Mendengar tentang Papua banyak orang yang hanya memikirkan tentang politiknya. Sampai menutupi hal unik lain yang ada di dalamnya termasuk kuliner atau gastronominya. Teman-teman di luar Papua berpikir orang-orang di Papua masih terbelakang. Kalau pun tahu makanannya hanya tahu papeda atau ikan kuah kuning. Padahal apa yang saya pelajari dari waktu ke waktu tentang makanan Papua itu sendiri ternyata banyak sekali bahan-bahan yang tidak ada di bagian Indonesia lainnya. Makanya saya melakukan pendataan tentang bahan makanan yang ada di Papua supaya bisa diceritakan kepada teman-teman di luar sana.
Teman-teman di luar Papua berpikir orang-orang di Papua masih terbelakang. Kalau pun tahu makanannya hanya tahu papeda atau ikan kuah kuning. Padahal apa yang saya pelajari dari waktu ke waktu tentang makanan Papua itu sendiri ternyata banyak sekali bahan-bahan yang tidak ada di bagian Indonesia lainnya.
Seperti salah satu keunikan resep yang berasal dari masyarakat di sekitar Danau Sentani karena punya cerita yang dekat dengan budaya dan tradisi. Mereka punya kebiasaan barter dengan saudara-saudara yang tinggal di pinggir pantai. Menukar umbi-umbian dengan air garam. Interaksi ini menciptakan resep ikan kuah hitam yang menjadi bagian dari tradisi pelantikan kepala suku. Dulu ikan gabus yang dipakai untuk resep ini dianggap ikan yang sakral dan hanya dimakan oleh raja-raja. Sekarang dimakan oleh para kepala suku. Ikan yang dimakan kepala suku ini juga harus disandingkan dengan sagu kualitas nomor satu sebagai penentu kedudukan sosial.
Selain itu ada juga bahan pangan yang tidak ada di luar Papua yaitu daun yang bisa diolah menjadi pengganti garam dari laut. Dalam Bahasa Latin disebut Flagellaria Indica. Garam ini dibuat oleh suku-suku rumah pohon. Saya belajar dari mereka cara mengolahnya menjadi garam dengan cara dibakar. Makanya garam ini termasuk dalam golongan garam hitam. Lalu saya kembangkan lagi dengan metode pengambilan ekstra dan kristalisasi agar lebih mudah dikonsumsi dan distribusikan ke mana-mana. Jadi bisa mengganti penggunaan garam pabrik. Rasa garam ini juga lebih gurih dari pada garam yang berasal dari laut. Tidak seperti garam laut yang cuma asin saja. Sempat juga kami uji lab di Jakarta dan ternyata kadar yodiumnya 50-60% saja ketimbang garam laut yang memiliki sampai 90%. Sehingga daun garam ini cocok juga untuk teman-teman yang punya darah tinggi.
Masyarakat Papua sebagian besar adalah foraging. Apa yang didapat di hutan itu yang mereka olah. Makanya mereka membuat kebun kecil di pinggiran hutan untuk ketahanan pangan mereka di rumah. Itu yang membuat saya terpancing untuk mendata dan mempelajari apa yang biasa diambil oleh para ibu dari suku-suku yang ada hidup di dekat hutan. Mereka makan apa yang tidak biasa kita makan. Sehingga kita bisa berbagi ilmu antar suku untuk membuat pendataan pangan. Selain juga bisa mempertahankan makanan lokal kita juga bisa membantu keberlangsungan alam. Mengurangi penggunaan bahan-bahan pabrik. Sebab resep-resep dari Papua kebanyakan masih hanya berupa tutur. Turun temurun hanya diberitahu secara lisan. Tidak pernah berupa tulisan. Pada generasi muda juga jarang bertanya pada orang tuanya. Membuat resep-resep kita ini hampir terputus. Inilah tugas saya sebagai chef untuk menyambungkan itu. Belum terlambat untuk kita menggali kembali sehingga anak-anak muda di Papua bisa percaya diri dengan makanan tradisional mereka. Sebab sebenarnya penjajahan pola konsumsi sudah ada sejak lama. Bermula dari masuknya beras yang menjadi politik pola makan orang Papua sampai para generasi muda menganggap makanan tradisional Papua itu terbelakang.
Belum terlambat untuk kita menggali kembali sehingga anak-anak muda di Papua bisa percaya diri dengan makanan tradisional mereka. Sebab sebenarnya penjajahan pola konsumsi sudah ada sejak lama.
Sering juga degradasi makanan terjadi dari hal kecil. Misalnya ada teman-teman kita anak Papua yang kuliah di luar Papua lalu pulang dan membawa budaya dari luar. Misalnya mereka menganggap apa yang berasal dari Jawa itu terbaik dan yang ada di lokal itu kampungan. Sering juga mereka merendahkan martabat makanan Papua. Contohnya saat mereka pulang dari Jakarta lalu membawa dialek Jakarta. Pakai elu-gua. Teman-teman di Jayapura yang juga ingin belajar dialek ala Jakarta malah diejek dengan bilang, “Ah mulut kau bau papeda saja kau tidak bisa bahasa dialek kita di Jakarta”. Karena takut dianggap kampungan atau terbelakang mereka jadi berpikir lebih baik makan di KFC atau Mcdonald dari pada makanan lokal. Ini membuat saya tertantang untuk memengaruhi generasi muda. Saya suka bilang pada mereka, “Coba lihat orang-orang Jakarta saja sudah anggap makanan yang datang dari Amerika, Korea, itu bukan makanan mereka. Kemudian mereka sudah mulai beralih ke makanan organik yang sebenarnya kita semua di Papua sudah makan selama ini. Tapi karena kita menganggap kampungan jadi kita tinggalkan. Padahal teman teman di kota besar sudah dengan makanan-makanan dari luar.” Saya selalu mengajak mereka untuk kembali sebagai orang Papua. Kalau mau penampilan lebih modern tinggal bagaimana bisa membuat kreasinya saja.
Saya selalu mengajak mereka untuk kembali sebagai orang Papua. Kalau mau penampilan lebih modern tinggal bagaimana bisa membuat kreasinya saja.