Sebelum menjadi seorang peneliti kebijakan publik yang vokal, saya habiskan masa kecil dan remaja di lingkungan homogen dengan mayoritas Muslim. Saya hanya punya satu teman non-Muslim hingga berusia 17 tahun. Bahkan guru-guru juga hampir tidak ada yang non-Muslim.
Ketika SMA, saya mulai mempertanyakan apakah memang kehidupan seperti ini atau justru homogenitas di sana membuat orang non-Muslim merasa tidak nyaman. Tidak ada keberagaman dan harus hidup bersama orang yang punya kesamaan saja. Tidak ada tempat saya bisa menantang pikiran baru karena kurangnya keberagaman dalam ranah budaya, suku, agama, bahkan pemikiran. Buku untuk memperluas wawasan pun jarang ditemukan. Bahkan pernah suatu kali saat saya hendak membeli Alkitab sekadar untuk ingin membaca saja, sang penjaga meminta saya menunjukkan KTP.
Hingga akhirnya saya kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta, kemudian di Universitas Padjajaran, Bandung. Barulah banyak persepsi baru muncul. Selama kuliah, saya berkesempatan baca macam-macam buku dan ikut beragam komunitas. Akhirnya saya menyadari dunia di luar kampung halaman begitu berbeda. Banyak hal yang dulu saya anggap tidak ada salahnya ternyata setelah dipikirkan kembali terasa seperti bualan. Saya sempat melihat buku berjudul “Amerika dan Yahudi dalam Konspirasi Menghancurkan dunia”. Dulu, saya menelan bulat-bulan saja apa yang ada di sekitar. Tidak menantang pikiran untuk berargumen apakah teori itu benar atau tidak.
Saya membayangkan jika sampai saat ini masih menerima saja apa yang disodorkan tanpa memikirkan secara kritis, mungkin saya akan tumbuh besar menjadi seseorang yang berada di lingkungan yang menyimpang, terjebak dalam homogenitas. Inilah yang kemudian mendorong saya untuk mulai mencoba menyampaikan aspirasi di publik untuk membuka ruang diskusi. Saya berpikir semua orang punya kesempatan yang sama untuk berpikir dan berpendapat secara bebas. Langkah ini saya harapkan dapat menstimulasi orang lain untuk mulai berani bicara.
Saat baru memiliki akun media sosial, saya masih merasa enggan berpendapat. Namun sejak bekerja di bidang advokasi legislasi, kemudian dua tahun belakangan menjadi peneliti kebijakan publik dan terlibat langsung dengan para pemangku kebijakan, saya merasa memiliki pengetahuan dan informasi yang bisa memberikan persepsi beda di masyarakat. Selain itu, ada juga kebutuhan menyampaikan sesuatu agar dapat menguji pemikiran saya sendiri sebagai individu. Banyak yang bertanya mengapa saya berani mengutarakan sesuatu yang berpotensi memunculkan argumen di media sosial. Sebagian orang memperingatkan bahaya terlalu berani menyampaikan aspirasi di publik sebab jejak digital tak akan pernah bisa terhapus. Saya cukup heran merespon segelintir pertanyaan itu karena saya percaya kita punya hak dasar sebagai warga negara untuk berpendapat. Jadi, “Mengapa tidak?”
Sayangnya, di masyarakat kita banyak miskonsepsi akan kebebasan berpikir dan berpendapat. Seringkali orang berpikir bahwa mereka yang tidak bekerja di bidang advokasi, pemerintahan, atau hukum, akan memiliki risiko jika membicarakan hal politis di media sosial. Banyak juga yang menilai ketika kita menyuarakan sesuatu itu berarti kita benci dengan sosok yang bersangkutan. Misalnya ketika saya membicarakan kebijakan publik yang mungkin agak sedikit menyentil nama presiden. Ada saja yang berpikir saya benci padanya. Padahal saya hanya berusaha untuk menyampaikan pikiran kritis untuk membuka diskusi serta menguji apakah yang saya utarakan benar atau tidak.
Saya merasa di masyarakat kita, banyak pihak yang mematikan kritik pada orang yang dianggap tidak memiliki hak berbicara topik di luar kapasitasnya. Kalau bukan peneliti atau pengajar, seolah dilarang berkomentar. Ada pula yang meminta untuk bersuara lewat publikasi yang lebih menyeluruh seperti publikasi jurnal penelitian supaya tidak terdengar komplain saja. Menurut saya, ini seperti mengabaikan fakta bahwa setiap orang di media sosial bebas berbicara. Selain itu, penulisan ilmiah memerlukan struktur metodologi tertentu yang justru dapat membatasi aspirasi yang relevan dengan realita. Misalnya tentang persoalan otonomi khusus (otsus) di Papua yang menampilkan data 70% masyarakat Indonesia setuju dengan perpanjangan otsus di sana. Akan tetapi yang sering luput adalah adanya kemungkinan bahwa data tersebut tidak melibatkan masyarakat Papua .
