Banyak orang memiliki persepsi miring ketika mendengar kata “filsafat”. Ada yang takut untuk belajar filsafat karena merasa bahasanya susah, terlalu komprehensif atau karena ilmunya dipertimbangkan mengawang. Ada juga yang takut filsafat mengacaukan pemahaman kita soal agama. Filsafat sangatlah multitafsir dan banyak orang yang salah menafsirkan berbagai teori filsafat sehingga menganggapnya bertentangan dengan ajaran agama. Pada dasarnya memang semua kembali ke diri sendiri untuk menafsirkan filsafat seperti apa. Namun, menurut saya kita baru bisa memahami esensinya ketika kita tidak mendahulukan ketakutan belajar filsafat berdasarkan stigma yang melekat padanya.
Ketertarikan saya terhadap filsafat diawali dengan buku “Dunia Sophie”. Setelah baca buku itu, saya semakin penasaran tentang filsafat. Saya mulai banyak bertanya soal kehidupan. Mulai dari beretika hingga politik dalam sosial masyarakat. Rasa penasaran itu pun menggugah saya untuk belajar dan eksplorasi filsafat lebih banyak lagi. Saya menemukan minat yang besar pada paham liberalisme. Paham ini menjunjung tinggi atas hak asasi manusia di mana manusia boleh bebas berpikir dan berpendapat. Saya pun punya keyakinan terhadap hal yang sama. Bahwa manusia seharusnya punya hak untuk bebas. Memahami paham ini membuat saya lebih kritis saat mendengar ada undang-undang pemerintah yang melakukan intervensi terhadap ranah privat publik. Saya jadi bisa lebih peka terhadap masalah yang berhubungan dengan kebebasan masyarakat dalam bersuara dan memahami tindakan apa di masa depan yang bisa dilakukan jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Filsafat adalah salah satu bidang studi yang implementasinya ada di kehidupan sehari-hari. Kita tidak harus jadi dewasa atau berprofesi tertentu dahulu untuk belajar filsafat. Kita belajar filsafat agar tidak mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak eksternal yang mungkin mengambil keuntungan dari kita. Agar kita bisa mempertanyakan hal-hal yang dinilai rancu atau belum jelas faktanya. Filsafat menjadi penting untuk dipelajari supaya kita bisa menganalisa masalah dari berbagai perspektif. Setelah belajar filsafat saya melihat sesuatu lebih skeptis, tidak langsung menelan bulat-bulat informasi yang didapat. Ketika mendapat informasi saya cek dulu kebenaran sumbernya baru kemudian melakukan validasi. Filsafat membuat saya tidak langsung percaya begitu saja sebab kita harus tahu akar dari sebuah masalah untuk mendapatkan solusi atau kesimpulan dari masalah tersebut.
Filsafat menjadi penting untuk dipelajari supaya kita bisa menganalisa masalah dari berbagai perspektif.
Pada dasarnya, belajar filsafat dapat dimulai dengan mengubah stigma bahwa filsafat tidaklah seberat itu. Berfilsafat sebenarnya dapat dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana. Apapun itu. Sesederhana bertanya, “Kenapa ketika berada di pesawat terbang, di sekitarnya kelihatan lebih kecil?”. Setelahnya jika mau mulai mencari tahu, kita sebenarnya sudah berfilsafat secara tidak langsung. Dulu para filsuf menemukan beragam teori filsafat dari sebuah pertanyaan sederhana semacam itu. Seperti Newton yang menemukan gaya gravitasi karena ia bertanya, “Kenapa apel selalu jatuh ke bawah tidak ke atas?”. Itulah mengapa saya meyakini betapa pentingnya budaya bertanya dan berpikir kritis.
Belajar filsafat dapat dimulai dengan mengubah stigma bahwa filsafat tidaklah seberat itu.
Budaya kritis, meningkatkan keingintahuan yang besar, bisa menjadi langkah dasar memelajari filsafat. Kuncinya adalah membuka diskusi.Jadi sebenarnya belajar di sekolah tidak hanya terpatok pada kurikulum, nilai rapor atau sekadar lulus saja. Belajar di sekolah bisa lebih dari itu. Sayangnya, saya masih menemukan di sekolah-sekolah belum banyak terjadi interaksi yang kritis. Sebagian guru masih memberikan pengajaran satu arah, belum mau membuka diskusi di mana siswa dapat bertanya secara kritis. Menurut saya, belajar mengajar harus ada timbal balik. Di satu sisi, guru tidak harus selalu dituruti sebab siswa sebenarnya punya hak untuk memberikan argumen terhadap ajaran guru selama masih dalam konteks beretika yang benar. Selain itu, saya juga merasa masih ada tekanan yang diberikan pada para siswa untuk menjawab dengan benar. Ketika jawabannya salah ia akan dihukum. Dengan begitu, siswa bisa menjadi takut untuk berpendapat, bertanya atau sekadar memulai diskusi. Menurut saya masih banyak orang yang menganggap kalau satu siswa sempat menjawab salah, seterusnya ia akan selalu merasa salah atau disalahkan.