Society Lifehacks

Berpikir tentang Berpikir Kritis

Andhyta F. Utami

@afutami

Peneliti & Penggiat Kebijakan Publik

It is our choices, Harry, that show what we truly are, far more than our abilities.
–Albus Dumbledore dalam Harry Potter and the Chamber of Secrets

Jika Dumbledore benar dan ‘diri’ kita didefinisikan oleh akumulasi keputusan-keputusan yang kita ambil dalam hidup, dari mana keputusan tersebut datang in the first place? Kalau ada frasa ‘mencari jati diri’, apakah berarti ‘diri’ sesuatu yang dianugerahi dan hanya tersembunyi jauh di dalam lubuk hati untuk ditemukan? Apakah di antara kita ada diri-diri yang secara alamiah mampu membuat keputusan dengan baik, sementara diri-diri yang lain punya kecenderungan gegabah? Mungkinkah kita melatih ‘diri’ untuk mengambil keputusan dengan lebih baik jika ‘diri’ bersifat innate (memiliki karakter bawaan dari lahir)?

Jika kita pecah sampai ke unit terkecil, pada akhirnya keputusan-keputusan yang kita ambil adalah transmisi sinyal-sinyal neuron di dalam otak—setidaknya begitu menurut para peneliti neurosains dan psikologi. Begitu tidak romantis, jika dibandingkan dengan kutipan Dumbledore di atas. Mungkin karena itu, dalam buku "Thinking, Fast and Slow", Daniel Kahneman memilih untuk menggambarkan proses berpikir manusia sebagai pertarungan tak berujung antara dua ‘karakter’ atau sistem berpikir yang mengaktifkan bagian otak berbeda: Sistem 1 yang berpikir dengan cepat, tidak sadar, dan otomatis, serta Sistem 2 yang berpikir dengan lamban, penuh usaha, dan perhitungan. Kedua sistem berpikir tersebut bergantian ‘ambil alih’ dalam pembuatan keputusan kita, tergantung pada beberapa kondisi.

Misalnya, ketika menerka ekspresi sahabat atau pasangan kita yang sedang marah, kita cukup menggunakan sepersekian detik untuk menginterpretasikan raut wajah yang tidak senang (Sistem 1). Sedangkan, untuk menebak siapa impostor di antara teman-teman yang main Among Us (“Saya lihat dia keluar dari ruang mesin!”), kita butuh menyusun argumentasi dengan seksama berdasarkan penilaian menyeluruh dari informasi-informasi yang ada (Sistem 2). Tentu banyak contoh lainnya.

Saya sendiri lebih suka menggambarkan kedua sistem ini sebagai mode kamera (mungkin tertular suami saya yang seorang videografer): Mode Otomatis yang mampu menangkap gambar dengan cepat tapi seadanya, serta Mode Manual yang digunakan para profesional untuk menangkap gambar terbaik pun ketika menghadapi pencahayaan yang tidak sempurna. Untuk mereka yang jarang menggunakan mode manual, mungkin rasanya akan risih atau melelahkan (begitu pula berpikir dengan menggunakan Sistem 2 yang hati-hati), sehingga kebanyakan orang lebih suka menggunakan mode otomatis, meski kameranya mahal dengan berbagai fitur manual (sering kita memilih untuk mengambil keputusan dengan cepat menggunakan Sistem 1).

Kedua sistem berpikir ini ada di setiap manusia karena kebutuhan evolusi. Sistem 1 memungkinkan nenek moyang homo sapiens kabur dari serangan predator dengan cepat, sementara Sistem 2 memungkinkan kita membagi tugas berburu. Yang bahaya adalah ketika kita tidak sadar bahwa kita dimanipulasi (oleh divisi marketing produk, oleh influencer, oleh politisi berniat jahat) untuk membuat keputusan dengan Sistem 1, ketika sebenarnya itu adalah keputusan yang salah dan merugikan (kita, keluarga kita, bangsa Indonesia) jika saja kita sempat ‘mengaktifkan’ Sistem 2.

