Sebelum masuk ke dunia hiburan, aku merasa popularitas adalah hal yang cukup memberatkan karena aku merasa popularitas bukanlah sebuah prestasi. Popularitas membuat hidup kita seakan sulit memiliki privasi. Hal-hal yang seharusnya untuk urusan pribadi jadi bisa dikonsumsi siapa saja. Jujur, saya pun memulai karier di dunia akting tidak secara sengaja. Awal mendapat penawaran saya hanya berpikir bahwa pengalaman tersebut bisa jadi hal baru dan saya suka dengan tantangan. Hingga akhirnya saya merasa tidak ada salahnya mencoba sekalipun saya masih kurang nyaman dengan sisi popularitas dengan konsekuensinya itu.
Popularitas membuat hidup kita seakan sulit memiliki privasi. Hal-hal yang seharusnya untuk urusan pribadi jadi bisa dikonsumsi siapa saja.
Setelah menjalaninya, saya merasa ada yang menarik di dunia akting. Sesuatu yang semakin saya gali, semakin menarik hingga akhirnya muncul mimpi-mimpi baru. Seiring berjalannya waktu, saya melihat popularitas tidaklah seburuk itu. Semua hanya soal pola pikir. Terkenal, populer, tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Kita bisa punya ruang baru untuk membawa orang lain memerhatikan apa yang kita sampaikan. Jika kita punya pemikiran dan perilaku yang positif, nantinya akan baik untuk banyak orang juga.
Seiring berjalannya waktu, saya melihat popularitas tidaklah seburuk itu. Semua hanya soal pola pikir.
Hingga saat ini, masih ada yang membuat saya insecure yaitu soal kemampuan. Saya merasa popularitas dan ketenaran di masa sekarang ini mudah sekali didapatkan. Siapa saja bisa terkenal dengan konten viral. Popularitas seakan sulit untuk dipertimbangkan sebagai sebuah pencapaian. Oleh sebab itu, saya tidak ingin dikenal hanya sekadar karena tampak luar seperti penampilan saja. Saya ingin popularitas tersebut berasal dari kemampuan yang dapat memberikan pengaruh dan dampak yang baik bagi orang banyak.
Saya merasa popularitas dan ketenaran di masa sekarang ini mudah sekali didapatkan. Siapa saja bisa terkenal dengan konten viral.
Ketika saya melihat wajah saya terpampang di Times Square, New York, sebenarnya ada dua yang dipikirkan. Pertama, kalau boleh jujur saya merasa berada di sana bukanlah sebuah prestasi karena saya tidak benar-benar mengupayakan dengan segala jerih payah dan kemampuan yang dimiliki. Saya merasa lebih puas saat membuat sebuah film yang benar-benar menunjukkan kemampuan. Sekalipun film tersebut tidak meledak. Akan tetapi, hal yang kedua adalah saya tetap merasa bangga bisa terlibat dalam proyek yang membawa nama saya terlihat di sana. Siapa sangka anak yang berasal dari kota kecil ini bisa dilihat oleh warga Amerika, negara yang bahkan belum pernah ia datangi?
Pengalaman ini pun cukup membuat saya menyadari bahwa ternyata saya tidak sekecil pandangan diri sendiri. Bahwa saya bisa mencapai hal di luar ekspektasi. Lucunya, saya pernah berangan-angan pergi ke New York dan bertanya-tanya kapan dan dengan siapa akan pergi ke sana. Belakangan banyak musisi yang tiba-tiba wajahnya ada di sana karena lagu yang dipromosikan lewat Spotify. Saya sempat membayangkan mungkin tidak berada di sana juga. Ternyata memang rahasia Tuhan luar biasa. Meskipun begitu, kebanggan tersebut datang bersama dengan kewaspadaan. Artinya, saya harus semakin hati-hati dalam berperilaku karena telah mendapatkan sorotan. Ini membuat saya harus lebih sering introspeksi serta mawas diri.
Kenapa? Karena saya melihat popularitas bisa memengaruhi pola pikir dan kepercayaan banyak orang. Banyak orang di Indonesia masih mudah terbawa terbawa fenomena latah. Saya cukup lama memelajari fenomena latah dulu saat masih di bangku kuliah. Banyak orang yang ingin dianggap keren harus melakukan apa yang orang lain lakukan. Ketika satu orang mengunggah hal yang sedang tren, mereka harus meniru. Topik apapun yang sedang hangat, mereka harus memberikan komentar juga agar tidak ketinggalan. Padahal mereka belum tentu mengerti dengan topik yang sedang diangkat.
Bayangkan jika orang-orang yang terkenal, memiliki nama dan jumlah massa yang banyak kemudian memberikan contoh kurang baik di masyarakat. Sekalipun mereka tidak secara tersurat melakukannya, dampaknya bisa jadi fatal ketika para penggemar atau pengikutnya meniru demi terlihat sama kerennya. Maka, menurut saya popularitas yang saya miliki sebenarnya merupakan sebuah refleksi untuk dapat lebih berkesadaran, memerhatikan mana perilaku yang bisa memberi pengaruh baik dan tidak pada orang lain. Barulah di saat itu, popularitas dapat menjadi sebuah prestasi.
Menurut saya popularitas yang saya miliki sebenarnya merupakan sebuah refleksi untuk dapat lebih berkesadaran, memerhatikan mana perilaku yang bisa memberi pengaruh baik dan tidak pada orang lain.
Untuk alasan ini pula, saya paham betul atas kemungkinan risiko yang mengikuti popularitas yang dimiliki. Pada saat saya setuju untuk terjun ke dunia hiburan, hal pertama yang saya lakukan adalah memberitahu orang terdekat bahwa setelah ini hidup saya pasti ada yang berubah di mana mungkin akan berdampak pada kehidupan mereka. Namun, saya juga berjanji sebisa mungkin untuk tetap menjadi diri sendiri, tetap menjadi orang yang mereka kenal. Hal kedua yang saya lakukan adalah menghapus beberapa akun media sosial dan foto-foto di Instagram yang mungkin dapat memunculkan kontroversi. Saya ingin membedakan hal yang memang khusus untuk profesional dan personal karena saya tahu konsekuensi dari dunia hiburan dapat berdampak pada orang-orang terdekat. Maka dari itu, sebisa mungkin saya memilah mana konten yang bisa dilihat banyak orang dan tidak. Meskipun begitu, saya tetap berusaha menunjukan diri yang apa adanya, sealami mungkin.