Bicara cinta seringkali kita selalu mengaitkannya dengan jodoh. Soal mencari seseorang nan ideal bak di cerita dongeng atau film-film drama romantis. Kita terbuai dengan kisah-kisah manis mencari jodoh hingga secara tidak sadar dikelabui dengan realita pencarian jodoh. Sampai-sampai kita lupa untuk memahami arti kata jodoh itu sendiri untuk kita pribadi. Mempertanyakan apakah jodoh semata-mata orang yang kita nikahi saja? Atau ia yang menemani hari-hari kita hingga akhir hayat? Apakah mencari jodoh adalah sebuah keharusan? Kenapa?
Tidak hanya arti kata jodoh saja yang seakan punya standar tertentu. Tapi juga bagaimana cara mencari jodoh. Kerapkali kita terpengaruh kepercayaan-kepercayaan yang ada di sekitar hingga tidak dapat memiliki kepercayaan yang kita yakini sendiri. Kemudian merasa apa yang banyak orang lakukan adalah standarnya dan kita harus berupaya mencapai standar tersebut. Contohnya gagasan sistem perjodohan. Stigma perjodohan di masa modern ini memang sudah mengalami pergeseran. Mereka yang masih melakukan itu dianggap orang-orang kuno yang tidak mendapatkan kebebasan untuk memilih. Seakan mereka yang menikah karena perjodohan hidupnya sudah pasti merana dan tidak akan bahagia. Padahal mungkin saja tidak begitu.
Kerapkali kita terpengaruh kepercayaan-kepercayaan yang ada di sekitar hingga tidak dapat memiliki kepercayaan yang kita yakini sendiri. Kemudian merasa apa yang banyak orang lakukan adalah standarnya dan kita harus berupaya mencapai standar tersebut.
Pada masanya sistem perjodohan marak di tengah-tengah masyarakat karena banyak faktor yang meliputi. Di abad ke-18 perjodohan menjadi sebuah norma di masyarakat. Entah karena alasan bisnis, politik, atau lainnya. Hingga sekarang, di beberapa negara sistem perjodohan masih diberlakukan. Dipercaya salah satu alasannya adalah untuk mempertahankan ras dan budaya. Terlepas dari adanya unsur pemaksaan dari keluarga dan sebagainya, kala itu perjodohan adalah salah satu pilihan manusia untuk mencari jodoh dan memiliki hubungan. Sebenarnya cukup mirip dengan pilihan yang kita punya di era digital: kencan online.
Pencarian jodoh lewat aplikasi kencan online marak di masyarakat, terlebih di kota-kota urban, sebagai solusi untuk mempermudah pertemuan mereka yang masih lajang. Seperti yang kita tahu, mobilitas tinggi masyarakat urban disinyalir menjadi salah satu alasan sulitnya mereka memiliki waktu untuk kopi darat. Kalau dipikir-pikir sebenarnya kencan online pun sama saja dengan sistem perjodohan. Bedanya kini kita dijodohkan oleh teknologi. Akan tetapi bagi banyak orang mencari jodoh lewat aplikasi juga dianggap kurang ideal. Mereka yang mencari jodoh lewat aplikasi kencan online dianggap putus asa atau tidak laku.
Lalu sebenarnya pencarian jodoh seperti apa yang ideal? Adakah formula persisnya? Mengapa seakan menjadi sulit sekali mencari jodoh?
Jawabannya adalah tidak ada satu cara yang paling tepat. Kita disediakan banyak sekali pilihan untuk mengalami perjalanan bertemu dengan seseorang yang istimewa. Entah itu dijodohkan, lewat kencan online, lewat media sosial, bertemu di kafe, atau sekalipun kita merasa tidak ingin mencari jodoh, kita punya pilihan itu. Tidak ada juga waktu yang paling pas. Entah itu umur 25 tahun atau 35 tahun, atau bahkan ketika sudah menginjak 60 tahun. Pendekatan singkat atau panjang juga tidak menentukan dia adalah jodoh kita atau bukan. Ada orang-orang yang hanya bertemu dalam hitungan jari lalu langsung menikah dan langgeng sampai berpuluh tahun. Ada yang sudah berpacaran bertahun-tahun tapi usia pernikahannya hanya dalam hitungan bulan.
Jawabannya adalah tidak ada satu cara yang paling tepat. Kita disediakan banyak sekali pilihan untuk mengalami perjalanan bertemu dengan seseorang yang istimewa.
Sejatinya segala hal yang berkaitan dengan cinta dan jodoh tidak ada rumus yang harus dipecahkan. Bukan seperti matematika 1+1=2. Dalam cinta jawabannya berbentuk esai dengan opini dan kepercayaan masing-masing orang. Jika memang sistem perjodohan dirasa bisa menjadi cara yang tepat untuk memiliki pasangan, silahkan jalani itu. Banyak sekali orang dari generasi nenek-kakek kita yang mengalami perjodohan lalu hidup bahagia dan bahkan pernikahannya bertahan hingga mereka tutup usia. Begitu pula kalau kita merasa belum ingin disatukan dalam ikatan pernikahan tapi meyakini pasangan adalah jodoh kita. Mengapa harus memaksakan diri menikah hanya karena tuntutan orang lain? Percintaan intinya adalah mengalami perasaan cinta. Bagaimana cara mencari dan menjalaninya itu pilihan masing-masing orang. Tidak ada yang bisa memastikan adanya satu pilihan saja yang paling akurat. Pada akhirnya kita sendiri yang harus memahami arti kata jodoh dan mencari sendiri cara berhubungan yang paling cocok untuk kita. Selama yang kita lakukan membuat kita bahagia, mengapa harus mengikuti yang orang lain percaya dan lakukan?