Sementara di media sosial, Twitter contohnya, kita membuat pengamatan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Tapi saya merasa sebagai individu di negara ini, kita seakan tidak memiliki keleluasaan berbicara tanpa dikaitkan latar belakang diri. Jika bekerja di pemerintahan, kita dianggap tidak kritik pemerintah. Padahal kritik bisa jadi bentuk solusi atas kebijakan-kebijakan yang dibuat. Kita tidak bisa menemukan masalah kemudian mencari solusinya jika tidak ada kritik. Jadi kalau baru bicara saja sudah dibatasi, bagaimana kita bisa mencapai sebuah persetujuan?
Kritik bisa jadi bentuk solusi atas kebijakan-kebijakan yang dibuat. Kita tidak bisa menemukan masalah kemudian mencari solusinya jika tidak ada kritik.
Pernah suatu waktu saya mempublikasikan kritik terhadap revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi di Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Kebetulan salah satu teman yang berlatar-belakang hukum mengoreksi pernyataan saya. Ia berkata revisi tersebut tidak mengubah struktur otoritas Mahkamah Konstitusi. Justru dari kacamata orang hukum, pasal tersebut menciptakan keambiguan sehingga dihapus untuk memperkuat Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, karena mendapat masukan dari pihak yang memang lebih berpengalaman di bidangnya, saya pun meralat pernyataan di Twitter dengan menyertakan koreksi dari teman tersebut.
Dengan kebebasan bersuara, muncul kesempatan mencari informasi yang lebih tepat, mengembangkan perspektif atau memiliki dimensi berbeda dalam mengambil keputusan. Hal-hal yang terlihat tidak berbahaya bisa jadi berbahaya. Misalnya, baru-baru ini ada berita tentang vaksin yang siap diberikan kepada dokter, TNI dan Polri. Sekilas tidak ada yang salah. Tapi karena ada kesempatan mengkritisi itu, para praktisi kesehatan berbicara bahwa sampai saat ini vaksin yang dikembangkan belum ada yang mencapai efektivitas cukup untuk diberikan ke masyarakat. Alhasil, pemerintah menunda pemberian vaksin. Ketika kita memberikan kepercayaan buta pada apapun itu, kita jadi sering melupakan apa yang terjadi di belakangnya, faktor pendorongnya yang tidak langsung memengaruhi tapi berpengaruh. Saya berharap masyarakat bisa melihat sesuatu lebih jauh dari sekadar apa yang tertulis di kertas. Buktinya, kita punya undang undang perlindungan anak tapi masih banyak anak yang belum dilindungi.
Sebaliknya, pemerintah atau para pemangku kebijakan juga menurut saya seharusnya bisa memberikan keleluasaan berbicara untuk rakyatnya tanpa batas-batas arbitrer. Seharusnya kritik bisa ditanggapi secara bijak. Tidak asal sergap. Insiden disinformasi yang terjadi pada saya merupakan bukti nyata bahwa demokrasi kita masih dikorupsi. Bahkan ketika diinterogasi saya tidak mendapat kesempatan didampingi kuasa hukum.
Saya beruntung berada dalam lingkungan yang bisa memberi akses ke kuasa hukum dan jaringan pemerintah sehingga akhirnya saya bisa terlepas jerat hukum. Walaupun demikian, dampaknya masih terasa hingga sekarang. Saya harus kehilangan handphone, laptop, serta semua data penelitian di dalamnya. Rasa paranoid masih sering sekali hinggap; saya tidak berani memberikan alamat pada orang tua karena takut mereka dibuntuti. Saya selalu punya kecurigaan pada siapapun, sekalipun ia adalah supir taksi. Saya selalu terbebani saat harus memperkenalkan diri di acara publik. Yang lebih parah lagi sampai detik ini saya tidak punya nomor handphone. Bayangkan bagaimana saya bisa melalui keseharian di dunia modern ini tanpa nomor handphone?
Lalu apa yang akan terjadi apabila insiden semacam ini terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki privilese seperti saya? Tidak punya akses untuk memiliki kuasa hukum atau jaringan yang bisa membebaskannya? Padahal mungkin ia bicara di publik dalam konteks sekadar curhat saja tanpa maksud mengucap ujaran kebencian. Misalnya jika mereka menulis di media sosial tentang bahan pokok yang semakin lama semakin mahal lalu menyatakan kekecewaannya pada pemerintah. Apakah adil jika ia tiba-tiba langsung disergap dan dijerat hukum?