Permasalahan datang melalui banyak cara. Demikian juga dengan solusinya. Solusi yang kita temukan terkadang menjadi jalan keluar atas pemasalahan besar lainnya, yang bisa jadi juga merupakan jawaban bagi permasalahan banyak orang.
Dalam kisah saya, solusi hadir dalam wujud herba. Berawal dari kebosanan sekaligus kesulitan mengonsumsi daun katuk agar ASI untuk anak pertama saya lancar, akhirnya saya mencari cara agar daun katuk ini lebih mudah untuk disantap. Pasalnya, daun katuk memang sulit dicari baik di pasar tradisional maupun modern. Setelah berjumpa pun akhirnya hanya diolah sebagai sayur bening atau hanya ditumis. Antara bosan dan eneg rasanya. Padahal di luar negeri, berbagai bahan-bahan superfood – seperti daun katuk, misalnya – banyak diolah menjadi bubuk yang dapat dikreasikan pada berbagai jenis makanan dan minuman.
Sebagai lulusan Teknik Kimia sekaligus karyawan R&D (research and development – red.) sebuah perusahaan multinasional, saya pun tergerak untuk melakukan riset dan eksperimen. Di saat itu yang terpikir adalah, “apa tidak ada yang membuat bubuk superfood dari bahan-bahan lokal Indonesia?” Padahal, menengok faktanya, Indonesia adalah negara dengan biodiversitas kedua terbanyak di dunia, sebuah anugerah Tuhan untuk kita semua. Kalau diteliti lebih lanjut, sebenarnya Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman – yang 10 persennya merupakan tanaman obat. Sayangnya belum semuanya dapat diteliti. Dengan kekayaan alam yang melimpah seperti itu, sudah sepantasnya kita memanfaatkan anugerah tersebut untuk kebaikan bersama. Terlebih, tanaman-tanaman ini memiliki manfaat kesehatan yang bagus dan dapat dijadikan bahan obat-obatan dengan menggunakan zat-zat aktif di dalamnya.
Banyak cerita di antara itu dan sesudahnya. Tanpa terasa eksperimen saya malah mengantarkan pada sebuah perjalanan mendirikan brand dengan produk berbahan dasar tanaman. Bukan hanya daun katuk saja namun telah berkembang ke berbagai tanaman dan herba lainnya seperti daun kelor, daun sambiloto, hingga jinten – yang kesemuanya merupakan superfood asli Indonesia.
Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman – yang 10 persennya merupakan tanaman obat.
Manusia perlu mengonsumsi superfood atas banyak alasan, tetapi alasan yang utama adalah untuk meningkatkan kesehatan. Terlebih bagi mereka yang tinggal di kota besar dengan ritme hidup yang super sibuk sampai-sampai melupakan kontrol makanan – tidak peduli sehat atau tidaknya, yang penting dimakan. Superfood dapat membantu menambah nutrisi karena mengandung zat-zat yang tidak ada dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari, meski sifatnya adalah suplementasi atau tambahan.
Selain itu, orang Indonesia yang kebanyakan makanannya kurang beragam juga perlu mengonsumsi superfood karena seringkali makanan sehari-harinya didominasi oleh karbohidrat – yang kacaunya dipadukan pula dengan karbohidrat. Boro-boro makan serat, kebutuhan makro seperti karbohidat dan protein, dan mikronya seperti vitamin dan mineral, saja masih kacau.
Saat ini memang ada zat-zat yang diproduksi sintetis, misalnya seperti kalsium. Tapi mengapa kita perlu menggunakan zat sintetis jika kita bisa memerolehnya dari sumber-sumber makanan yang mengandung kalsium? Gampang sekali kita mendapatkannya melalui brokoli, ikan, telur, dan daging sapi. Boleh saja ditambahkan suplementasi sintetis jika adalam kondisi tertentu, misalnya tidak ada akses ke makanan-makanan tersebut. Namun kalau ada akses kenapa tidak langsung mengonsumsi makanan aslinya?
Superfood dapat membantu menambah nutrisi karena mengandung zat-zat yang tidak ada dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari
Produk superfood sebenernya lebih ditujukan untuk menjaga kesehatan tubuh dan bukan dikonsumsi saat sedang sakit. Saya juga percaya ada dokter yang mampu menyembuhkan menggunakan obat-obatan. Tapi sejauh kita masih sehat mengapa kita nggak coba menjaga kesehatan?
Memang, produk alami seperti superfood itu efeknya tidak bisa semujarab obat kimia yang dalam hitungan menit efeknya akan langsung terasa. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan alami umumnya membutuhkan proses penyerapan dalam tubuh yang lebih lama dan dengan hasil yang berbeda-beda pula bagi setiap orang – yang semuanya tergantung pada seberapa banyak paparan obat kimia dalam tubuh sebelumnya, misalnya. Pada beberapa orang yang memang tidak pernah minum obat kimia bermacam-macam, efek dari superfood dapat langsung dirasakan. Untuk itu dibutuhkan edukasi ke konsumen mengenai pemakaian bahan-bahan alam sebagai pemakaian jangka panjang dan harus diikuti dengan pola hidup sehat.
Selain itu, jika sudah mengonsumsi obat-obatan kimia kemudian ingin mendetoksifikasi dan mulai mengonsumsi bahan-bahan alami, harus disertai dengan konsultasi dokter dan ahli gizi. Tidak bisa tiba-tiba berhenti dan langsung beralih. Jangan jadi ‘sok pintar’ dan ‘sok tahu’ karena kita tidak paham seberapa besar kita membutuhkan obat tersebut – jangan-jangan memang sangat diperlukan?
Konsumsi superfood merupakan proses pemeliharaan tubuh jangka panjang yang harus diikuti dengan pola hidup sehat.
Masa depan superfood Indonesia juga ada di tangan penduduknya. Semakin banyak kita mengonsumsi akan mengirimkan sinyal ke petani bahwa ada kebutuhan di pasar sehingga mereka akan menanam lebih. Menanam lebih berarti harus ada yang terus mengonsumsi. Jadi jelas bahwa kepopuleran herba Indonesia bergantung pada penduduknya. Kalau bukan kita, siapa lagi?