Society Planet & People

Bermula Dari Sungai

Banyak orang berpikir bahwa seseorang yang melakukan upaya besar untuk menjaga lingkungan adalah orang yang luar biasa. Padahal sebenarnya orang tersebut hanyalah orang yang memiliki keterikatan kuat dengan alam. Seperti saya memiliki keterikatan dengan sungai. Buyut, nenek, dan ibu saya dulu sangatlah bergantung dengan sungai untuk mencari ikan. Sewaktu kecil, saya pun mandi seringkali mandi di sungai, melihat dan menangkap ikan. Sungai menjadi tempat yang menyenangkan bagi saya. 

Tapi pada saya kuliah sekitar tahun 1994, semuanya berubah. Pertama kali kembali pulang ke Surabaya, saya melihat sungai menjadi kotor, banyak ikan yang mati, banyak sampah sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mandi di sana. Timbul perasaan dalam diri yang menggerakan saya untuk berbuat sesuatu. Saya berpikir kalau terus seperti ini, apa yang saya alami waktu kecil akan hilang. Kalau saya tidak melakukan sesuatu maka, ke depan kondisinya bisa jadi lebih buruk. Generasi setelah saya tidak akan bisa merasakan apa yang saya punya dulu. Akhirnya, saya tergerak untuk mengajak banyak orang untuk berpartisipasi dan memiliki perasaan memiliki lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan menyampaikan berbagai informasi terkait pada mereka.

Saya berpikir kalau terus seperti ini, apa yang saya alami waktu kecil akan hilang. Kalau saya tidak melakukan sesuatu maka, ke depan kondisinya bisa jadi lebih buruk.

Menurut saya, seseorang tidak peduli akan alam karena tidak memiliki akses informasi. Seringnya, masyarakat diberikan solusi palsu sehingga menganggap solusi itulah yang benar padahal tidak. Sejak tahun 2000 saya mulai mulai mengumpulkan bukti-bukti dan meneliti bahwa 98% sungai yang kita miliki di Indonesia berada dalam keadaan sakit hingga sekarat. Semuanya tercemar karena kita membuang limbah ke sungai. Ironisnya 80% orang-orang minum dari air permukaan. Tapi kita mengotori atau mencemari air yang kita minum setiap hari. 

Di berbagai negara maju seperti Jepang, mereka juga punya kisah sendiri tentang sungai di mana tahun 60an sungai mereka banyak tercemar. Tapi kemudian mereka mau berubah karena mengetahui bahwa sungai jumlahnya sedikit di sana sehingga sungai sangatlah berharga. Maka, mereka terus berupaya mencari solusi menjaga sungai yang dimiliki. Sayangnya, sistem pemerintahan kita belum memprioritaskan sistem pengelolaan sungai. Masyarakat bisa membuat sampah ke sungai karena pemerintah tidak menyediakan sarana pembuangan sampah yang benar. Pemerintah kita hanya mampu melayani 30-40% pengelolaan sampah. Sampai saat ini hanya kota Surabaya yang melayani pengelolaan sampah sampai dengan 80%. Di kota-kota lainnya, orang-orang Indonesia membuang sampah ke lahan terbuka, ke sungai, ke rawa atau bahkan ke hutan. Sedikit mereka tahu bahwa saat hujan, sampah-sampah tersebut akan tersapu air hujan, lari ke selokan lalu ke sungai. Jadi, secara tidak langsung mereka membuangnya ke sungai. 

Sampai saat ini, pemerintah kita masih amat  melindungi investasi. Industri yang membuang limbah tidak dihukum, tidak diberi efek jera, sehingga mereka mengulang-ulang kesalahan yang sama. Akhirnya sekarang kita harus menghadapi fenomena mikroplastik yang sudah ada dalam tubuh kita. Menurut penelitian, 55% sampah yang ada di laut jawa adalah sampah plastik karena sistem pengelolaan sampah yang buruk tadi. Juga karena perilaku masyarakat yang konsumtif. Mikroplastik yang bersumber dari sampah-sampah tersebut sudah tertelan lewat air yang kita minum setiap hari. Dampaknya tentu saja kesehatan yang buruk. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kandungan di dalam plastik dapat mengganggu sistem hormon manusia, termasuk menurunkan kualitas sperma dan menopause dini. Maka, menggunakan plastik dan membuang sampah sembarangan bukan hanya semata-mata merusak lingkungan tapi merusak kesehatan kita.

Maka, menggunakan plastik dan membuang sampah sembarangan bukan hanya semata-mata merusak lingkungan tapi merusak kesehatan kita.

Jika mau menghindari ini, pertama kita harus sadar dulu sampah apa saja yang kita punya setiap hari. Kita harus melakukan profiling sampah, tahu seberapa banyak sampah yang kita hasilkan setiap hari. Kemudian cobalah untuk dikurangi setiap hari dengan menanamkan hidup zero waste pada diri. Misalnya mulai berhenti menggunakan tas plastik, tidak menggunakan sedotan plastik, dan lain-lain. Saya pribadi mengurangi pembelian makanan dan minuman yang dibungkus plastik karena sebenarnya itu semua sudah mengandung mikroplastik. Segala yang efisien dan praktis nyatanya mengandung mikroplastik. Banyak orang tidak mau bayar mahal padahal sebenarnya yang dibeli selama ini hanyalah ongkos produksi saja bukan bendanya. Kalau biaya kemasan dieliminasi tentu kita bisa bayar lebih murah. 

Sekarang ini saya pun mencoba mendorong pemerintah membuat regulasi melarang plastik sekali pakai. Tahun ini pun saya sedang mengadakan kampanye stop makan plastik di mana dalam kampanye tersebut akan disampaikan fakta-fakta yang mendukung. Kemudian akan ada kampanye tolak plastik sekali pakai di 10 kota di Indonesia. Mengapa saya berupaya keras melakukan banyak hal? Karena saya punya prinsip bahwa saya mau menjadi seseorang yang ada di puncak piramida kesadaran. Jadi dalam piramida kesadaran, bagian terbawah adalah orang-orang yang tidak tahu dan tidak mau tahu. Di atasnya adalah orang-orang yang tahu tapi tidak mau tahu dan tidak peduli. Bagian ketiga adalah orang yang tidak tahu tapi mau tahu dan mau melakukan sesuatu. Sedangkan yang teratas adalah orang yang tahu dan mau memberitahu. Bagian teratas ini sedikit, tapi penting. Saya ingin menjadi orang tersebut. Inilah yang menjadi nafas saya untuk mencari tahu setiap harinya agar orang terbantu, dan tergerak sehingga kita tidak hanya menyelamatkan diri sendiri tapi juga lingkungannya. 

Faktanya, plastik tidak hanya akan menyakiti kita, tapi juga anak cucu karena ia ada selamanya di alam tak bisa terurai. Jika kita tidak berubah dan mengurangi, apakah kita tega untuk meninggalkan bumi yang rusak pada anak cucu nantinya. Kita sama saja merampas titipan untuk anak cucu. 

Jika kita tidak berubah dan mengurangi, apakah kita tega untuk meninggalkan bumi yang rusak pada anak cucu nantinya.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023