Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat. Hal tersebut membuat keberagaman tata cara hidup dan sosial menjadi sangat dinamis. Saya adalah salah satu yang beruntung untuk dapat merasakan keberagaman tersebut. Saya lahir di Jakarta kemudian pindah ke Yogyakarta ketika remaja hingga dewasa. Layaknya bule yang masuk ke Indonesia, saya pernah mengalami culture shock di awal masa saya tinggal di Yogyakarta. Saya merasa cukup tertampar dengan perbedaan adat, budaya, dan interaksi sosial masyarakatnya. Seperti, ketika bertemu orang yang tidak dikenal, mereka menyapa dengan ramah layaknya semuanya adalah saudara. Hal ini cukup membuat saya terkejut sampai berpikir, “Kenapa mereka menyapa saya yang tidak mereka kenal, ya?”
Di Yogyakarta, saya menemukan betapa masyarakatnya masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat, masih sangat guyub, dan bergotong royong. Ketika berpindah ke Yogyakarta hingga akhirnya memutuskan untuk menetap di sana, saya merasa amat beruntung karena berada di kota yang ekosistem manusianya mengajarkan banyak hal pada saya. Hal ini membuat saya juga belajar bahwa nilai-nilai sosial tidak punah. Saya percaya, di manapun tempatnya, rasa gotong royong dan kebersamaan pasti masih ada. Hanya yang tidak bisa dipungkiri adalah arus teknologi dan modernisasi yang berpotensi dapat memudarkan nilai-nilai tersebut; membuat banyak orang menjadi individualis. Seakan jika sudah tidak ada urusan dengan seseorang, mereka akan menyudahi segala interaksi dan mengubah peran sesama manusia yang sepatutnya dapat memanusiakan manusia yang lain. Akhirnya, tidak sedikit interaksi sosial terasa pura-pura karena ada agenda tersembunyi yang harus dicapai.
Saya percaya, di manapun tempatnya, rasa gotong royong dan kebersamaan pasti masih ada. Hanya yang tidak bisa dipungkiri adalah arus teknologi dan modernisasi yang berpotensi dapat memudarkan nilai-nilai tersebut; membuat banyak orang menjadi individualis.
Suatu hari, saya diberitahu tentang sebuah fenomena yang penting dan menggelitik yang dilakukan masyarakat Jawa. Terdapat sebuah kebiasaan di desa yang disebut tilik atau menjenguk. Bedanya dari sekadar menjenguk, kebiasaan ini dilakukan dengan berbondong-bondong. Uniknya, mereka sering menggunakan truk terbuka untuk pergi bersama-sama mengunjungi warga yang dirawat di rumah sakit. Seperti tidak peduli dengan risiko kecelakaan yang tinggi, mereka tetap menjalankan kebiasaan tersebut dari waktu ke waktu. Potret ini menunjukkan sekali budaya gotong royong yang mungkin hampir sudah tidak pernah terjadi lagi di kota-kota besar. Saya terdorong untuk menampilkan fenomena ini di masyarakat. Harapannya, pesan sosial, gotong royong, serta empati dapat diserap oleh mereka yang tinggal di mana pun agar kembali mengingat pentingnya bersosial satu sama lain.
Akan tetapi kalau mau digali lebih dalam lagi, film yang bertajuk “Tilik” ini juga sebenarnya ingin menampilkan kehidupan manusia yang tidak sempurna. Setiap karakter di dalamnya memperlihatkan ketidaksempurnaan manusia. Begitu juga dengan ceritanya yang bukan cerita happy ending. Saya dan tim “Tilik” berupaya untuk mendorong masyarakat agar dapat bercermin pada diri sendiri agar tidak mudah berprasangka terhadap orang lain. Ada baiknya, kita tidak cepat menghakimi orang lain meski mungkin perilakunya terlihat buruk di mata kita.
Di zaman modern ini, saya melihat sebagian masyarakat judge by the cover. Mereka mudah sekali menghakimi seseorang hanya dengan melihat kulit luarnya saja. Padahal mungkin mereka tidak tahu latar belakang kehidupan orang tersebut seperti apa dan bagaimana ia menjalani hidup. Kita memang tidak bisa melawan perubahan zaman tapi kita bisa mulai sering melakukan refleksi agar dapat menyerap informasi terlebih dahulu tentang suatu hal atau suatu orang. Setelah itu barulah dapat memilah mana yang baik dan buruk, tidak buru-buru menyimpulkan sesuatu dari sekadar pengamatan singkat. Jadi kita bisa mulai mencoba memosisikan diri seperti orang tersebut dan memahami lebih dalam apa yang dia alami. Kita bisa mulai mencoba untuk memudarkan sikap-sikap individualis yang terjadi akibat kurangnya kepedulian terhadap sekitar.
Di zaman modern ini, saya melihat sebagian masyarakat judge by the cover. Mereka mudah sekali menghakimi seseorang hanya dengan melihat kulit luarnya saja. Padahal mungkin mereka tidak tahu latar belakang kehidupan orang tersebut seperti apa dan bagaimana ia menjalani hidup.