Society Art & Culture

Berprestasi Lewat Bahasa Visual 

Marda Yuantika Haninggarjati

@mardayuantikahaninggarjati

Direktur Program Sekolah Seni & Sains

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Pada dasarnya manusia ketika lahir menggunakan bahasa visual dalam berkomunikasi. Salah satunya ketika kita kecil belum bisa bicara, bahasa kita pertama adalah dengan menggoreskan alat gambar seperti pensil warna, krayon atau bahkan hanya sekadar pena di tembok atau kertas. Akan tetapi intuisi visual kita berkurang ketika dihadapkan dengan pelajaran-pelajaran dan keterampilan lain seperti menghafal, berhitung, berolahraga, membaca, menulis. Inilah yang membuat intuisi artistik alami kita dikesampingkan. Apalagi mereka yang bakat artistiknya kurang kuat. Mereka akan merasa bahasa visualnya kalah dengan kebiasaan yang baru dibentuk sehingga mulai mengecap diri tidak berbakat seni. Padahal dia tidak bisa karena sudah tidak melakukan kebiasaan yang berhubungan dengan seni lagi. Meskipun begitu sebenarnya seni itu untuk semua orang. Ada yang menjadikannya sebagai sarana refreshing atau hiburan ada yang menjadikannya sebagai pekerjaan. Tetapi sesungguhnya kita semua memiliki sisi seni dalam diri. 

Sesungguhnya kita semua memiliki sisi seni dalam diri.

Proses berkarya sendiri sangatlah menyenangkan di mana seni dapat memberikan sensasi terapeutik. Namun lebih dari itu pelajaran seni penting diajarkan pada anak-anak demi menumbuhkan intuisi artistik, membuat anak anak punya wawasan tentang budayanya. Selain itu, seni juga dapat membantu anak-anak untuk berpikir secara komprehensif. Saya bisa berkata begini berdasarkan observasi selama menjadi bagian dari Erudio Indonesia. Erudio Indonesia adalah sebuah ekosistem belajar, sekolah seni dan desain setara SMA. Awalnya bentuk sekolah kami adalah seperti tempat kursus untuk belajar seni dan desain. Dulu hanya menawarkan wadah agar anak-anak bisa berdiskusi menggunakan bahasa visual. Ditujukan untuk mereka yang kurang nyaman dengan bahasa verbal dan lebih bisa berekspresi dengan bahasa visual. Jadi misalnya mau cerita tentang hobi main sepakbola karena dia nyaman dengan bahasa visual, ya dia bisa mengungkapnya dengan seni animasi tentang permainan sepakbola. Karena seiring berjalannya waktu ternyata waktu kursus yang terbatas justru memunculkan inisiasi untuk membentuknya menjadi sebuah sekolah sehingga anak-anak dapat berbahasa visual secara intensif. 

Gambarannya seperti ini, di sekolah kami proses pengajarannya berbasis proyek. Jadi anak-anak ini pada saat akan membuat karya mereka akan menjalani serangkaian proses penilitian yang panjang. Misalnya anak kelas 1 di sekolah kami mereka diminta untuk membuat karya dengan tema identitas. Pada saat mereka mendapatkan tugas itu, mereka tidak langsung membuat karyanya tapi mereka harus riset dahulu. Mereka harus mencari tahu: apa yang dimaksud dengan identitas, apa makna identitas untuk dia, hingga bagaimana identitas itu disampaikan dalam bahasa visual. Lalu harus riset dengan teknik berbahasa visual yang bermacam-macam. Baru setelah itu dia akan membuat konsep.

Saat sudah membuat konsep itu proses eksperimennya juga panjang. Misalnya saya mau bicara tentang identitas saya dalam bentuk seri foto. Itu tidak bisa langsung jadi, dia harus mengetahui teknik fotografi apa saja. Teknik foto mana yang tepat untuk membicarakan tema yang ditentukan. Itu prosesnya berulang-ulang sampai konsepnya matang lalu membuat produksi karya dan mempresentasikan ke publik. Itu sebagai bentuk pertanggung jawaban ke publik akan yang dipelajari dan dibuat. Kemudian dari penilaian yang juga sudah saya singgung tadi si anak akan mengetahui evaluasi apa yang dia perlukan. Inilah proses yang membuat saya percaya bahwa belajar seni itu luar biasa untuk membangun pemikiran kritis, imajinatif, lebih liar dan berani yang akan bermanfaat jauh dari apa yang dibayangkan orang biasanya.

