-apanya dengan masalah yang merkea hadapi sehingga aku harus lebih mawas diri dalam menghidupi keseharian.