Pada dasarnya, televisi diciptakan untuk menjadi sarana menyampaikan informasi dan hiburan. Bukan hanya untuk sekadar mencari pasar untuk berjualan. Kehadiran televisi dalam hidup kita pun berperan penting dalam memengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat. Bahkan televisi berpotensi besar untuk mencerdaskan sebuah bangsa. Namun, televisi memiliki dua sisi mata uang. Ia juga bisa menjadi medium yang berdampak buruk jika konten di dalamnya tidak diperhatikan secara seksama. Inilah yang sedang terjadi pada pertelevisian di Indonesia.
Kehadiran televisi dalam hidup kita pun berperan penting dalam memengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat.
Sejak dulu saya pernah bekerja di industri penyiaran televisi, zaman belum banyak pilihan platform untuk nonton seperti sekarang, banyak program televisi yang sudah memprihatinkan. Konten yang menggunakan kekerasan dan seksualitas untuk humor sudah banyak ditayangkan. Tapi semakin ke sini, konten-konten program tersebut semakin banyak dan semakin parah. Menurut saya, semakin banyak program yang tidak memperhatikan etika, moral, dan kepantasan. Ditambah dengan pengaturan jam tayang yang sembarangan sehingga bisa ditonton anak-anak. Program-program yang seharusnya hanya boleh disaksikan orang dewasa ditayangkan di pagi atau sore hari. Banyak sekali kelalaian para pelaku televisi yang tidak memikirkan dampak buruk terhadap mental dan kecerdasan emosional audiens.
Fenomena ini terutama terjadi ketika perkembangan teknologi semakin cepat dengan bermacam-macam opsi untuk menyaksikan tayangan yang berbagai macam dari luar negara. Faktanya, berbagai alternatif pilihan tayangan tersebut menyedot perhatian masyarakat kelas menengah yang akhirnya mulai meninggalkan televisi nasional. Bahkan mereka semakin tidak peduli dengan televisi nasional dan merasa bangga jika tidak nonton televisi. Jumlah masyarakat kelas menengah yang mulai merosot itu pun akhirnya seakan membiarkan para pelaku televisi nasional untuk tidak peduli dengan apa yang ditayangkan. Seakan tidak ada lagi kelompok yang “mengawasi” sehingga tidak perlu repot-repot membangun konten yang berbobot.
Saya melihat kecenderungan masyarakat Indonesia adalah memiliki mental yang ingin cepat-cepat selesai. Ingin cepat-cepat melihat hasil tanpa proses pengembangan yang menyeluruh. Ini tercermin sekali dalam program-program TV. Saya pernah mengalami dan melewati pengalaman di mana berbagai program kejar tayang tidak memberikan waktu untuk refleksi konten di dalamnya. Jadi, konten yang dibangun di dalamnya yang penting selesai dan tayang. Tidak diperhatikan betul apakah konten tersebut “berbahaya” bagi audiens.
Memang tidak semua program memiliki konten semacam itu. Masih ada program-program yang punya integritas. Akan tetapi, saya merasa saluran televisi sedari dulu seolah mengejar ekornya sendiri. Mereka seakan menyuguhkan konten yang diminati oleh masyarakat. Padahal, menurut saya, mereka bukan mengikuti apa yang pasar sukai tapi tidak ingin mengubah atau memperbaiki konten karena sudah berada di zona nyaman. Masyarakat kelas bawah yang kini menjadi pasar utama televisi nasional nyatanya tidak memiliki pilihan. Apapun yang mereka produksi pasti akan dikonsumsi oleh mereka. Jadi intinya adalah tidak adanya kepedulian yang besar dari para pelaku televisi untuk membuat perubahan besar.
Sejak dulu, sudah banyak pelaku televisi sudah menormalisasi konten-konten yang tidak pantas. Di dalam tim tidak merasa masalah ini adalah masalah darurat. Akhirnya semakin tidak terkendali. Tidak lagi ada yang mengendalikan kualitas. Bahkan mereka terkesan membiarkan sekalipun ada adegan-adegan yang menunjukkan kekerasan seksual dalam tayangan komedi. Satu atau dua orang yang peduli tidak cukup untuk membuat perubahan. Perlu usaha kolektif untuk mengurai masalah tersebut.
Terdapat terminologi “good enough” yang berarti sebuah tindakan untuk tidak mengejar sempurna tapi menampilkan performa yang cukup baik saja. Yang penting, jangan sampai buruk. Mengapa program televisi nasional kita tidak bisa cukup baik saja? Sekarang ini televisi nasional berada di bawah cukup baik. Apakah tidak bisa para pelaku televisi menghargai dirinya sendiri sebagai pekerja seni untuk membuat tayangan yang cukup baik saja? Tidak perlu sempurna. Saya meyakini jika belum ada yang membuat revolusi, tidak ada regenerasi, dan punya itikad baik untuk mengubah keadaan, ini akan terus terjadi.
Situasi tersebut sangatlah mengkhawatirkan untuk saya. Masalahnya, populasi kita sangat banyak dan kebanyakan dari populasi tersebut menyaksikan televisi nasional. Bagaimana mental masyarakat Indonesia bisa sehat dan baik jika terus disuguhkan konten-konten yang buruk? Saya merasa banyak pihak taking for granted masalah televisi ini. Secara realistis, jika program-program televisi belum bisa menjalankan misi untuk mencerdaskan bangsa, setidaknya jangan sampai memberikan pengaruh buruk. Menurut saya, ini saja sudah lebih dari cukup.
Berkata begini, bukan berarti sinetron dengan konten untuk orang dewasa harus sepenuhnya dihilangkan. Sinetron dan berbagai tayangan televisi lainnya adalah bagian dari budaya yang menunjukkan identitas Indonesia. Yang perlu diubah adalah konten dari setiap jenis program dengan memperhatikan jam tayang yang tepat. Kalau ada tayangan yang tidak sesuai untuk dikonsumsi anak-anak, tayangkanlah di waktu kebanyakan anak-anak tidak menonton televisi. Saya sangat peduli dengan hal ini karena tidak semua anak-anak seberuntung anak saya yang bisa mendapatkan akses menyaksikan tayangan berkualitas. Oleh sebab itu, saya ingin meminta kepada siapa saja yang membaca artikel ini untuk meluangkan waktu mengkaji kembali kualitas televisi nasional kita. Terutama saluran-saluran televisi yang mengkhawatirkan.
Apabila memungkinkan, tegur pihak yang bersangkutan. Kalau ada konten yang dirasa kurang pantas, informasikan kepada pihak televisi langsung. Kita tidak bisa hanya mengandalkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena sebenarnya mereka bukanlah lembaga sensor. Mereka akan menindaklanjuti masalah jika ada laporan. Oleh sebab itu, penting sekali untuk kita membuat laporan. Ini adalah tugas kita bersama membangun kesadaran untuk membuat sebuah perubahan. Terlebih lagi, untuk membantu #KawalTelevisiNasional. Kalau televisi tidak ditegur, para pelaku akan terus meneruskan apa yang ada sekarang ini dan terus menayangkan konten-konten yang berpotensi membodohi masyarakat.