Dengan demikian, ‘diri’ adalah kombinasi sistem berpikir 1 dan 2, sementara ‘berpikir kritis’ adakah kemampuan untuk mengaktifkan Sistem 2 ini secara sadar, walaupun kondisi fisik dan mental kita mendorong kita untuk malas mengaktifkannya.

Kembali ke analogi otak sebagai kamera, kemampuan berpikir kritis adalah kondisi di mana otak kita mampu menangkap gambar (informasi, opini, atau ide yang kita terima dari luar) secara utuh, termasuk bagian yang seharusnya ‘gelap’ karena tak tertangkap mode kamera otomatis. Dengan kata lain, bagaimana otak kita dapat menyaring informasi sebelum mengambil keputusan atau tindakan.

Kemampuan berpikir kritis adalah kondisi di mana otak kita mampu menangkap gambar (informasi, opini, atau ide yang kita terima dari luar) secara utuh, termasuk bagian yang seharusnya ‘gelap’ karena tak tertangkap mode kamera otomatis. Dengan kata lain, bagaimana otak kita dapat menyaring informasi sebelum mengambil keputusan atau tindakan.

Sebagai mahasiswa kuliah dulu, saya sempat terobsesi dengan metode Socratic questioning, yaitu pendekatan pedagogi yang menggunakan pertanyaan sebagai instrumen belajar. Seperti namanya, ini adalah metode yang digunakan Socrates di Atena, di mana ia akan berpura-pura bodoh dan bertanya kepada murid-muridnya agar mereka ‘menemukan jawabannya sendiri’. Sekarang saya bisa melihat bahwa apa yang Socrates lakukan adalah mengaktifkan Sistem 2 mereka—mulai dari memahami masalah dengan lebih baik, sampai akhirnya mendesain solusinya.

Kenyataannya, tanpa kemampuan berpikir kritis manusia akan membuat keputusan berdasarkan (1) kebiasaan, (2) opini warisan—orang tua, komunitas, kelompok sosial, peer, atau (3) jebakan berpikir seperti bias dan heuristis berdasarkan asumsi yang tidak diverifikasi:

1. Kebiasaan: “Saya memilih/melakukan ini, karena selalu dilakukan seperti ini.” Contohnya, tradisi ospek yang kurang produktif, menggunakan pemaksaan atau kekerasan yang dilakukan di universitas. Padahal dengan informasi baru yang sudah kita ketahui hari ini, program ospek bisa didesain lebih baik agar benar-benar menyiapkan calon mahasiswa dalam menghadapi kondisi kampus.

2. Opini warisan: “Kata orang tua/(interpretasi seseorang atas) agama/senior saya harus seperti ini.” Contohnya, memilih partai atau calon presiden tertentu karena tekanan sosial, dipengaruhi oleh orang lain atau diasosiasikan dengan identitas tertentu. Padahal, kalau kita mencari informasi dengan lebih lengkap, mungkin kepentingan kita lebih cocok dengan partai atau calon presiden yang satunya.

3.  Jebakan berpikir: “Karena statistik A (yang kurang lengkap atau bahkan misinformasi), maka saya harus B!” Kenyataannya, ilmu psikologi sekarang bisa digunakan untuk manipulasi apapun—diskon buat-buatan yang membuat kita ‘takut ketinggalan’, persepsi kecelakaan pesawat yang sebenarnya kalau dilihat secara statistik masih lebih rendah dari kecelakaan mobil, atau hoax yang terlihat legitimate karena menggunakan tautan website padahal website palsu bukan organisasi media resmi.

Kenyataannya, menggunakan Sistem 1 selalu lebih nyaman dan tidak menguras energi. Itu alasannya, ketika kita dalam kondisi lelah secara kognitif, kita lebih mudah terjebak pikiran. Menggunakan Sistem 2 membutuhkan energi lebih yang tidak semua orang sukarela membayarnya. Akan tetapi, berpikir kritis bukan tentang apa yang mudah, tapi tentang memiliki otonomi. Kemampuan berpikir kritis adalah kemerdekaan untuk berpikir sendiri. Keleluasaan untuk mengumpulkan informasi secara utuh, memprosesnya secara terstruktur, sehingga kita dapat membuat keputusan terbaik atau mencari solusi yang paling efektif. In a way, seperti detektif yang memecahkan misteri (Sherlock Holmes, Conan Edogawa, Hercule Poirot—pilih jagoanmu). Kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk berbagai masalah yang kita temukan sehari-hari baik di level personal, keluarga, organisasional, sampai permasalahan yang lebih luas seperti politik dan kebijakan publik.