Belajar seni itu luar biasa untuk membangun pemikiran kritis, imajinatif, lebih liar dan berani yang akan bermanfaat jauh dari apa yang dibayangkan orang biasanya.

Jika saya boleh bandingkan, anak-anak yang belajar seni sama rumitnya dengan belajar matematika atau kimia di sekolah biasa. Lulusan kami akhirnya tidak hanya melanjutkan ke seni saja, ada juga yang melanjutkan ke jurusan sastra, psikologi, filsafat, hingga arsitektur. Jurusannya bermacam-macam karena mereka merasakan bahwa belajar seni itu mengajarkan mereka untuk mengenal dirinya lebih baik. Mereka memiliki kemampuan berpikir yang kritis dan analitis. Mereka tahu ternyata passion mereka adalah untuk mengembangkan dirinya di luar seni.

Belajar seni mengajarkan mereka untuk mengenal dirinya lebih baik. Mereka memiliki kemampuan berpikir yang kritis dan analitis.

Setiap anak pasti punya niat belajar yang berbeda-beda. Mereka akan bisa cemerlang jika belajar di tempat yang tepat. Anak-anak yang sekolah di sini adalah mereka yang punya semangat untuk terus berkarya seni. Yang mendalami bahwa hidupnya adalah gambar, hidupnya adalah potret, dan hidupnya adalah corat-coret. Bikin komik dan bahasa visual lainnya jadi keseharian mereka. Kalau ditarik dari kebiasaan sehari-hari mereka adalah anak-anak yang di sekolah formal pada umumnya sering corat-coret di belakang bukunya sambil mendengarkan guru menjelaskan atau di kertas buram pada saat ulangan. Eksistensi sekolah ini juga akhirnya bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada mereka yang ingin belajar sesuai minatnya pada seni. Sehingga mereka bisa belajar di tempat di mana mereka dapat menjadi diri sendiri. Filosofinya sama seperti rumah yaitu tempat kita bisa ngapain aja, tidak perlu takut sama orang, dan merasa nyaman. 

Setiap anak pasti punya niat belajar yang berbeda-beda. Mereka akan bisa cemerlang jika belajar di tempat yang tepat.

Di sini kami bisa dibilang sekolah non-formal yang berbasis pada personal project. Tahapannya seperti ini: murid diterima lalu di hari pertama belajar mereka akan ditanya untuk mau bikin proyek apa. Ingin berbicara dan bercerita tentang apa. Itu terserah apa yang mereka mau lakukan. Kurikulumnya akan mengikuti proyek mereka tersebut. Ada kerangka yang mereka bisa ikuti. Tapi pada dasarnya mereka bisa membuat proyek apapun. Tapi memang ada mata pelajaran dasar yang mereka bisa ambil dan boleh pilih sehingga setiap anak akan memiliki program belajar yang berbeda karena bisa memiliki subyek yang mereka minati saja. 

Untuk penilaian, mereka juga menentukan sendiri target penilainnya. Yang melakukan evaluasi adalah mereka sendiri. Dasarnya dari apa yang kami sebut Three Sixty Feedback. Jadi mereka akan mendapatkan masukan dari pihak-pihak yang berhubungan dengan proyek mereka. Misalnya anak yang proyeknya mendesain baju, pada saat ujian dia akan diuji oleh orang-orang sekitarnya, lalu oleh para praktisi di bidang tersebut yaitu pebisnis di bidang fesyen. Jadi mereka akan mendapatkan masukan yang nyata di mana minat mereka langsung dihadapkan dengan dunia pekerjaan. Setelah itu mereka mengevaluasi diri dari masukan para praktisi tersebut. Apa yang harus dipelajari, apa yang mereka dapat, dan apa yang harus dikembangkan. Jadi kami tidak menerapkan nilai yang berasal dari para guru saja tapi dapat nilai dari hasil karya yang dinilai oleh publik. Sehingga ukuran seni di sini adalah pendapat publik dan tergantung karya yang dibuat.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023