Di masa yang sudah sangat modern ini, stereotip terhadap perempuan di Indonesia masih sering terjadi. Entah itu dari dari aspek kecantikan penampilan maupun peran di masyarakat yang memengaruhi mereka membuat keputusan.
Salah satunya adalah dari pengalamanku sebagai perempuan yang lahir di Surabaya dan memutuskan untuk berkarier di Jakarta. Keputusanku berkarier saja sudah mengalami pertentangan di dalam keluarga. Apalagi ketika di usiaku sekarang ini yang belum menikah. Ada beberapa pihak di keluarga dan mungkin di pertemanan yang mempertanyakan mengapa aku belum berkeluarga. Faktanya, di masyarakat kita masih melekatkan peran perempuan dengan menikah dan berkeluarga. Banyak orang bisa dengan mudah bilang, “Gila sudah umur segitu belum menikah!”. Semudah itu mengeluarkan pernyataan tersebut sehingga memberikan stigma pada perempuan yang belum menikah.
Tidak hanya soal keputusan berkeluarga, soal penampilan juga seringkali menjadi halangan perempuan untuk berkarya dan menjadi dirinya sendiri. Di keluargaku sendiri beruntungnya tidak pernah ada anjuran untuk jadi perempuan yang menjaga kulit putih atau harus tampil cantik sesuai standar di masyarakat. Tapi sayangnya, aku masih sering mendapati dari orang lain yang terkadang menyarankan untuk tidak panas-panasan supaya kulit tidak hitam. Menurutku, pemikiran-pemikiran yang seharusnya tidak diucapkan ini sudah mengakar di masyarakat sehingga semakin mudah dilontarkan kepada orang lain.
Belum lagi produk-produk kecantikan yang mendukung pemikiran tersebut dengan memberikan pesan seolah tidak boleh memiliki kulit gelap. Padahal hal ini tidak masuk akal dengan keragaman orang Indonesia yang dari Sabang hingga Merauke punya warna kulit berbeda. Betapa miris ketika perempuan hanya dinilai dari penampilan. Bukan dari kompetensi. Jika perempuan terus terbentur dengan kekhawatiran akan penampilannya, yang akan menjadi masalah adalah mereka takut berkarya atau bahkan mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan stereotip yang ada di masyarakat. Akhirnya mereka jadi terpaksa melakukan sesuatu yang tidak berasal dari hati sendiri dan membatasi diri karena takut tidak diterima.
Jika perempuan terus terbentur dengan kekhawatiran akan penampilannya, yang akan menjadi masalah adalah mereka takut berkarya atau bahkan mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan stereotip yang ada di masyarakat.
Di industri tempatku bekerja, aku menyadari perlunya meningkatkan kesadaran untuk mengubah stigma ini. Walaupun sebenarnya sekarang industri fotografi dan model sudah semakin berkembang, sudah semakin banyak yang menghargai perbedaan warna kulit. Tapi dalam praktik fotografi, aku masih melihat adanya standar kecantikan tertentu untuk para perempuan. Jujur, di awal karier aku pun belum menyadari akan hal ini. Aku pikir memang standar di dunia fashion begitulah adanya. Namun semakin bertambahnya usia, ditambah dengan kehadiran media sosial, aku merasa banyak pintu kesadaran yang dibukakan. Aku mengamati bahwa media sosial dapat membuat para perempuan semakin membandingkan penampilan dan kehidupannya dengan orang lain. Banyak dari mereka merasa yang dimiliki kurang bagus karena tidak mendapat banyak likes sehingga mencoba untuk menampilkan apa yang seolah menjadi standar di masyarakat.
Oleh sebab itu, kita butuh banyak orang yang menyadari perlunya mengadakan gerakan untuk mengubah stigma tersebut. Maka, aku pun membuat Project Puan. Aku mau mencoba memperlihatkan bahwa perempuan juga bisa memilih untuk menjadi sesuatu yang diinginkannya. Bisa memilih untuk mencintai diri dan keputusan yang mungkin tidak didukung oleh orang-orang terdekat semata-mata karena tidak sesuai dengan kebiasaan di masyarakat. Dalam proyek ini ada 100 perempuan yang difoto untuk merepresentasikan dirinya yang berasal dari berbagai latar belakang, usia, penampilan, perjuangan, serta penerimaan dirinya. Proyek ini ingin menceritakan perjalanan mereka yang berbeda-beda sebab dari perjalanan tersebut timbulah kekuatan. Dari kekuatan timbulah penerimaan, dan dari penerimaan akan terpancar kecantikan. Aku percaya yang membuat perempuan cantik bukanlah sekadar dari penampilan dan paras wajah saja tapi juga dari kisah hidupnya.
Aku percaya yang membuat perempuan cantik bukanlah sekadar dari penampilan dan paras wajah saja tapi juga dari kisah hidupnya.
Pada umur remaja, aku seringkali merasa insecure tentang penampilanku. Sekalipun dulu tidak ada media sosial, aku tetap membandingkan dengan orang lain. Dulu, tidak pernah ada yang bilang padaku bahwa tubuh yang aku miliki apa adanya bukanlah masalah. Yang aku pikirkan dulu tentang menjadi cantik adalah menjadi seperti apa yang pria pikirkan. Menurutku hingga saat ini, masih banyak orang yang menentukan standar kecantikan dari persepsi pria. Oleh karena itu, aku berharap proyek ini bisa memberikan kesadaran pada segala lapisan masyarakat terutama generasi berikutnya yang masih sangat memperhatikan penampilan. Kesadaran bahwa tidak ada yang salah dengan penampilan yang dimiliki sekarang ini. Mungkin bentuk tubuh atau paras wajah yang dimiliki saat ini hanya belum terwakilkan dengan baik.
Bagaimanapun juga, kita perempuan Indonesia diciptakan dengan penampilan yang berbeda-beda. Ada seorang puan dalam proyek ini bernama Hanna pernah berkata bahwa perempuan Indonesia memiliki semua yang terbaik. Aku setuju sekali dengannya. Kita punya semua yang terbaik. Mungkin sebagian dari kita masih terperangkap dengan budaya barat yang melihat kulit putih itu lebih cantik. Padahal apa yang Indonesia punya dengan keberagamannya, kecantikan setiap perempuan dari setiap daerah, suku, dan budaya yang beragam adalah keunikan kita. Kita terlalu kaya untuk dibatasi oleh satu standar kecantikan saja, dan itu tidaklah adil. Sebaliknya, kekayaan yang kita miliki ini haruslah dirayakan.
Kita terlalu kaya untuk dibatasi oleh satu standar kecantikan saja, dan itu tidaklah adil.