Diagram

Description automatically generated

Tanpa melihat gajah secara utuh, kita bisa mengambil kesimpulan yang salah berdasarkan bagian tubuh gajah mana yang kita sentuh.

Dengan berpikir kritis maka kita sedang mengembangkan self-awareness, atau kesadaran atas ‘diri’ tersebut. Ketika memroses input dari luar, menggunakan Sistem 2 berarti kita memahami apa saja yang menyusun Sistem 1 kita: pemicu emosi atau kecenderungan yang mungkin datang dari trauma masa kecil, tradisi, atau nilai-nilai di mana kita dibesarkan. Pada level yang lebih dalam lagi, menggunakan Sistem 2 juga berarti memahami Sistem 1 lawan bicara kita: pemicu emosi, trauma masa kecil, tradisi, maupun nilai-nilai di mana dia dibesarkan. Kita mengenal ini sebagai empati, pun terhadap mereka yang nilainya berseberangan dengan kita (sebut saja millennial dan boomer atau konservatif dan progresif).

Dengan berpikir kritis maka kita sedang mengembangkan self-awareness, atau kesadaran atas ‘diri’

Sehingga, kurang tepat jika berpikir kritis diasosiasikan dengan mereka yang sekedar ‘anti’ terhadap ide-ide. Yang seperti itu justru kemungkinan terjebak di Sistem 1 mereka untuk dapat melihat permasalah secara utuh, atau untuk berempati dengan lawan bicara yang perlu diajak negosiasi atau kompromi. Kemampuan berpikir kritis termasuk kemampuan berempati, mengkomunikasikan kesimpulan, keputusan, atau tindakan yang diambil tersebut dengan framing yang dapat diterima.

Melihat pentingnya kemampuan berpikir kritis ini (termasuk di dalamnya empati), saya dan beberapa teman memulai inisiatif Think Policy @thinkpolicyid, sebagai ruang berproses bagi para profesional muda yang bekerja di pemerintahan dan sektor terkait kebijakan publik. Sejak diluncurkan tahun 2020 lalu, kami mengadakan berbagai bootcamp, diskusi publik, maupun online resources yang bertujuan mengaktifkan Sistem 2 para alumni kami.

Kalau Think Policy adalah ruang alternatif, ruang utama untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis sebenar-benarnya adalah sekolah dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler di usia formatif anak-anak. Di sekolah, kita butuh guru-guru yang menggunakan metode Socratic. Di ujian akhir, lengkapi pilihan berganda dengan soal-soal esai yang mengembangkan kemampuan analisis dan menawarkan solusi. Sepulang sekolah, buka ruang-ruang untuk diskusi buku atau film, serta klub debat atau simulasi sidang yang mendorong siswa-siswa untuk berani berbeda pendapat dan melihat berbagai perspektif.

Jika teman-teman tertarik untuk mempelajari teorinya lebih lanjut, saya rekomendasikan untuk membaca buku "Thinking, Fast and Slow" oleh Daniel Kahneman, serta "The Righteous Mind" Jonathan Haidt. Tapi untuk benar-benar melatih berpikir kritis, tidak ada cara lain selain mempraktekkannya sesering mungkin, dalam berbagai pengambilan keputusan, kecil atau besar. Misalnya: haruskah saya bagikan artikel yang baru saya baca ini? Apakah ada yang salah dari argumen dalam artikel ini?

Dengan berpikir kritis, mungkin pada akhirnya kita dapat membuat keputusan dengan lebih baik, dan karena-nya juga menjadi ‘diri’ yang lebih baik.

Dengan berpikir kritis, mungkin pada akhirnya kita dapat membuat keputusan dengan lebih baik, dan karena-nya juga menjadi ‘diri’ yang lebih baik

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023