Society Planet & People

Badai yang Sama, Kapal yang Berbeda

Kita berada di badai yang sama, tapi di kapal yang berbeda

Pandemi memasuki tahun kedua, tanpa menunjukkan penurunan kurva yang signifikan.

Saya mengenal satu keluarga yang ditahun 2020 sudah merencanakan untuk pergi liburan ke luar negeri, tapi akhirnya harus batal karena pandemi. Tentunya uang yang sudah dipersiapkan, menjadi uang lebih yang tersimpan dengan baik di masa sekarang ini, ditambah dengan fakta bahwa keluarga tersebut bekerja di industry teknologi yang mengalami masa kejayaan selama satu tahun belakangan. Kebijakan WFH membuat stress? Tentu saja, stress dengan kondisi dompet tetap terisi.

Di satu sisi, ada keluarga lain yang  tulang punggungnya harus mengalami pemotongan gaji, peniadaan bonus, keterbatasan dalam hal teknologi untuk sekolah daring anaknya, kondisi rumah yang tidak kondusif untuk belajar, dan tetap harus keluar rumah untuk bekerja mencukupi kebutuhan sehari hari. Kebijakan WFO membuat takut? Tentu saja, tetapi lebih takut anak dan istri kelaparan.

Dua kondisi di atas menggambarkan bahwa pandemi adalah badai yang sama untuk semua kalangan, dengan kondisi kapal yang berbeda setiap orang. Memang terlihat tidak adil, but that’s life. Kalau kamu masih melihat ketidakadilan, selamat! Berarti, kamu masih hidup di dunia.  Tapi, ada satu persamaan yang terjadi di mana pun kapal tempat kita berpijak saat ini, yaitu victim mentality syndrome.

Menurut pengertian victim mentality syndrome merupakan keadaan di mana seseorang selalu berpikir negatif dan merasa bahwa dirinya menjadi korban atas kesalahan yang dilakukan orang lain.

Dalam kasus di tengah pandemi ini, victim mentality membuat kita melakukan hal-hal yang menurut kita benar, sebagai pembelaan atas kondisi saat ini. Menutup mata dengan kondisi sebenarnya, mencari alasan sebagai pembenaran tindakan dan sibuk berlomba siapa yang lebih menjadi korban. Apa saja dampak dari victim mentality ini?

 

1. Merasa berhak melakukan sesuatu, karena sudah terzalimi

Di awal pandemi, kita dipaksa untuk diam di rumah saja. Gaya hidup 3M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak) digaungkan dengan lantang, membuat banyak orang merasa menderita. Ditambah dengan efek dari pandemi mempengaruhi banyak lini bisnis, baik secara positif maupun negatif.

Sejak akhir tahun 2020 hingga 2021, pemerintah sempat melonggarkan peraturan karena kasus positif dinilai sudah terkendali, tidak menutup mata bahwa Anda dan saya terlena dengan kondisi itu sehingga banyak toleransi protokol kesehatan dilakukan.

“Saya sudah bosan di rumah terus, bolehlah jalan-jalan dengan bebas”

“Susah napas pakai masker, gapapa, deh, kan ketemu teman dekat nggak perlu pakai masker”

Familiar? Victim mentality yang menjadi akar sebagai pembenaran tindakan yang egois dan berpotensi merugikan orang lain dan diri sendiri.

Bagaimana dengan tenaga kesehatan yang bekerja siang dan malam, berbulan bulan tanpa bertemu keluarga, adakah yang bertanya “apa kamu bosan? Yuk gantian dengan saya”

 

2. Menyalahkan orang lain atas situasinya

Kita berada di badai yang sama, tapi di kapal yang berbeda

Kalimat ini banyak terdengar selama pandemi dalam menyingkapi perlombaan saling menyalahkan antara dia yang merasa sudah taat peraturan dengan dia yang tidak bisa mematuhi peraturan untuk diam di rumah karena tuntutan pekerjaan.

Ya, harus diakui kita memang tidak di kapal yang sama. Secara harafiah, ukuran, material, serta kegunaan dari setiap kapal berbeda. Saat badai datang, ada kapal besar dengan segala perlengkapannya siap mengarungi gelombang badai, disaat yang sama, ada banyak kapal dengan ukuran lebih kecil yang terombang ambing dan dapat karam kapanpun apabila tidak diseimbangkan dengan cara yang manual. Ada orang yang bisa karantina di rumah nonton Netflix sambil makan popcorn, tapi di saat yang sama di rumah lainnya sudah tidak tahu harus makan apa esok hari.

Saya membayangkan kapal sesungguhnya di lautan yang luas, tentunya jarak tidak mungkin terlalu dekat antara kapal yang satu dengan yang lainnya. Apabila ada satu kapal besar, maka kapal besar lainnya akan berlokasi cukup jauh, di mana di antaranya akan banyak kapal kecil bertebaran.

Bayangkan jika kapal besar melemparkan bala bantuan dengan jangkar untuk membantu mereka yang ada di kapal lebih kecil, perlu ada estafet ke kapal kapal lainnya yang secara serentak dan kompak dilakukan oleh mereka di kapal kecil agar bantuan itu bisa sampai dengan merata. Kita tidak di kapal sama, tapi kita bisa melakukan hal yang sama untuk keselamatan bersama.

Kita tidak di kapal sama, tapi kita bisa melakukan hal yang sama untuk keselamatan bersama.

Victim mentality membuat kita merasa memiliki hak untuk menyalahkan orang lain akan sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Ini bukan lagi saat yang tepat untuk saling menyalahkan, karena menyalahkan orang lain dan keadaan butuh tenaga, pikiran yang dengki akan menurunkan imun. Di lautan luas, kita butuh tenaga untuk terus bertahan. Kalau kamu yang ada di kapal besar dan tidak bisa menarik mereka ke atas kapal karena sudah penuh, lemparkan bala bantuan secara maksimal kepada mereka dengan berbagai bentuk, baik itu pekerjaan, uang, berita yang positif, tenaga, bahkan doa yang dipanjatkan. Bagi kamu yang ada di kapal lebih kecil, distribusikan bantuan tersebut secara estafet, karena hanya dengan memberi kepada orang lain, wadah kapal kita bisa terus punya ruangan kosong untuk menerima hal baru lagi.

Victim mentality membuat kita merasa memiliki hak untuk menyalahkan orang lain akan sesuatu yang terjadi dalam hidup kita.

Salah satu bentuk bantuan yang saya lakukan selama masa pandemi adalah menyebarkan berita yang membangun, agar tercipta #HealthierDigitalEcosystem ditengah pengguna media sosial, sehingga peran media sosial sebagai pusat informasi yang dipercaya masyarakat tidak ter-degradasi. Banyaknya berita yang tidak bertanggung jawab, membuat kita sebagai praktisi digital berperan untuk meminimalisir goncangan badai yang ada. Pada akhirnya, setiap ujian ada masanya, setiap badai tidak ada yang abadi.

Pada akhirnya, setiap ujian ada masanya, setiap badai tidak ada yang abadi.

Akan ada waktu yang tepat saat kapal berlabuh dengan selamat di daratan, mereka yang gugur akan tersenyum dari tempatNya dan mengucapkan terima kasih, karena telah bertahan bersama sama.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023