Pada awal pandemi, sebagai dokter yang menangani pasien Covid-19, saya terpaksa harus tinggal terpisah dengan anak karena adanya risiko menularkan virus tersebut padanya. Saya terpaksa menitipkannya pada kedua orang tua kami sementara saya tinggal sendirian. Cukup lama kami tidak bertemu, kurang lebih delapan bulan. Kami hanya berkomunikasi lewat video call saja selama itu. Bahkan pada momen yang sangat penting seperti Lebaran, ulang tahun saya serta ulang tahun anak saya, kami tetap tidak bertemu.
Jujur, ini agak berat secara mental karena kita tahu support system sangat penting sekali di saat kita sedang melalui situasi yang menantang. Apalagi untuk orang-orang yang biasa tinggal bersama keluarga, dan berada di lingkungan yang ramai, ketika tiba-tiba harus berpisah dari orang yang kita sayangi rasanya sangat berat. Meski akhirnya kami memutuskan untuk kembali tinggal bersama dan untungnya tidak ada dari keluarga kami yang terpapar COVID-19, namun pengalaman tersebut cukup membekas. Saya tidak membayangkan bagaimana dengan teman-teman dokter dan perawat yang harus tinggal di rumah sakit karena tidak bisa menitipkan anak-anaknya di rumah anggota keluarga lain.
Belum lagi dengan pengalaman pasien dan teman sejawat. Ada teman sejawat yang sempat terpapar Covid-19 hingga koma dan harus menggunakan alat ventilator. Meski ia sudah sembuh sekarang, sudah dinyatakan negatif dan bisa beraktivitas seperti biasa, namun pada awal kejadian sungguh menakutkan menyaksikan itu semua. Begitu pula momen ketika salah satu pasien kami yang akan dipersiapkan untuk operasi. Namun kemudian ia dinyatakan positif COVID-19 dan harus ditunda operasinya. Sementara saya hanya bisa menyaksikan semua hal tersebut tanpa bisa melakukan sesuatu untuk membantunya, hal ini terasa sangat menyedihkan sekali untuk kami.
Seringkali kita manusia cenderung menggampangkan sesuatu yang belum ada di hadapan kita. Sebelum terjadi pandemi, sebagian dari kita tidak menyadari betapa pentingnya menjadikan kesehatan prioritas utama dalam hidup. Banyak dari kita yang kurang peduli dengan kondisi kesehatan diri sendiri maupun orang lain. Seolah-olah kita merasa baru akan sakit jika sudah tua nanti. Bidang kesehatan berada di urutan kesekian setelah urusan busana, kosmetik dan lain-lain.
Seringkali kita manusia cenderung menggampangkan sesuatu yang belum ada di hadapan kita.
Salah satu hal yang menurut saya memperburuk situasi saat ini adalah lemahnya sistem distribusi tenaga kesehatan di Indonesia yang sebenarnya sudah menjadi masalah sejak lama. Khususnya di daerah-daerah terpencil dengan jumlah tenaga kesehatan yang lebih sedikit ketimbang di kota besar seperti Jakarta. Tentu saja kekurangan tenaga kesehatan mengakibatkan terhambatnya pelayanan masyarakat karena mereka harus menunggu untuk mendapatkan pelayanan. Lalu ketika sudah diperiksa, hasilnya juga harus menunggu karena tidak banyak yang bekerja di laboratorium yang mungkin berjarak jauh dari puskesmas.
Menurut saya, masalah yang sudah lama mengakar ini belum bisa selesai di pandemi ini karena akar permasalahan panjang. Jika bisa merunut ke akar, masalahnya terletak pada sistem pendidikan untuk para dokter dan perawat. Pendidikan untuk dokter dan perawat yang berkualitas dipercaya hanya tersedia di kota-kota besar. Kita tidak punya institusi kedokteran atau keperawatan di daerah-daerah pelosok. Di India contohnya, terdapat universitas yang terpencil sehingga para lulusan cenderung akan bekerja di sana karena mereka juga berasal dari area tersebut. Sedangkan jika para lulusan dokter dan perawat yang sekolah di kota besar, mereka akan cenderung bekerja di kota besar dengan pertimbangan pendapatan serta lokasi yang dekat dengan tempat mereka tinggal.
Sistem pendidikan kedokteran dan keperawatan sangatlah panjang. Untuk menjadi dokter umum membutuhkan waktu sekitar 6 tahun. Jika mereka ingin melanjutkan menjadi dokter spesialis, dibutuhkan paling tidak 3 tahun (paling cepat) untuk lulus. Sehingga para lulusan sudah menghabiskan waktu, biaya, serta tenaga untuk menjadi seorang dokter atau perawat. Tidak heran ketika bekerja mereka akan memilih bekerja di institusi di kota besar yang lokasinya dekat dengan keluarga dengan penghasilan yang lebih baik. Sementara jika mereka ditempatkan di daerah-daerah terpencil mereka harus menunggu beberapa bulan untuk mendapatkan insentif, hidup terpisah jauh dari keluarga, dan bekerja ekstra karena kurangnya jumlah tenaga kesehatan.
Pandemi ini dapat menjadi refleksi kita untuk memikirkan kembali bagaimana distribusi kesehatan yang baik agar para tenaga kesehatan tidak hanya berkumpul di pusat saja. Tentu saja terasa tidak adil memaksa para dokter dan perawat ditempatkan di daerah padahal mereka sudah mengeluarkan biaya sendiri untuk sekolah yang waktunya amat panjang. Saya pikir mungkin solusinya bisa datang dari pemerintah untuk menghadirkan sistem pendidikan kedokteran dan keperawatan yang lebih ramah. Misalnya memberikan lebih banyak beasiswa untuk menanggung biaya pendidikan para calon dokter dan perawat. Sehingga nantinya mereka bisa diberikan tugas untuk mengabdi pada negara dengan cara berkontribusi di daerah-daerah. Jadi distribusi tenaga kesehatan dapat lebih merata di berbagai daerah di tanah air.
Pandemi ini dapat menjadi refleksi kita untuk memikirkan kembali bagaimana distribusi kesehatan yang baik agar para tenaga kesehatan tidak hanya berkumpul di pusat saja. Saya pikir mungkin solusinya bisa datang dari pemerintah untuk menghadirkan sistem pendidikan kedokteran dan keperawatan yang lebih ramah
Walaupun pandemi ini banyak menimbulkan hal yang tidak mengenakkan, namun tetap ada sisi baiknya. Sekarang kita bisa mulai melihat terdapat pergeseran prioritas di masyarakat. Kegiatan rekreasi yang menyehatkan seperti berolah raga mulai makin diminati. Kini kita menjadi lebih memperhatikan kesehatan. Baik kesehatan diri sendiri, orang lain, maupun para tenaga kesehatan. Sebelum adanya pandemi ini, tidak banyak yang mengetahui bagaimana kerja seorang tenaga kesehatan. Banyak permasalahan di industri kesehatan yang tidak jadi sorotan sekarang akhirnya satu persatu muncul ke permukaan. Salah satu yang penting adalah masalah beban kerja. Rasio jumlah tenaga kesehatan dibanding populasi di Indonesia yang sangat tinggi membuat beban kerja yang tinggi pula. Burn out atau kelelahan yang dialami oleh tenaga kesehatan adalah masalah jamak yang sudah terjadi sejak lama. Tapi baru setelah adanya pandemi, masalah ini mulai mendapat perhatian yang luas.
Pada pandemi ini mulai muncul pengaturan jam kerja agar dapat mengurangi paparan tenaga kesehatan terhadap virus. Pengaturan ini selain bermanfaat untuk mengurangi paparan terhadap virus SARS-COV-2 juga menurunkan beban kerja dan jam kerja dari tenaga kesehatan yang bersangkutan. Di beberapa rumah sakit, setelah bertugas melayani pasien COVID-19, tenaga kesehatan mendapat waktu isolasi mandiri selama 2 minggu yang diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan terpapar dan memaparkan virus. Di sisi lain, hal ini juga diharapkan dapat memberi waktu istirahat yang cukup untuk menjaga kekebalan tubuh.
Dari segi kesehatan mental pun sekarang sudah ada layanan untuk membantu aspek psikis dari tenaga kesehatan. Konseling psikologi untuk mereka, menurut saya, inovasi yang luar biasa sekali. Hasil pengamatan saya, konseling ini hampir sebelumnya tidak pernah ditawarkan untuk tenaga kesehatan sebelum pandemi terjadi.
Kami sebagai dokter memang diharapkan untuk dapat mempersiapkan yang terburuk. Apapun itu harus dihadapi, entah itu virus yang belum pernah dikenal sebelumnya atau penyakit yang sudah lama kita kenal. Walaupun sudah ada protokol untuk menangani penyakit yang mewabah ini, perasaan cemas dan takut tetap kami rasakan. Belum lagi ada banyak hal yang terjadi di luar ekspektasi kami yang dapat mempengaruhi kondisi psikis.
Belajar dari segala kejadian yang sedang kita hadapi saat pandemi ini, kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama sebab semua hal yang kita lakukan pada akhirnya akan bermuara pada kesehatan. Ironisnya, kalau kita tidak sehat, kita tidak bisa menghidupi keseharian secara normal. Dengan hadirnya pandemi kita harus mulai merestrukturisasi apa yang esensial dalam hidup. Tidak hanya dalam konteks menjaga kesehatan diri sendiri tapi juga dalam konteks pelayanan kesehatan. Contohnya dengan memperkuat pelayanan kesehatan yang ada di lingkup yang lebih kecil seperti puskesmas.
Kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama sebab semua hal yang kita lakukan pada akhirnya akan bermuara pada kesehatan.
Di berbagai daerah, sumber daya manusia dan fasilitas puskesmas belum mumpuni. Banyak puskesmas yang hanya memiliki satu sampai dua perawat saja sampai harus melibatkan para kepala daerah untuk menjadi relawan, membantu mengantar-jemput pasien misalnya. Padahal mereka tidak pernah mendapat pelatihan formal untuk keperawatan dan sebagainya. Teman-teman tenaga kesehatan yang bekerja di daerah pernah bercerita bahwa ketidaktersediaan obat-obatan sering terjadi karena distribusi yang berpusat di kota-kota besar selain juga alat diagnostik di daerah sulit didapat karena tidak semua laboratorium tidak semua punya. Begitu pula dengan fasilitas intensive care dan dokter ahli di fasilitas tersebut yang jumlahnya tidak banyak.
Indonesia sangatlah luas. Kalau kita hanya mengandalkan fasilitas kesehatan yang ada di pusat, nantinya jika ada kejadian serupa seperti sekarang, kita akan kembali kerepotan. Jadi apabila bisa menguatkan pelayanan yang ada di lingkup komunitas seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kita bisa lebih cepat mendeteksi penyakit dan mencari solusi agar penyebaran dapat dikendalikan. Jangan sampai kita lagi-lagi menggampangkan sesuatu yang belum terjadi karena kurangnya perhatian dan kepedulian. Jangan sampai kita harus mengulangi peristiwa-peristiwa yang sebenarnya bisa dicegah.
Jangan sampai kita lagi-lagi menggampangkan sesuatu yang belum terjadi karena kurangnya perhatian dan kepedulian. Jangan sampai kita harus mengulangi peristiwa-peristiwa yang sebenarnya bisa dicegah.